"Berhentilah dengan nafsumu, dan kamu menjadi beriman."
(Blaise Pascal)
"Fanatisme adalah satu-satunya 'tekad' yang kepadanya orang-orang lemah juga dapat dibawa."
(Friedrich Nietzsche)
"Lawan cinta bukanlah kebencian, melainkan pengabaian; pengabaian menciptakan kejahatan. Kebencian adalah kejahatan itu sendiri."
(Elie Wiesel)
Tulisan kali ini dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu kejahatan tentu berangkat dari melimpah-ruahnya keresahan penulis terhadap beberapa fenomena kejahatan "teror" (aksiologi) atau sebut saja "terorisme" (ideologi) internasional khususnya dalam konteks negara Indonesia---dari gerakan kolektif bom Bali dulu hingga "lone wolf" kemarin di Mabes Polri. Tindakan dehumanisasi tersebut sangatlah bertolak belakang secara diametral dengan spirit dan nilai Pancasila (Grundnorm) dan Konstitusi (Staatsfundamentalnorm) kita, lebih-lebih lagi dengan berbagai prinsip global kemanusiaan yang beradab.
Tak bisa dimungkiri memang bahwa model kejahatan yang biasanya berbasis pada akumulasi perilaku amoral seperti memproduksi polusi kekerasan, menyemai benih ketakutan, memfabrikasi ancaman dan/atau kematian, hingga indoktrinasi ideologis yang terkadang sarat oleh kepentingan politis (political interest) di belakang layar itu telah menghiasi lembaran panjang dan tebal sejarah peradaban umat manusia lintas zaman. Itulah bukti yang menjadi fakta sejarah bahwa saat ini kita sedang hidup di tengah kemarau moral dan keringnya samudra etika, tampaknya pulau cita-cita kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, res publica) hanya menjadi imajinasi utopis belaka. Â Â
Hemat penulis, terorisme senantiasa disebut sebagai "sindrom jihad" maupun "pseudo-syahid" yang sangat tidak manusiawi. Berbagai upaya yang telah dilakukan dalam menghadirkan solusi alternatif untuk menuntaskan persoalan tersebut tampaknya tidak menghasilkan perubahan yang cukup memuaskan. Namun yang jelas, bahwa setiap aksi terorisme itu tidak boleh dijinakkan sama sekali di bawah naungan kata toleransi, kebebasan, hak asasi manusia, dan pluralisme, hal ini justru mampu membuahkan suatu keadaan anomali baru, dengan bahasa lain yaitu membuka---dalam literatur mitologi Yunani disebut sebagai---kotak pandora (pandora box). Jauh sebelum narasi ini dirumuskan oleh penulis, Karl Popper secara tegas dalam teori "The Paradox of Tolerance" telah berusaha mengingatkan kita terhadap fenomena aneh ini yang tidak boleh diterima apa adanya begitu saja (taken for granted), bahwa kita jangan sekali-kali toleran terhadap kelompok yang intoleran! Â
Dalam tradisi perdebatan intelektual, hingga saat ini definisi dari "terorisme" itu sendiri belum mendapatkan tempat yang layak, para ahli tampaknya akan dan sedang terus memperdebatkannya seolah tanpa memiliki ujung lorong konsensus. Karena antarversi definisi tersebut selalu saja memiliki ambiguitas, pluralitas makna, irrasional, saling bertabrakan, maupun kecacatan. Apabila merujuk pada kamus bahasa internasional seperti Webster e-Dictionary, bahwa terorisme didefnisikan sebagai berikut, "the use of violent acts to frighten the people in an area as a way of trying to achieve a political goal". Kendati definisi terorisme tersebut mensyaratkan adanya imajinasi dan visi politik, namun dalam beberapa kasus gerakan 'teroristik' agaknya tidak terlihat indikasi-indikasi kepentingan politik, seperti misalnya gelombang penembakan terhadap penduduk sipil, anak sekolah, dan lain-lain yang kerap kali menyeruak di semester pertama dari tahun 2016 di Amerika Serikat. Fakta ini juga telah mendapat legitimasi dari salah seorang sosiolog terkenal, Austin T. Turk, beliau menyatakan bahwa motivasi dan tujuan politis tidak selalu merupakan unsur utama.
Tetapi poin intinya adalah bahwa terorisme pastinya membutuhkan konstruksi skema strategi yang cantik dari seorang aktor teroris yang cerdas dalam mengaktualisasikan tindakan terornya di ruang-ruang sosiologis termasuk menularkan virus ideologinya, pada titik ini Yuval Noah Harari (2018) menawarkan gagasan dalam bukunya yang berjudul 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke 21 bahwa "teroris adalah ahli mengendalikan pikiran." Menariknya, dalam buku yang sama Harari juga mencoba mendefinisikan terorisme: "strategi militer yang berharap untuk mengubah situasi politik dengan menyebarkan ketakutan alih-alih dengan menyebabkan kerusakan material." Terlepas dari muatan motivasi yang menjiwai para teroris.
Maka sependek pengetahuan dan pengamatan penulis, para teroris adalah mereka yang tidak memiliki kompas moral yang luhur untuk kebaikan bersama (common good, bonum commune), merekalah justru aktor yang mampu mengguncang struktur sosial dengan membawa arus besar kekerasan fisik, menyulap atmosfer sosial yang penuh dengan senyawa kedamaian menjadi kerusuhan, menciptakan iklim ketakutan yang masif, membawa pengalaman dan imajinasi traumatik dalam lintasan sejarah, menciptakan instabilitas keamanan atau ketertiban, membuat industri kematian massal, membuka keran terjadinya kecemasan psikologis maupun sosiologis, hingga mampu meredefinisi makna kehidupan manusia.
Genealogi Kejahatan Terorisme dalam Ritme KriminologiÂ
Menggali akar-akar dari tanah sejarah kejahatan yang terjadi di muka panggung besar dunia---khususnya Indonesia---tentu akan ditemukan banyak sekali variabel yang menjadi sebab-sebabnya (causa) sekaligus bisa dipakai sebagai pendekatan ilmiah (scientific approach) untuk mengurai benang persoalan terorisme itu sendiri, yaitu misalnya antara lain: ekonomi, pendidikan, psikologi, dan lain-lain. Namun, dalam tulisan ini penulis hanya menjadikan optik kriminologi (nonlegal) dan hukum pidana (legal) sebagai titik tumpu perspektif dalam menganalisis problem kejahatan, utamanya adalah terorisme.
Secara historis-teoretis, kriminologi---dalam term Van Bemmelen disebut---sebagai "Faktuele-strafrechtswissenschaft" berhasil dilahirkan pada sekitar paruh abad ke-19 yang lampau sejak dipublikasinya hasil dari identifikasi Cesare Lombroso (1876) tentang teori atavisme dan tipe penjahat, kemudian disusul oleh menguaknya teori hubungan sebab-akibat (kausalitas) yang dipelopori oleh tokoh aliran lingkungan dari kejahatan, Enrico Ferri, teori-teori mereka menjadi embrio dari lahirnya cabang ilmu yang menyelidiki tentang kejahatan itu sendiri (Atmasasmita, 2018: 3). Kendatipun menurut Topo (dalam Bonger 1985: 7) studi ilmu kejahatan ini diberi nama "kriminologi" oleh seorang ahli antropologi Prancis yaitu Paul Topinard (1830-1911). Dalam perkembangannya yang cukup progresif, terjadi dikotomi fragmen paradigma dalam disiplin teori kriminologi sekaligus metode yang ditempuh untuk melihat gejala pelaku kriminal yang terkenal dan monumental. Pertama, teori kriminologi konvensional yang dibuka jalan sejarahnya oleh beberapa tokoh seperti C. Lombroso, Enrico Ferri, dan Lacassagne. Proposal teori ini berpijak pada konsepsi (ratio legis) bahwa gejala kejahatan itu berakar pada individu, sedangkan Kedua, teori kriminologi modern dipionirkan oleh tokoh-tokoh fenomenal seperti E. Durkheim, Robert Merton, hingga Edwin Sutherland yang bertonggak (milestone) pada perspektif bahwa kejahatan merupakan gejala sosial (Atmasasmita, 2018: 1). Pada umumnya, kedua teori tersebut sebenarnya mendasarkan pandangannya pada aspek "kuantitas subjek" pelaku tindak kejahatan.
Menurut Hermann Mannheim (1970), sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, kriminologi sebagai bidang ilmu tentang kejahatan yang mandiri, tidak bisa terlepas dari ombak pengaruh dan harus bergantung pada dinamika perkembangan inovasi-inovasi disiplin ilmu lain yang independen, seperti antropologi, kedokteran, psikologi, sosiologi, hukum, ekonomi, dan statistik. Karena hemat penulis, justru bidang-bidang ilmu pengetahuan di samping kriminologi itulah yang melabuhkan pengaruhnya untuk menjadi rahim atas lahirnya teori-teori dan mazhab mazhab besar dalam khazanah literatur kriminologi. Misalnya dalam konteks teori postivisme sains, terdapat mazhab positif dalam rekaman sejarah yang membasiskan doktrinnya pada kacamata sains dengan mengaitkan teori biologi, psikologi, dan sosiologi terhadap perilaku kriminal. Sehingga secara mutatis mutandis, pelaku kriminal memiliki karakteristik tersendiri yang khas dan dapat didikte secara pasti maupun terukur (saintifik), Cesare Lombroso sendirilah yang mendirikan Mazhab Positivist of Criminology sekaligus yang melukiskan konsep tersebut dengan nama "Lhuomo Delikuente" atau "The Criminal Man" (Manusia Kriminal) (Santoso, 2020: 65-66). Maka dalam hal ini, pada dasarnya pelaku kejahatan terorisme juga sepertinya tidak terlalu rumit untuk mendiagnosis identitas fisiknya, seperti misalnya berambut panjang, memiliki perawakan yang besar, dan lain-lain. Sebagaimana dikutip oleh Romli (dalam Williams III and McShane, 1988: 49-50), ada juga teori asosiasi diferensial (differential association) yang disutradarai oleh sosiolog Amerika, E.H. Sutherland, pada tahun 1934 dalam bukunya yang berjudul Principles of Criminology. Menariknya, saat masih dalam proses pembuahan, teori ini terkena pengaruh dari berbagai teori sosiologi seperti transmisi ekologi dan budaya (ecological and cultural transmission theory), interaksionisme simbolik (symbolic interactionism), hingga konflik budaya (culture conflict theory). Â Â Â Â Â
Kriminologi Kritis sebagai Penerjemah "Bahasa" Terorisme
Selain itu, sebetulnya masih terdapat banyak sekali teori maupun mazhab kriminologi yang masih berkeliaran di dalam galaksi kepustakaan ilmu kejahatan itu sendiri. Misalnya dari mulai teori anomi, kontrol sosial, hingga labeling. Adapun dalam lingkungan variasi mazhab, terdapat mazhab klasik, positif, neo-klasik, sampai dengan perlindungan sosial. Namun, penulis akan memfokuskan narasi ini yang sedang dibaca oleh pembaca dan menggunakan pendekatan aliran/mazhab (school) kriminologi kritis sebagai modal utama dalam mengurai benang kusut fenomena kejahatan khususnya terorisme, berhubung mazhab tersebut sangat kuat relasi kajiannya dengan negara maupun proses legislasi dalam membuat produk hukum---lebih-lebih terhadap hukum pidana. Â Â
Pada paruh abad ke-20, orientasi kriminologi mengalami pergeseran objek studi dalam memandang tentang kejahatan: bahwa sumber perbuatan kriminal itu bersumbu pada tingkah laku organisasi raksasa (big organizational behavior) yang bernama negara---dalam hal ini pemerintah---yang digariskan pada dimensi keadilan, kesetaraan, bahkan kebahagiaan yang dihasilkannya. Artinya, sejauh negara yang memiliki kekuasaan---eksekutif, legislatif, maupun yudikatif---tidak berperan dalam menjalankan mesin programnya, yaitu memproduksi kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran, dan sebagainya untuk rakyatnya, maka pada saat yang bersamaan, negara sedang ataupun telah menelurkan 'DNA' kejahatan dan penjahat baru dalam suatu komunitas masyarakat. Maka benar, konsekuensi dari perspektif ini memiliki hukum kausalitas yang jelas, kekuasaan negara adalah akar dari terorisme! Aliran yang mendukung tesis tersebut adalah Kriminologi Kritis (Critical Criminology), yang diprakarsai oleh Taylor dan Joek Young, kriminolog Inggris (Atmasasmita, 2018: 3). Benar, bahwa aliran ini sangatlah bertolak belakang dengan maksud dan tujuan dibuatnya suatu instrumen hukum yaitu undang-undang (constitution, rule of law) khususnya dan kekuasaan negara (state power) yang pastinya adalah, sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiarjo (dalam R.M. Maclver, 1926: 22), untuk "menyelenggarakan penertiban di dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa." Sederhananya, menurut sabda Augustinus, "negara berkewajiban menjadi agen penjunjung perdamaian" (Nasiwan, 2012: 155).
Sehingga, aliran kriminologi ini seolah-olah mengaburkan makna atas eksistensi dari negara itu sendiri, karena pertanyaan mendasar yang mampu diajukan adalah, siapa yang harus mendapat proteksi dari siapa jika negara sendiri diimajinasikan sebagai embrio dari penyebab timbulnya kabut gelap kejahatan? Terlepas dari berbagai jawaban alternatif dalam melarutkan pertanyaan itu, pada esensinya kriminologi kritis masih memberikan sentuhan empati terhadap mereka yang menjadi "korban negara"---memberdayakan kaum marginal yang berada di tepi peradaban dengan komitmen sebagai jantung pergerakannya. Karena, sebagaimana dilansir oleh Topo Santoso, menurut Michael J. Lynch ("Critical Criminology", 2010) aliran ini berusaha keras mempromosikan keadilan, ekonomi, hingga politik sebagai kerangka dalam rangka menurunkan suhu panas kejahatan dan ketimpangan dalam pembuatan hukum di dalam dapur-dapur eksekutif dan/atau legislatif dan penegakan hukum di ruang-ruang yudikatif.
Apabila kita kontekstualisasikan dengan problem kejahatan terorisme, maka sangat dimungkinkan jika genealogi dari lahirnya gerakan ekstrem tersebut justru berawal dari kebijakan publik (public policy) yang diskriminatif, tidak memenuhi tuntunan keadilan, merusak payung kesejahteraan, meruntuhkan tiang kemakmuran, dan merobek rasa kemanusiaan, hingga tidak sesuai dengan aspirasi individual maupun komunal. Ini terbukti dalam beberapa kasus aksi teror di negara Indonesia khususnya, seperti fenomena "lone wolf" kemarin yang terjadi di Mabes Polri. Pelaku yang bernama Zakiah Aini itu diduga dengan sengaja mewariskan surat wasiat yang isi teksnya mengandung pesan yang bernada provokatif, indokrinatif, dan memiliki kadar sentimentalitas yang tinggi terhadap konstelasi tata pemerintahan saat ini, jelas ini bermotif politik. Dari mulai rezim yang tagut sampai Demokrasi, Pancasila, dan Konstitusi yang merupakan bentuk formasi doktrin kafir---yang tentu bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Menjadi ironi ketika tren aspirasi dari kaum terorisme-ekstremisme terus menjulang tinggi untuk menembus langit konsepi ketatanegaraan kita, tapi pada saat yang sama, justru sejauh ini suara mayoritas masyarakat Indonesia sendiri tampaknya masih bersikukuh mempertahankan benteng ideologi bangsa dan negara seperti Pancasila maupun Konstitusi. Maka dalam konteks kriminologi kritis, negara (khususnya pemerintah) sebagai representasi rakyat dalam menjalankan kepentingannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran melalui jalur yang ditempuh dengan memperdengarkan melodi dari kelompok terorisme sangatlah mustahil. Ditambah lagi, jalan yang mereka gunakan itu kontraproduktif dan ahistoris---kekerasan, kematian, ancaman, perlawanan, dan perusakan---sehingga penetrasi aspirasinya pun lemah. Akan tetapi, justru di titik inilah negara harus berkontribusi aktif dalam menuntaskan permasalahan yang terjadi, agar mereka yang telah menjadi bagian dari golongan terorisme tidak menjadi minoritas yang terisolasi, dalam hal ini, teori alienasi (Entfremdung) dari Karl Marx bisa menjelaskan situasi dan kondisi---dari sebab yang menstimulus---terjadinya kejahatan terorisme khususnya fenomena sosial yang terjadi. Â Â
Terlepas dari siapa yang memegang kendali kebenaran, hendaknya kita tidak mengamini perilaku "dungu" dari setiap aksi gerakan terorisme yang berujung pada pengakhiran nasib diri dan terkadang mengorbankan orang yang sama sekali tidak bersalah, terlebih lagi tidak dijadikan objek pergerakan secara spesifik, ini jelas tidak selaras dengan akal sehat kita (common sense), maka patut dipertanyakan bahwa apakah pantas menempuh jalan pintas menuju pintu kematian dengan menaiki tangga kemaksiatan dan memodifikasi doktrin agama yang telah diajarkan demi meraih puncak tujuan? Â Â
Hubungan Romantis antara Hukum Pidana dengan Kriminologi Kritis dalam Pusaran Ilmu Pengetahuan
Dalam konteks ini, titik kolaborasi antara hukum pidana dan kriminologi khususnya kriminologi kritis menjadi sangat urgen dalam rangka menuntaskan masalah kejahatan khususnya terorisme. Titik taut antara keduanya sangatlah masif, bahkan menurut pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita, beliau berpendapat bahwa, "... Perkembangan aliran kriminologi kritis adalah sejarah perkembangan hukum pidana yang merupakan Instrumen sekaligus alat kekuasaan negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya ..." Penulis menganalogikan kedua bidang ilmu pengetahuan itu sebagai "saudara kembar", "dua wajah dalam satu tubuh", atau "dua sisi mata koin yang sama". Jika diturunkan penjabaran sederhananya, Hermann Mannheim (1960), setidak-tidaknya mengonfirmasi bahwa hukum pidana mengkaji kejahatan dari area hukum, sedangkan kriminologi mengkaji kejahatan dari wilayah ilmu sosial atau kerap kali disebut sebagai "non-normative discipline".
Sebagaimana Van Bemmelen telah mendefinisikan kriminologi, maka dia juga memberi term khusus pada hukum pidana sebagai "Normative-strafrechtwissenschaft". Menariknya, antara hukum pidana dan kriminologi kritis, terdapat similiaritas (persamaan) dari kedua disiplin ilmu itu dengan berpijak pada tiga premis yang sama bahwa: Pertama, negara memiliki rempah-rempah kekuasaan melalui dan bersumber pada instrumentasi hukum positif (ius constitutum). Kedua, melegitimasi bahwa komunitas masyarakat merupakan objek dari hukum itu sendiri dan memiliki kedudukan (equality) yang sama dengan negara. Ketiga, negara memiliki peranan yang dominan dalam mengatur arus lalu lintas ketertiban, keamanan, kesejahteraan, bahkan keadilan---kata yang bisa menghimpun keberagaman tujuan hidup manusia hanyalah "bahagia" (eudaimonia). (Atmasasmita, 2018: 4-5).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI