Kemudahan inilah yang kemudian melatarbelakangi masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi seorang jurnalis amatir. Mereka menulis serta menyebarkan apa saja yang sekiranya menarik, tanpa mempertimbangkan akibatnya di masa yang akan datang.Â
Dampaknya, apabila hal tersebut tidak diselingi dengan pengontrolan atau penyaringan terhadap penyebaran informasi yang belum pasti kebenarannya, maka dapat mengakibatkan kemunculan propaganda yang mengarah ke perpecahan. Propaganda menjadi bahan pergunjingan tidak saja cara dan teknik, tetapi juga dampaknya bagi masyarakat.Â
Dalam posisi ini, propaganda mengalami makna peyoratif (pemburukan nama). Padahal jika ditinjau dari akar kata dan kegiatan awalnya, propaganda adalah suatu teknik berkomunikasi yang baik dan mulia. Singkatnya, euforia zaman teknologi informasi yang katanya menjadi bukti kemajuan masyarakat kekinian, tak sebanding dengan residu kualitas etika individu yang hidup di era digital ini.
Berbicara mengenai propaganda, Indoensia sendiri memiliki sederet peristiwa yang memuat propaganda negatif lewat media. Contohnya peristiwa kerusuhan yang melibatkan 4 kota di Provinsi Papua yaitu Manokwari, Fak-fak, Sorong, dan Jayapura pada 19 Agustus 2019. Peristiwa tersebut dipicu oleh berbagai macam simpang siur berita hoaks yang sengaja dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga membuat warga Papua merasa terusik.Â
Kapolri menjelaskan, aksi massa di Papua di-triger dari adanya kejadian di Jawa Timur, khususnya di Surabaya dan Malang. Salah satu peristiwa kerusuhan di Surabaya bermula dari adanya berita bendera merah putih di depan pagar asrama yang terjatuh ke selokan.Â
Massa yang tidak terima benda simbolik negara tersebut dinistakan, kemudian berspekulasi bahwa mahasiswa Papua sedang mengirimkan kode permusuhan. Kejadian itu kemudian memicu massa untuk main hakim sendiri dan mengepung asrama tersebut.
Isu tentang pengepungan di Surabaya, rupanya telah sampai ke telinga warga Papua. Warga yang merasa terintimidasi akibat kejadian tersebut kemudian mengumpulkan massa dan menggelar demo di berbagai titik yang berakhir dengan kerusuhan. Guna meredam kerusuhan yang semakin memanas, pemerintah kemudian memberlakukan kebijakan berupa pemblokiran terhadap media sosial yang ada diÂ
Papua guna meminimalisir beredarnya hoaks dan memulihkan situasi di Papua pasca kerusuhan.
Hoaks atau berita bohong yang banyak beredar di Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh pola perilaku orang Indonesia yang haus akan sebuah informasi. Kondisi tersebut kemudian disalahgunakan oleh jurnalis amatir untuk mendapatkan keuntungan pribadi, padahal kegiatan menyebarkan berita bohong dapat merusak integritas bangsa dan merupakan bentuk penyimpangan dari sila ketiga yang berbunyi: "Persatuan Indonesia"Â
Dimana peran media massa bukan lagi sebagai sebuah pemersatu namun merujuk ke propaganda yang memecah belah bangsa.