Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Terorisme dalam Bingkai Kriminologi dan Hukum Pidana: Dari Mazhab Kriminologi Kritis hingga Politik Kriminal #2

11 April 2021   23:19 Diperbarui: 12 April 2021   12:38 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: istockphoto.com

Mengacu pendapat dari ahli hukum Prancis, Marc Ancel, bahwa politik/kebijakan kriminal adalah "the rational organization of the control of crime by society." Sedangkan menurut G. Peter Hoefnagels, mendefinisikannya sebagai berikut: "criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime." Esensinya, politik kriminal adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang dikontrol oleh bersama, baik pemerintah maupun masyarakat dalam kerangka yang rasional. Saat yang sama salah seorang pakar pidana Indonesia, Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa sebenarnya politik kriminal itu merupakan bagian integral dari penegakan hukum pidana itu sendiri (Effendy, 2014: 226-227). Sehingga, sebagaimana yang telah ditawarkan oleh penulis, bahwa benar antara dimensi peraturan perundang-undangan (abstrak) dan proses penegakan hukum (konkret) harus interaktif, integratif, dan interkonektif. Karena, semangat negara hukum tidak cukup hanya dibuktikan oleh sejauh banyaknya hukum normatif tertulis (lex scripta) yang diproduksi, tapi juga membutuhkan aktor penggerak yang membuat sistem hukum itu sendiri dinamis dan progresif, begitu juga sebaliknya.

Tibalah kita diujung narasi kali ini yang telah dibangun oleh penulis, dengan segala harapan, penulis berusaha menawarkan beberapa solusi alternatif yang sekaligus akan dibarengi dengan elaborasinya agar pembaca dapat memahami secara utuh dan objektif.

[1] Sebagaimana wajah kriminologi kritis dalam memandang panorama problem kejahatan terorisme, maka penulis memberi masukan agar negara---pemerintah yang harus bersinergi dengan masyarakat---seoptimal mungkin membuat kebijakan yang yang tidak diskriminatif, menjadikan keadilan sebagai rohnya, adaptif dengan tuntutan zaman, dan berkiblat pada asas negara sejahtera (welfare state) dengan berpedoman pada Pancasila dan Konstitusi sebagai pandu yang menaungi segala misi ataupun visi berbangsa dan bernegara. Dengan motif, agar segala kebutuhan baik ekonomi, sosial, hukum, hingga politik masyarakat bisa terakomodir secara baik. Penulis kira, salah satu prasyarat terjadinya negara dengan pemerintahan yang ideal adalah sistem birokrasi atau institusi yang berada dalam tubuh pemerintah haruslah sehat dan baik. Faktanya, tesis ini mendapat tsunami pembuktian ilmiah dalam risetnya Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Karenanya, kepercayaan publik (public trust) terhadap pemerintah (state institution) itu akan selalu bergantung---salah satunya---pada kualitas kebijakan maupun hukum yang disponsorinya, jika itu berujung pada kebahagiaan, kemakmuran, maupun kesejahteraan bersama, maka saat yang sama indeks kejahatan terorisme dimungkinkan akan mengalami "reduksionalisasi" yang relatif tajam. Dengan bahasa lain, negara tidak boleh pensiun, alergi, fobia, dan durhaka terhadap gelombang aspirasi termasuk kritikan ataupun saran dari rakyat, saat yang sama juga, dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia tidak boleh golongan mayoritas (diktator mayoritas) yang didominasi oleh rakyat banyak (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas (tirani minoritas) elite politik dan pengusaha (minorokrasi) mengeja setiap keputusan demi kepentingan bersama (Latif, 2018: 119).      

 [2] Upaya penanggulangan terorisme dalam beranda hukum pidana, harus menyeimbangkan pendekatan/metode kebijakan penal (penal policy) yang berbasiskan pada usaha represif dari aparat penegak hukum dan kebijakan nonpenal (nonpenal policy) yang berorientasi pada upaya preventif terjadinya terorisme, dikotomi konsep kebijakan ini dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels. Hemat penulis, bilamana benar terjadi suatu keseimbangan (equilibrium) dalam proses perjalanan penanggulangan terorisme dengan menempuh dua pendekatan kebijakan dengan baik tersebut sebagaimana prinsip keseimbangan universal, maka ideal taraf hidup bersama yang lebih baik lagi dipastikan berada persis di hadapan kita semua. Namun supaya Indonesia tidak menjadi negara gagal (failed state), maka kita jangan sampai terjebak pada fanatisme buta juga, bahwa kedua pendekatan dalam menanggulangi kejahatan terorisme tersebut pun harus mendapat tempatnya yang kontekstual-fleksibel, sehingga ini akhirnya tergantung pada situasi dan kondisi negara.  

[3] Sejalan dengan itu, dalam tradisi diskursus terorisme, terdapat tiga pendekatan kembar dengan dua anak metode dari politik kriminal dalam hukum pidana, antara lain yaitu: Pertama, pendekatan memerangi terorisme (fight against terrorism), dengan langsung menuntaskan konflik terorisme melalui kekuatan fisik yang bermodel seperti perang. Kedua, pendekatan keras (hard approach), yaitu dengan mengurung teroris di dalam bilik penjara, penangkapan dari aparat, hingga penegakan hukum. Dua pendeketan tersebut relatif simetris (similar) dengan kedua pendekatan politik kriminal dalam hukum pidana. Adapun yang Ketiga, pendekatan nirkekerasan (soft approach), yaitu pendekatan yang lunak dengan memanfaatkan sejumlah momentum agenda dialogis-interaktif atau membawa surplus narasi-narasi bijak dalam rangka menyongsong spirit deradikalisasi, deekstremisasi, deterorisasi, atau bahkan moderatisasi dengan menggunakan payung referensi dari bidang-bidang ilmu pengetahuan seperti psikologi, teologi, dan lain-lain (Amin, 2020: 31). Hemat penulis, pada dasarnya semua pendekatan dalam khazanah keilmuan terorisme tersebut sangatlah bernilai, akan tetapi harus dikontekstualisasikan dengan keadaan yang ada. Jika negara berada dalam atmosfer yang genting dan memaksa (state of emergency), maka akan sangat strategis bila menggunakan pendekatan yang berpostur seperti perang (fight against terrorism), begitu juga sebaliknya, dan seterusnya.

[4] Di era keterbukaan sebagai dampak langsung dari arus besar globalisasi, maka penggunaan platform media sosial harus segera dibatasi dan dikontrol secara ketat dalam kerangka politik kriminal oleh negara tanpa menganggu hak privasi dari setiap masyarakat. Menurut McQuail dalam Theories of Mass Communication, salah satu fungsi dari media adalah sebagai forum untuk mengakses berbagai informasi mengudara dengan bebasnya kepada khalayak, di samping sebagai medium dalam berkomunikasi secara interaktif bahkan hiperaktif (Amin, 2020: 86). Menjadi rasional, ketika semakin bertambahnya jumlah teroris karena efek dari proses indoktrinasi dan rekrutmentasi yang terjadi di arena media sosial. Keadaan 'kiamat' seperti ini mendapat term khusus yaitu "Hiperkriminalitas" di mana kejahatan telah melampaui batas (ekses) karena pengaruh besar dari teknologi. Sangat sinkron dengan sabda dari filsuf Prancis, Jean Baudrillard, dalam bukunya The Perfect Time bahwa dengan bantuan teknologi, manajemen, maupun politik, kini kejahatan dan kekerasan telah mencapai bentuknya yang paripurna, yang dia sebut sebagai "kriminalitas sempurna" (Piliang, 2005: 114).

Maka daripada itu, penulis teringat dengan perkataan merdu yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa, "kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir." Sekian dan Terima Kasih.

Daftar Pustaka

Buku

  1. Acemoglu, Daron & James A. Robinson. 2018. Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
  2. Amin, Hamidin A. 2020. Wajah Baru Terorisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  3. Apter, David E. 1987. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES.
  4. Asshiddiqie, Jimly & M. Ali Safa'at. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.
  5. Atmasasmita, Romli. 2016. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT Refika Aditama.
  6. Atmasasmita, Romli. (Ed). 2018. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Refika Aditama.
  7. Azyumardi, Azra. et al. 2017. Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme. Bandung: Mizan.
  8. Budiarjo, Miriam. (Ed). 2019. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  9. Effendy, Marwan. 2014. Teori Hukum dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana. Jakarta: Gaung Persada Press Grup.
  10. Hamzah, Andi. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
  11. Hamzah, Andi. 2019. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
  12. Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke 21. Manado: CV. Global Indo Kreatif.
  13. Hardiman, F. Budi. 2018. Demokrasi dan Sentimentalitas. Yogyakarta: PT Kanisius.
  14. Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: CV Sinar Baru.
  15. Latif, Yudi. 2018. Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan. Bandung: Mizan.
  16. Nasiwan. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  17. Piliang, Yasraf A. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
  18. Santoso, Topo. 2020. Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Jurnal 

  1. Firmansyah, Hery. 2011. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Jurnal Mimbar Hukum, 23(2), 237-429.  
  2. Guntara, Deny & Budiman. 2018. Tinjauan Kriminologi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dalam Perspektif Teori Differential Association. Jurnal Justisi Hukum, 3(1), 106-119.
  3. Komariah, Mamay. 2017. Kajian Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5(1), 1-23.
  4. Mustofa, Muhammad. 2002. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(3), 30-38.
  5. Nitibaskara, Tb. Ronny R. 2002. Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah: Suatu Tinjauan Kriminologis dan Hukum Pidana. Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(3), 14-21.

Internet 

  1. Jurdi, Fajlurrahman. 2017. Lex Dura Sed Tamen Scripta. Diperoleh pada April 10, 2021, dari https://matakita.co/2017/11/19/lex-dura-sed-tamen-scripta/
  2. Mannheim, Hermann. 2019. Criminology. Diperoleh pada April 8, 2021, dari https://www.britannica.com/science/criminology
  3. Ridwan, Muhammad. 2021. Ini Isi Surat Wasiat Zakiah, Pelaku Penyerangan di Mabes Polri. Diperoleh pada April 9, 2021, dari https://sumeks.co/ini-isi-surat-wasiat-zakiah-pelaku-penyerangan-di-mabes-polri/
  4. Thenu, Arnold. 2020. Kejahatan yang Terorganisir akan Mengalahkan Kebaikan yang Tidak Terorganisir. Diperoleh pada April 11, 2021, dari https://kabar65news.com/2020/12/09/kejahatan-yang-terorganisir-akan-mengalahkan-kebaikan-yang-tidak-terorganisir/  
  5. Virya, Imdad Mahatfa. 2020. Antara Jaksa dan Kriminologi. Diperoleh pada April 8, 2021, dari https://www.kejari-bone.go.id/artikel/detail/2/antara-jaksa-dan-kriminologi.html
  6. https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_alienasi_Marx diakses pada 9 April 2021. 
  7. https://www.terusberjuang.com/2017/12/pengertian-asas-lex-dura-sed-tamen-scripta.html diakses pada 10 April 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun