Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Terorisme dalam Bingkai Kriminologi dan Hukum Pidana: Dari Mazhab Kriminologi Kritis hingga Politik Kriminal #2

11 April 2021   23:19 Diperbarui: 12 April 2021   12:38 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: istockphoto.com

Hukum Pidana, Politik Kriminal, dan Kejahatan Terorisme

Pada dasarnya, hukum pidana tidak selalu berbicara aturan sanksi atas kejahatan saja (yuridis-normatif), tapi terdapat juga konsep pencegahan (deterrence) sebagai bagian dari tujuan pidana, teori dan hukum pembuktian (bewijstheorie) dalam proses sidang pengadilan pidana sampai dengan cara mengintegrasikan ulang pelaku tindak pidana (strafbaar feit dader)---terutama terorisme---dengan masyarakat dunia. Kendatipun secara definitif, arti dari hukum pidana menurut ahli hukum pidana Belanda, W.P.J. Pompe, menyatakan bahwa, "hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan di mana pidana itu seharusnya terdapat." (Hamzah, 2019: 176). 

Namun, kelemahan definisi tersebut hanya berdiam diri di dalam sangkar hukum pidana materiel (ius poenale) yang bersifat abstrak-substansial (objektif, in abstracto), padahal di samping itu ada kategori hukum pidana formiel (ius puniendi) yang menjelmakan hukum dalam bentuk yang konkret (subjektif, in concreto), Simons mendefinisikannya sebagai hak negara dalam menghukum pelaku tindak pidana melalui alat-alat kekuasaannya dan bersandar pada pangkuan peraturan-peraturan yang sebelumnya telah mendapatkan prestasi legalitas ataupun legitimasi (Lamintang, 1984: 8). 

Dalam tulisan kali ini, penulis berusaha menggunakan 2 elemen definisi hukum pidana tersebut sebagai pendekatan dalam menyingkap tabir kejahatan terorisme yang kemudian akan dikolerasikan dengan kebijakan strategis untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam bingkai hukum pidana, lebih-lebih lagi dalam hal antisipasi dan kriminalisasi melalui produk hukum terhadap tindak kejahatan terorisme, studi tentang "Politik Kriminal" sebagai tali yang mampu mengikat semua kepingan lidi nomenklatur mengenai berbagai upaya dalam menyolusikan kejahatan-kejahatan yang ada.

Secara norma umum, hukum internasional telah menjustifikasi bahwa terorisme adalah kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), seperti misalnya diatur di dalam "International Convention for These prevention, and Panisment of Terrorism tahun 1937" (Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Terorisme). Karena benar, bahwa jenis kejahatan terorisme setidaknya telah memenuhi unsur tindak pidana internasional, sebagaimana yang telah diramu skemanya oleh Bassiouni, yaitu antara lain: ada ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia, tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara, maupun kebutuhan akan kerjasama antarnegara-negara untuk melakukan penanggulangan (Atmasasmita, 2016: 46-47).  

Sedangkan dalam konteks hukum nasional, Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem demokrasi konstitusional atau negara hukum demokratis (constitutional democracy, democratische rechtsstaat) yang mensyaratkan adanya landasan hukum dalam setiap aktivitas khususnya yang berada dalam horizon publik, termasuk pengaturan terkait sanksi atas perbuatan yang dilanggar dan juga dalam rumpun kejahatan yang patut dipidana termasuk terorisme (strafwaardig). Sehingga dalam alam pemikiran Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum (stufentheorie) yang berbentuk piramida imajiner dan memiliki konektivitas antardimensi, dari Pancasila, Undang-undang Dasar, dan seterusnya hingga strata yang paling bawah, secara eksplisit maupun implisit telah melarang aksi tindakan terorisme, di samping itu teori ini juga memiliki formulasi konsepnya tersendiri terkait tingkat abstraksi norma dalam suatu kelas piramida: semakin ke atas level hukum, maka akan bersifat umum, sebaliknya, semakin ke bawah level hukum, pasti semakin spesifik (Asshiddiqie & Safa'at, 2012: 154).   

Kita bisa melacak mengenai aturan yang melarang terorisme sebagai suatu delik (crime, actus reus), misalnya dalam Pancasila terdapat pada sila ke-2 yang berbunyi "kemanusiaan yang adil dan beradab". Dalam medium Konstitusi (UUD) terdapat juga seperti dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang secara tegas dan lugas memfatwakan agar setiap orang tunduk-patuh terhadap undang-undang dalam konteks kebebasan menggunakan hak asasinya di ruang publik dengan maksud meneguhkan nilai-nilai kebaikan, meluhurkan moralitas, merawat etos keberagamaan, dan menggawangi rumah keamaan maupun ketertiban bersama. Adapun jika kita berangkat menuju level hukum yang berada di bawahnya seperti misalnya ada dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 2018 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Pada saat yang bersamaan, fitur sanksi dalam undang-undang a quo terdapat pada Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:

"Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati."    

Kengerian konsekuensi pidana---yang berpijak pada referensi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) Indonesia---yang tentunya akan dibebankan pada pelaku kejahatan terorisme itu pada hakikatnya bertumpu pada asas proporsionalitas dalam hukum pidana yang menghendaki terjadinya keseimbangan antara implikasi suatu tindak pidana dengan sanksi yang mengaturnya. Hemat penulis, hal tersebut sangat selaras dengan postulat Latin: nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccetur (supaya khalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum). Sejalan dengan itu, terdapat penguatan dari asas hukum yang berbunyi: lex dura, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tapi begitulah bunyinya). Karena hukum bersifat imperatif, maka kiranya wajar jika isi dari pemaksaan itu haruslah memiliki efek yang jera terhadap psikologi suatu masyarakat agar tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad).

Masa Depan Terorisme di Indonesia

Selain itu, agar hukum yang berserakan menjadi berguna (utilitas), maka usaha penegakan hukum (law enforcement) sudah menjadi suatu kewajiban (deontology) yang harus terus digalakkan dengan berlindung di balik tameng instrumen hukum yang ada di samping melalui berbagai kebijakan yang menopangnya---karena itu hukum pidana adalah sarana terakhir (ultimum remedium)---dan sudah barang tentu dengan dalih menanggulangi kejahatan supaya setidaknya fenomena kejahatan itu sendiri semakin terminimalisir atau mengalami proses pengikisan dalam lintasan sejarah. Pada titik ini, kita sedang berbicara mengenai teori "Politik Kriminal" atau "Kebijakan Kriminal".

Mengacu pendapat dari ahli hukum Prancis, Marc Ancel, bahwa politik/kebijakan kriminal adalah "the rational organization of the control of crime by society." Sedangkan menurut G. Peter Hoefnagels, mendefinisikannya sebagai berikut: "criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime." Esensinya, politik kriminal adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang dikontrol oleh bersama, baik pemerintah maupun masyarakat dalam kerangka yang rasional. Saat yang sama salah seorang pakar pidana Indonesia, Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa sebenarnya politik kriminal itu merupakan bagian integral dari penegakan hukum pidana itu sendiri (Effendy, 2014: 226-227). Sehingga, sebagaimana yang telah ditawarkan oleh penulis, bahwa benar antara dimensi peraturan perundang-undangan (abstrak) dan proses penegakan hukum (konkret) harus interaktif, integratif, dan interkonektif. Karena, semangat negara hukum tidak cukup hanya dibuktikan oleh sejauh banyaknya hukum normatif tertulis (lex scripta) yang diproduksi, tapi juga membutuhkan aktor penggerak yang membuat sistem hukum itu sendiri dinamis dan progresif, begitu juga sebaliknya.

Tibalah kita diujung narasi kali ini yang telah dibangun oleh penulis, dengan segala harapan, penulis berusaha menawarkan beberapa solusi alternatif yang sekaligus akan dibarengi dengan elaborasinya agar pembaca dapat memahami secara utuh dan objektif.

[1] Sebagaimana wajah kriminologi kritis dalam memandang panorama problem kejahatan terorisme, maka penulis memberi masukan agar negara---pemerintah yang harus bersinergi dengan masyarakat---seoptimal mungkin membuat kebijakan yang yang tidak diskriminatif, menjadikan keadilan sebagai rohnya, adaptif dengan tuntutan zaman, dan berkiblat pada asas negara sejahtera (welfare state) dengan berpedoman pada Pancasila dan Konstitusi sebagai pandu yang menaungi segala misi ataupun visi berbangsa dan bernegara. Dengan motif, agar segala kebutuhan baik ekonomi, sosial, hukum, hingga politik masyarakat bisa terakomodir secara baik. Penulis kira, salah satu prasyarat terjadinya negara dengan pemerintahan yang ideal adalah sistem birokrasi atau institusi yang berada dalam tubuh pemerintah haruslah sehat dan baik. Faktanya, tesis ini mendapat tsunami pembuktian ilmiah dalam risetnya Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Karenanya, kepercayaan publik (public trust) terhadap pemerintah (state institution) itu akan selalu bergantung---salah satunya---pada kualitas kebijakan maupun hukum yang disponsorinya, jika itu berujung pada kebahagiaan, kemakmuran, maupun kesejahteraan bersama, maka saat yang sama indeks kejahatan terorisme dimungkinkan akan mengalami "reduksionalisasi" yang relatif tajam. Dengan bahasa lain, negara tidak boleh pensiun, alergi, fobia, dan durhaka terhadap gelombang aspirasi termasuk kritikan ataupun saran dari rakyat, saat yang sama juga, dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia tidak boleh golongan mayoritas (diktator mayoritas) yang didominasi oleh rakyat banyak (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas (tirani minoritas) elite politik dan pengusaha (minorokrasi) mengeja setiap keputusan demi kepentingan bersama (Latif, 2018: 119).      

 [2] Upaya penanggulangan terorisme dalam beranda hukum pidana, harus menyeimbangkan pendekatan/metode kebijakan penal (penal policy) yang berbasiskan pada usaha represif dari aparat penegak hukum dan kebijakan nonpenal (nonpenal policy) yang berorientasi pada upaya preventif terjadinya terorisme, dikotomi konsep kebijakan ini dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels. Hemat penulis, bilamana benar terjadi suatu keseimbangan (equilibrium) dalam proses perjalanan penanggulangan terorisme dengan menempuh dua pendekatan kebijakan dengan baik tersebut sebagaimana prinsip keseimbangan universal, maka ideal taraf hidup bersama yang lebih baik lagi dipastikan berada persis di hadapan kita semua. Namun supaya Indonesia tidak menjadi negara gagal (failed state), maka kita jangan sampai terjebak pada fanatisme buta juga, bahwa kedua pendekatan dalam menanggulangi kejahatan terorisme tersebut pun harus mendapat tempatnya yang kontekstual-fleksibel, sehingga ini akhirnya tergantung pada situasi dan kondisi negara.  

[3] Sejalan dengan itu, dalam tradisi diskursus terorisme, terdapat tiga pendekatan kembar dengan dua anak metode dari politik kriminal dalam hukum pidana, antara lain yaitu: Pertama, pendekatan memerangi terorisme (fight against terrorism), dengan langsung menuntaskan konflik terorisme melalui kekuatan fisik yang bermodel seperti perang. Kedua, pendekatan keras (hard approach), yaitu dengan mengurung teroris di dalam bilik penjara, penangkapan dari aparat, hingga penegakan hukum. Dua pendeketan tersebut relatif simetris (similar) dengan kedua pendekatan politik kriminal dalam hukum pidana. Adapun yang Ketiga, pendekatan nirkekerasan (soft approach), yaitu pendekatan yang lunak dengan memanfaatkan sejumlah momentum agenda dialogis-interaktif atau membawa surplus narasi-narasi bijak dalam rangka menyongsong spirit deradikalisasi, deekstremisasi, deterorisasi, atau bahkan moderatisasi dengan menggunakan payung referensi dari bidang-bidang ilmu pengetahuan seperti psikologi, teologi, dan lain-lain (Amin, 2020: 31). Hemat penulis, pada dasarnya semua pendekatan dalam khazanah keilmuan terorisme tersebut sangatlah bernilai, akan tetapi harus dikontekstualisasikan dengan keadaan yang ada. Jika negara berada dalam atmosfer yang genting dan memaksa (state of emergency), maka akan sangat strategis bila menggunakan pendekatan yang berpostur seperti perang (fight against terrorism), begitu juga sebaliknya, dan seterusnya.

[4] Di era keterbukaan sebagai dampak langsung dari arus besar globalisasi, maka penggunaan platform media sosial harus segera dibatasi dan dikontrol secara ketat dalam kerangka politik kriminal oleh negara tanpa menganggu hak privasi dari setiap masyarakat. Menurut McQuail dalam Theories of Mass Communication, salah satu fungsi dari media adalah sebagai forum untuk mengakses berbagai informasi mengudara dengan bebasnya kepada khalayak, di samping sebagai medium dalam berkomunikasi secara interaktif bahkan hiperaktif (Amin, 2020: 86). Menjadi rasional, ketika semakin bertambahnya jumlah teroris karena efek dari proses indoktrinasi dan rekrutmentasi yang terjadi di arena media sosial. Keadaan 'kiamat' seperti ini mendapat term khusus yaitu "Hiperkriminalitas" di mana kejahatan telah melampaui batas (ekses) karena pengaruh besar dari teknologi. Sangat sinkron dengan sabda dari filsuf Prancis, Jean Baudrillard, dalam bukunya The Perfect Time bahwa dengan bantuan teknologi, manajemen, maupun politik, kini kejahatan dan kekerasan telah mencapai bentuknya yang paripurna, yang dia sebut sebagai "kriminalitas sempurna" (Piliang, 2005: 114).

Maka daripada itu, penulis teringat dengan perkataan merdu yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa, "kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir." Sekian dan Terima Kasih.

Daftar Pustaka

Buku

  1. Acemoglu, Daron & James A. Robinson. 2018. Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
  2. Amin, Hamidin A. 2020. Wajah Baru Terorisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  3. Apter, David E. 1987. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES.
  4. Asshiddiqie, Jimly & M. Ali Safa'at. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.
  5. Atmasasmita, Romli. 2016. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT Refika Aditama.
  6. Atmasasmita, Romli. (Ed). 2018. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Refika Aditama.
  7. Azyumardi, Azra. et al. 2017. Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme. Bandung: Mizan.
  8. Budiarjo, Miriam. (Ed). 2019. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  9. Effendy, Marwan. 2014. Teori Hukum dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana. Jakarta: Gaung Persada Press Grup.
  10. Hamzah, Andi. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
  11. Hamzah, Andi. 2019. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
  12. Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke 21. Manado: CV. Global Indo Kreatif.
  13. Hardiman, F. Budi. 2018. Demokrasi dan Sentimentalitas. Yogyakarta: PT Kanisius.
  14. Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: CV Sinar Baru.
  15. Latif, Yudi. 2018. Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan. Bandung: Mizan.
  16. Nasiwan. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  17. Piliang, Yasraf A. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
  18. Santoso, Topo. 2020. Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Jurnal 

  1. Firmansyah, Hery. 2011. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Jurnal Mimbar Hukum, 23(2), 237-429.  
  2. Guntara, Deny & Budiman. 2018. Tinjauan Kriminologi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dalam Perspektif Teori Differential Association. Jurnal Justisi Hukum, 3(1), 106-119.
  3. Komariah, Mamay. 2017. Kajian Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5(1), 1-23.
  4. Mustofa, Muhammad. 2002. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(3), 30-38.
  5. Nitibaskara, Tb. Ronny R. 2002. Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah: Suatu Tinjauan Kriminologis dan Hukum Pidana. Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(3), 14-21.

Internet 

  1. Jurdi, Fajlurrahman. 2017. Lex Dura Sed Tamen Scripta. Diperoleh pada April 10, 2021, dari https://matakita.co/2017/11/19/lex-dura-sed-tamen-scripta/
  2. Mannheim, Hermann. 2019. Criminology. Diperoleh pada April 8, 2021, dari https://www.britannica.com/science/criminology
  3. Ridwan, Muhammad. 2021. Ini Isi Surat Wasiat Zakiah, Pelaku Penyerangan di Mabes Polri. Diperoleh pada April 9, 2021, dari https://sumeks.co/ini-isi-surat-wasiat-zakiah-pelaku-penyerangan-di-mabes-polri/
  4. Thenu, Arnold. 2020. Kejahatan yang Terorganisir akan Mengalahkan Kebaikan yang Tidak Terorganisir. Diperoleh pada April 11, 2021, dari https://kabar65news.com/2020/12/09/kejahatan-yang-terorganisir-akan-mengalahkan-kebaikan-yang-tidak-terorganisir/  
  5. Virya, Imdad Mahatfa. 2020. Antara Jaksa dan Kriminologi. Diperoleh pada April 8, 2021, dari https://www.kejari-bone.go.id/artikel/detail/2/antara-jaksa-dan-kriminologi.html
  6. https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_alienasi_Marx diakses pada 9 April 2021. 
  7. https://www.terusberjuang.com/2017/12/pengertian-asas-lex-dura-sed-tamen-scripta.html diakses pada 10 April 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun