Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Terorisme dalam Bingkai Kriminologi dan Hukum Pidana: Dari Mazhab Kriminologi Kritis hingga Politik Kriminal #1

11 April 2021   22:11 Diperbarui: 12 April 2021   13:40 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi poin intinya adalah bahwa terorisme pastinya membutuhkan konstruksi skema strategi yang cantik dari seorang aktor teroris yang cerdas dalam mengaktualisasikan tindakan terornya di ruang-ruang sosiologis termasuk menularkan virus ideologinya, pada titik ini Yuval Noah Harari (2018) menawarkan gagasan dalam bukunya yang berjudul 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke 21 bahwa "teroris adalah ahli mengendalikan pikiran." Menariknya, dalam buku yang sama Harari juga mencoba mendefinisikan terorisme: "strategi militer yang berharap untuk mengubah situasi politik dengan menyebarkan ketakutan alih-alih dengan menyebabkan kerusakan material." Terlepas dari muatan motivasi yang menjiwai para teroris.

Maka sependek pengetahuan dan pengamatan penulis, para teroris adalah mereka yang tidak memiliki kompas moral yang luhur untuk kebaikan bersama (common good, bonum commune), merekalah justru aktor yang mampu mengguncang struktur sosial dengan membawa arus besar kekerasan fisik, menyulap atmosfer sosial yang penuh dengan senyawa kedamaian menjadi kerusuhan, menciptakan iklim ketakutan yang masif, membawa pengalaman dan imajinasi traumatik dalam lintasan sejarah, menciptakan instabilitas keamanan atau ketertiban, membuat industri kematian massal, membuka keran terjadinya kecemasan psikologis maupun sosiologis, hingga mampu meredefinisi makna kehidupan manusia.

Genealogi Kejahatan Terorisme dalam Ritme Kriminologi 

Menggali akar-akar dari tanah sejarah kejahatan yang terjadi di muka panggung besar dunia---khususnya Indonesia---tentu akan ditemukan banyak sekali variabel yang menjadi sebab-sebabnya (causa) sekaligus bisa dipakai sebagai pendekatan ilmiah (scientific approach) untuk mengurai benang persoalan terorisme itu sendiri, yaitu misalnya antara lain: ekonomi, pendidikan, psikologi, dan lain-lain. Namun, dalam tulisan ini penulis hanya menjadikan optik kriminologi (nonlegal) dan hukum pidana (legal) sebagai titik tumpu perspektif dalam menganalisis problem kejahatan, utamanya adalah terorisme.

Secara historis-teoretis, kriminologi---dalam term Van Bemmelen disebut---sebagai "Faktuele-strafrechtswissenschaft" berhasil dilahirkan pada sekitar paruh abad ke-19 yang lampau sejak dipublikasinya hasil dari identifikasi Cesare Lombroso (1876) tentang teori atavisme dan tipe penjahat, kemudian disusul oleh menguaknya teori hubungan sebab-akibat (kausalitas) yang dipelopori oleh tokoh aliran lingkungan dari kejahatan, Enrico Ferri, teori-teori mereka menjadi embrio dari lahirnya cabang ilmu yang menyelidiki tentang kejahatan itu sendiri (Atmasasmita, 2018: 3). Kendatipun menurut Topo (dalam Bonger 1985: 7) studi ilmu kejahatan ini diberi nama "kriminologi" oleh seorang ahli antropologi Prancis yaitu Paul Topinard (1830-1911). Dalam perkembangannya yang cukup progresif, terjadi dikotomi fragmen paradigma dalam disiplin teori kriminologi sekaligus metode yang ditempuh untuk melihat gejala pelaku kriminal yang terkenal dan monumental. Pertama, teori kriminologi konvensional yang dibuka jalan sejarahnya oleh beberapa tokoh seperti C. Lombroso, Enrico Ferri, dan Lacassagne. Proposal teori ini berpijak pada konsepsi (ratio legis) bahwa gejala kejahatan itu berakar pada individu, sedangkan Kedua, teori kriminologi modern dipionirkan oleh tokoh-tokoh fenomenal seperti E. Durkheim, Robert Merton, hingga Edwin Sutherland yang bertonggak (milestone) pada perspektif bahwa kejahatan merupakan gejala sosial (Atmasasmita, 2018: 1). Pada umumnya, kedua teori tersebut sebenarnya mendasarkan pandangannya pada aspek "kuantitas subjek" pelaku tindak kejahatan.

Menurut Hermann Mannheim (1970), sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, kriminologi sebagai bidang ilmu tentang kejahatan yang mandiri, tidak bisa terlepas dari ombak pengaruh dan harus bergantung pada dinamika perkembangan inovasi-inovasi disiplin ilmu lain yang independen, seperti antropologi, kedokteran, psikologi, sosiologi, hukum, ekonomi, dan statistik. Karena hemat penulis, justru bidang-bidang ilmu pengetahuan di samping kriminologi itulah yang melabuhkan pengaruhnya untuk menjadi rahim atas lahirnya teori-teori dan mazhab mazhab besar dalam khazanah literatur kriminologi. Misalnya dalam konteks teori postivisme sains, terdapat mazhab positif dalam rekaman sejarah yang membasiskan doktrinnya pada kacamata sains dengan mengaitkan teori biologi, psikologi, dan sosiologi terhadap perilaku kriminal. Sehingga secara mutatis mutandis, pelaku kriminal memiliki karakteristik tersendiri yang khas dan dapat didikte secara pasti maupun terukur (saintifik), Cesare Lombroso sendirilah yang mendirikan Mazhab Positivist of Criminology sekaligus yang melukiskan konsep tersebut dengan nama "Lhuomo Delikuente" atau "The Criminal Man" (Manusia Kriminal) (Santoso, 2020: 65-66). Maka dalam hal ini, pada dasarnya pelaku kejahatan terorisme juga sepertinya tidak terlalu rumit untuk mendiagnosis identitas fisiknya, seperti misalnya berambut panjang, memiliki perawakan yang besar, dan lain-lain. Sebagaimana dikutip oleh Romli (dalam Williams III and McShane, 1988: 49-50), ada juga teori asosiasi diferensial (differential association) yang disutradarai oleh sosiolog Amerika, E.H. Sutherland, pada tahun 1934 dalam bukunya yang berjudul Principles of Criminology. Menariknya, saat masih dalam proses pembuahan, teori ini terkena pengaruh dari berbagai teori sosiologi seperti transmisi ekologi dan budaya (ecological and cultural transmission theory), interaksionisme simbolik (symbolic interactionism), hingga konflik budaya (culture conflict theory).          

Kriminologi Kritis sebagai Penerjemah "Bahasa" Terorisme

Selain itu, sebetulnya masih terdapat banyak sekali teori maupun mazhab kriminologi yang masih berkeliaran di dalam galaksi kepustakaan ilmu kejahatan itu sendiri. Misalnya dari mulai teori anomi, kontrol sosial, hingga labeling. Adapun dalam lingkungan variasi mazhab, terdapat mazhab klasik, positif, neo-klasik, sampai dengan perlindungan sosial. Namun, penulis akan memfokuskan narasi ini yang sedang dibaca oleh pembaca dan menggunakan pendekatan aliran/mazhab (school) kriminologi kritis sebagai modal utama dalam mengurai benang kusut fenomena kejahatan khususnya terorisme, berhubung mazhab tersebut sangat kuat relasi kajiannya dengan negara maupun proses legislasi dalam membuat produk hukum---lebih-lebih terhadap hukum pidana.   

Pada paruh abad ke-20, orientasi kriminologi mengalami pergeseran objek studi dalam memandang tentang kejahatan: bahwa sumber perbuatan kriminal itu bersumbu pada tingkah laku organisasi raksasa (big organizational behavior) yang bernama negara---dalam hal ini pemerintah---yang digariskan pada dimensi keadilan, kesetaraan, bahkan kebahagiaan yang dihasilkannya. Artinya, sejauh negara yang memiliki kekuasaan---eksekutif, legislatif, maupun yudikatif---tidak berperan dalam menjalankan mesin programnya, yaitu memproduksi kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran, dan sebagainya untuk rakyatnya, maka pada saat yang bersamaan, negara sedang ataupun telah menelurkan 'DNA' kejahatan dan penjahat baru dalam suatu komunitas masyarakat. Maka benar, konsekuensi dari perspektif ini memiliki hukum kausalitas yang jelas, kekuasaan negara adalah akar dari terorisme! Aliran yang mendukung tesis tersebut adalah Kriminologi Kritis (Critical Criminology), yang diprakarsai oleh Taylor dan Joek Young, kriminolog Inggris (Atmasasmita, 2018: 3). Benar, bahwa aliran ini sangatlah bertolak belakang dengan maksud dan tujuan dibuatnya suatu instrumen hukum yaitu undang-undang (constitution, rule of law) khususnya dan kekuasaan negara (state power) yang pastinya adalah, sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiarjo (dalam R.M. Maclver, 1926: 22), untuk "menyelenggarakan penertiban di dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa." Sederhananya, menurut sabda Augustinus, "negara berkewajiban menjadi agen penjunjung perdamaian" (Nasiwan, 2012: 155).

Sehingga, aliran kriminologi ini seolah-olah mengaburkan makna atas eksistensi dari negara itu sendiri, karena pertanyaan mendasar yang mampu diajukan adalah, siapa yang harus mendapat proteksi dari siapa jika negara sendiri diimajinasikan sebagai embrio dari penyebab timbulnya kabut gelap kejahatan? Terlepas dari berbagai jawaban alternatif dalam melarutkan pertanyaan itu, pada esensinya kriminologi kritis masih memberikan sentuhan empati terhadap mereka yang menjadi "korban negara"---memberdayakan kaum marginal yang berada di tepi peradaban dengan komitmen sebagai jantung pergerakannya. Karena, sebagaimana dilansir oleh Topo Santoso, menurut Michael J. Lynch ("Critical Criminology", 2010) aliran ini berusaha keras mempromosikan keadilan, ekonomi, hingga politik sebagai kerangka dalam rangka menurunkan suhu panas kejahatan dan ketimpangan dalam pembuatan hukum di dalam dapur-dapur eksekutif dan/atau legislatif dan penegakan hukum di ruang-ruang yudikatif.

Apabila kita kontekstualisasikan dengan problem kejahatan terorisme, maka sangat dimungkinkan jika genealogi dari lahirnya gerakan ekstrem tersebut justru berawal dari kebijakan publik (public policy) yang diskriminatif, tidak memenuhi tuntunan keadilan, merusak payung kesejahteraan, meruntuhkan tiang kemakmuran, dan merobek rasa kemanusiaan, hingga tidak sesuai dengan aspirasi individual maupun komunal. Ini terbukti dalam beberapa kasus aksi teror di negara Indonesia khususnya, seperti fenomena "lone wolf" kemarin yang terjadi di Mabes Polri. Pelaku yang bernama Zakiah Aini itu diduga dengan sengaja mewariskan surat wasiat yang isi teksnya mengandung pesan yang bernada provokatif, indokrinatif, dan memiliki kadar sentimentalitas yang tinggi terhadap konstelasi tata pemerintahan saat ini, jelas ini bermotif politik. Dari mulai rezim yang tagut sampai Demokrasi, Pancasila, dan Konstitusi yang merupakan bentuk formasi doktrin kafir---yang tentu bertentangan dengan ajaran agama Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun