Menjadi ironi ketika tren aspirasi dari kaum terorisme-ekstremisme terus menjulang tinggi untuk menembus langit konsepi ketatanegaraan kita, tapi pada saat yang sama, justru sejauh ini suara mayoritas masyarakat Indonesia sendiri tampaknya masih bersikukuh mempertahankan benteng ideologi bangsa dan negara seperti Pancasila maupun Konstitusi. Maka dalam konteks kriminologi kritis, negara (khususnya pemerintah) sebagai representasi rakyat dalam menjalankan kepentingannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran melalui jalur yang ditempuh dengan memperdengarkan melodi dari kelompok terorisme sangatlah mustahil. Ditambah lagi, jalan yang mereka gunakan itu kontraproduktif dan ahistoris---kekerasan, kematian, ancaman, perlawanan, dan perusakan---sehingga penetrasi aspirasinya pun lemah. Akan tetapi, justru di titik inilah negara harus berkontribusi aktif dalam menuntaskan permasalahan yang terjadi, agar mereka yang telah menjadi bagian dari golongan terorisme tidak menjadi minoritas yang terisolasi, dalam hal ini, teori alienasi (Entfremdung) dari Karl Marx bisa menjelaskan situasi dan kondisi---dari sebab yang menstimulus---terjadinya kejahatan terorisme khususnya fenomena sosial yang terjadi. Â Â
Terlepas dari siapa yang memegang kendali kebenaran, hendaknya kita tidak mengamini perilaku "dungu" dari setiap aksi gerakan terorisme yang berujung pada pengakhiran nasib diri dan terkadang mengorbankan orang yang sama sekali tidak bersalah, terlebih lagi tidak dijadikan objek pergerakan secara spesifik, ini jelas tidak selaras dengan akal sehat kita (common sense), maka patut dipertanyakan bahwa apakah pantas menempuh jalan pintas menuju pintu kematian dengan menaiki tangga kemaksiatan dan memodifikasi doktrin agama yang telah diajarkan demi meraih puncak tujuan? Â Â
Hubungan Romantis antara Hukum Pidana dengan Kriminologi Kritis dalam Pusaran Ilmu Pengetahuan
Dalam konteks ini, titik kolaborasi antara hukum pidana dan kriminologi khususnya kriminologi kritis menjadi sangat urgen dalam rangka menuntaskan masalah kejahatan khususnya terorisme. Titik taut antara keduanya sangatlah masif, bahkan menurut pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita, beliau berpendapat bahwa, "... Perkembangan aliran kriminologi kritis adalah sejarah perkembangan hukum pidana yang merupakan Instrumen sekaligus alat kekuasaan negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya ..." Penulis menganalogikan kedua bidang ilmu pengetahuan itu sebagai "saudara kembar", "dua wajah dalam satu tubuh", atau "dua sisi mata koin yang sama". Jika diturunkan penjabaran sederhananya, Hermann Mannheim (1960), setidak-tidaknya mengonfirmasi bahwa hukum pidana mengkaji kejahatan dari area hukum, sedangkan kriminologi mengkaji kejahatan dari wilayah ilmu sosial atau kerap kali disebut sebagai "non-normative discipline".
Sebagaimana Van Bemmelen telah mendefinisikan kriminologi, maka dia juga memberi term khusus pada hukum pidana sebagai "Normative-strafrechtwissenschaft". Menariknya, antara hukum pidana dan kriminologi kritis, terdapat similiaritas (persamaan) dari kedua disiplin ilmu itu dengan berpijak pada tiga premis yang sama bahwa: Pertama, negara memiliki rempah-rempah kekuasaan melalui dan bersumber pada instrumentasi hukum positif (ius constitutum). Kedua, melegitimasi bahwa komunitas masyarakat merupakan objek dari hukum itu sendiri dan memiliki kedudukan (equality) yang sama dengan negara. Ketiga, negara memiliki peranan yang dominan dalam mengatur arus lalu lintas ketertiban, keamanan, kesejahteraan, bahkan keadilan---kata yang bisa menghimpun keberagaman tujuan hidup manusia hanyalah "bahagia" (eudaimonia). (Atmasasmita, 2018: 4-5).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI