Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Wacana Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu

15 Juni 2020   20:42 Diperbarui: 21 Juli 2020   17:54 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masyarakat Indonesia pada waktu sekarang ini tengah dihadapkan dengan berbagai tumpukan persoalan yang mampu menampar sisi psikologis mereka dan secara tidak langsung fenomena tersebut hendak menuntutnya agar berusaha merespons keadaan dunia saat ini. Mulai dari mewabahnya Covid-19, kebijakan pemerintah sampai dengan wacana revisi undang-undang mengenai pemilu. Artinya, gelombang permasalahan yang menghantam Indonesia telah menyentuh berbagai sektor penting dan harus segera disolusikan secepat mungkin.

Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) menjadi instrumen yang cukup penting dengan tujuan untuk menjaga laju sirkulasi kepemimpinan di antara elite-elite politik secara berkala maka benar definisi yang menyatakan bahwa pemilu adalah jembatan penghubung antara kedaulatan rakyat dan praktik pemerintahan oleh sejumlah elite politik, karenanya bahwa kualitas demokrasi yang ideal (role model) itu bisa diteropong dari banyaknya partisipasi rakyat dalam hal menyuarakan aspirasinya di ruang publik yang terbuka dan bebas. Genealogi sejarah demokrasi di Indonesia sangatlah unik dan panjang, era demokrasi reformasi yang sekarang sedang ditempuh oleh negara Indonesia tampaknya sejauh ini menjadi sistem yang diklaim dapat menuntaskan seluruh persoalan yang menyangkut urusan kenegaraan maupun kebangsaan ketimbang sistem-sistem yang pernah digunakan sebelumnya.

Pada dasarnya sistem demokrasi sebenarnya tidak membutuhkan hukum, karena konsekuensi hukum justru mempagari kebebasan di samping mengatur masyarakat sipil (civil society) dalam bertindak dan berucap, artinya semakin banyaknya hukum yang diproduksi maka pada saat yang bersamaan ancaman terhadap demokrasi semakin membengkak pula, jika dianalisis memang mencederai nilai-nilai liberal yang terkandung di dalam demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, sebagai bentuk antisipasi terjadinya kekacauan (chaos) pada tataran sosiologis negara maka dikonstruklah konstitusi Indonesia dengan memerhatikan kerangka demokrasi pada umumnya sehingga namanya menjadi negara hukum demokratis termasuk yang negara kita gunakan pada saat ini.

Penulis mengira bahwa membahas persoalan mengenai isu revisi terhadap rancangan undang-undang tentang pemilu (Nomor 7 Tahun 2017) masih relevan sampai saat ini. Walaupun masih pada level wacana, akan tetapi hal tersebut mengundang kontroversial di dalam arus lalu lintas percakapan pada ranah publik. Sebelum melangkah lebih jauh lagi atas pembahasannya, penulis hendak mengimbau kepada seluruh pembaca bahwa tujuan diangkatnya narasi ini ke permukaan tiada lain hanyalah keinginan penulis pribadi untuk ikut berkontribusi dalam memajukan sistem politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia.

Historisitas Undang-Undang Tentang Pemilu di Indonesia

Bentangan sejarah yang panjang di negara Indonesia dalam variabel politik khususnya pemilu telah mengalami banyak perubahan dari segi struktural (teori) maupun kultural (praktik). Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Pada awal-awal pemilu, tujuan dilaksanakannya hanya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara periodik (teratur), karena memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan (checks) bagi rakyat terhadap wakilnya.

Pembentukan seluruh undang-undang yang berkaitan dengan pemilu telah ada sejak 1 tahun pasca-reformasi, dimulai dengan pengesahan UU nomor 2 tahun 1999 tentang "partai politik" hingga diberlakukannya di tahun sekarang yaitu perppu nomor 2 tahun 2020 tentang "perubahan ketiga atas undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang." Tampaknya perppu ini tidak mengubah secara signifikan atas keseluruhan sistem pemilu negara Indonesia termasuk yang telah diatur di UU nomor 7 tahun 2017. 

Sebagaimana dilansir dari situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (22/08/2017) bahwa undang-undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (pemilu) yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017, terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran. UU ini telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly pada 16 Agustus 2017. Dalam UU ini telah ditetapkan, bahwa jumlah kursi anggota DPR sebanyak 575 (lima ratus tujuh puluh lima), di mana daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/ kota, dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.

Berbagai konflik yang terjadi ketika pemilu serentak 2019 kemarin membuahkan gelombang krisis yang sangat besar, mulai dari terciptanya jurang relasi (polarisasi) masyarakat yang begitu renggang dan masif, segregasi antara partai politik pendukung, asas "luber jurdil" yang cenderung tidak terealisasikan sampai dengan penggunaan dana yang besar dalam proses penyelenggaran pemilu. Pada titik ini, fakta miris pemilu kemarin yang telah dipertontonkan oleh seluruh masyarakat Indonesia mampu menyeret pada khazanah pembahasan di DPR untuk segera dievaluasi secara intensif. Hemat penulis, jika cara evaluasinya ditempuh hanya untuk membicarakan ulang kebobrokan pemilu 2019 kemarin maka hal tersebut justru mengafirmasi kedaruratan akal sehat mereka! Mengutip argumentasi dari prof. Satjipto Rahardjo, beliau menyatakan bahwa "hukum bukanlah suatu skema (finite scheme), namun terus bergerak, berubah mengikuti dinamika kehidupan manusia." Artinya, suatu hukum positif (yang sedang berlaku) harus segera direvisi jika tidak relevan lagi dengan kontelasi kehidupan kita. Dan untungnya, DPR akan segera melakukan revisi undang-undang (RUU) nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. RUU Pemilu ini sebelumnya menjadi salah satu dari 50 RUU prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020 yang sebagaimana dilansir dari situs mediaindonesia.com (08/06/2020).

Catatan Kritis: Beberapa Poin Krusial UU Nomor 7 Tahun 2017 yang Potensial untuk Direvisi

(1) Pengaturan ambang batas parlemen atau parliamentary Threshold yang telah dan sedang berlaku hingga saat ini yaitu pada pasal 414 nya adalah minimalnya 4% dari suara sah nasional. Artinya, pengaturan tersebut mensyaratkan bahwa setiap partai politik (parpol) yang akan menduduki kursi di parlemen nanti haruslah mencapai suara yang seminimal-minimalnya 4% berdasarkan rekapitulasi dari keseluruhan suara yang diperoleh dari para peserta pemilu caleg (calon legislatif) yang diusung oleh partai politik tertentu. Dilansir dari kompas.com (21/05/2019), terdapat 9 partai politik yang lolos dan 7 partai politik yang gagal masuk ke parlemen pada tahun 2019 kemarin karena berdasarkan pada total persentase suara yang diperoleh oleh tiap parpol. Ada yang hanya mendapatkan perolehan suara sebanyak 312.775 (0,22 persen) yaitu PKPI sampai dengan perolehan suara yang tertinggi yaitu PDIP sebanyak 27.053.961 (19,33 persen). Tentu, tidaklah mudah bagi setiap parpol untuk mampu menduduki kursi-kursi di DPR, terlebih lagi jika usia partai politiknya terbilang masih muda dan kurang populer di mata publik.

Menurut anggota komisi II (Bidang Politik) DPR yaitu Saan Mustopa, beliau mengutarakan bahwa "range usulan parliamentary threshold 4-7 persen" sebagaimana dikutip dari tempo.co (07/06/2020), artinya ada beberapa partai politik yang masih tetap ingin pengaturan ambang batasnya 4%, ada juga yang mengendaki 5% bahkan sampai 7% seperti partai Golkar, Nasdem dan PKB atas minimalnya dari total perolehan suara. Mengutip perkataan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan bahwa "pengaturan ambang batas yang terlalu tinggi akan menyebabkan hasil pemilu makin tidak proporsional." Lantas, persoalan utamanya adalah usulan suara minimal yang irasional dan tentu bisa dibilang bahwa usulan 5% saja cenderung utopis karena akan berdampak cukup signifikan pada seluruh partai yang muda, apalagi jika suara minimalnya 7% maka kalkulasi logis ke depannya yaitu nanti yang menduduki kursi di senayan hanya partai politik yang besar saja dan tak heran jika usulan yang satu ini mendapat penolakan luar biasa terutama dari partai-partai yang gagal masuk ke DPR pada pemilu tahun 2019, bahkan menurut Gede Pasek Suardika, Sekjen Partai Hanura, menyatakan "tampak jelas dipertontonkan, bahwa hasrat kekuasaan secara terang benderang mengalahkannya." Namun, jika pengaturan ambang batasnya cukup kecil maka hal ini menjadi momentum emas bagi partai politik baru untuk bisa menguasai kursi di parlemen.

(2) Pengaturan ambang batas presiden atau presidential threshold sebagai syarat utama untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) oleh partai politik atau gabungan partai politik yang berada di DPR. Ketentuan tersebut telah diatur di dalam pasal 222 nya, pasal ini menyatakan bahwa pasangan calon pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya. Untuk memenuhi syarat tersebut sangatlah sulit bagi setiap partai politik bahkan yang mendapatkan perolehan suara tertinggi sekali pun, maka solusinya adalah membentuk koalisi (gabungan) beberapa parpol untuk mencalonkan capres & cawapres. Pada pemilu 2019 kemarin, karena hanya ada 2 koalisi partai yang terbentuk maka kapasitas dalam mengusung hanya diberi jatah 1 calon pasangan bagi masing-masing koalisi partai politik, maka jangan heran jika implikasinya justru membuahkan keretakan relasi sosial yang begitu masif.

Setidaknya fakta pahit tersebut mampu membuat beberapa partai segera mengevaluasinya dengan mengusulkan perubahan pada angka minimalnya, ada yang menghendaki agar menjadi 10%, 5% bahkan sampai 0% (dihapus) dan ada juga yang tetap setia pada angka 20% syarat minimalnya. Sudah barang tentu bahwa setiap variabel ada positif dan negatifnya. Sejauh analisis penulis, jika ambang batasnya berada pada angka 0% hingga 10% maka hal ini merupakan momen kemudahan yang sangat berharga bagi beberapa parpol tertentu dalam mengusung pasangan calonnya masing-masing karena angka tersebut tentu sangatlah mudah diraih oleh partai-partai besar khususnya seperti partai PDIP, Gerindra, Golkar dan lain-lain.

Konsekuensi dari hal tersebut juga mampu menghadirkan banyak figur pemimpin politik yang baru berdasarkan rekomendasi dari partai tertentu tapi pada saat yang sama hal itu justru mampu menimbulkan proporsionalitas dalam perolehan suara semakin terganggu karena habis terbagi oleh calon yang lain. Sehingga nantinya setiap kebijakan yang dilontarkan oleh seorang presiden yang terpilih berpotensi terganggu dan lemah akibat banyaknya calon sebelumnya yang mendapatkan suara sedikit atau bahkan lebih kecil darinya ketika pemilu telah usai. Uniknya, di sisi lain pasal 222 tersebut banyak sekali menuai kritik karena dinilai bertentangan dengan konstitusi yaitu tepatnya pada pasal 6A (2) UUD 1945 yang seharusnya "close legal policy" dan tidak relevan dengan pasal 22E (1) UUD 1945 karena pasal 222 menjadikan hasil pemilu sebelumnya menjadi basis penentuan syarat ambang batas presiden terhadap pemilu selanjutnya dan parpol peserta pemilu terikat waktu oleh pemilu sebelumnya.

(3) Sistem pemilu yang digunakan sampai saat ini yaitu proporsional terbuka. Sistem ini jelas berbeda terutama dari segi mekanisme dengan sistem-sistem pemilu yang lain seperti sistem distrik, pluralitas/mayoritas dan campuran. Mengutip definisi dari buku yang berjudul "Mengenal Teori-Teori Politik" menyatakan bahwa sistem pemilihan proporsional adalah sistem pemilihan umum di mana kursi yang tersedia di parlemen pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum dibagikan kepada partai-partai politik yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan. Singkatnya dalam sistem ini, proporsi kursi yang dimenangkan oleh partai politik dalam sebuah daerah pemilihan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut, artinya jika suatu partai politik memperoleh suara yang lebih banyak ketimbang partai politik lain maka kursi di DPR akan banyak diduduki oleh anggota legislatif yang merupakan kader dari parpol tersebut. 

Tetapi jika sistem proporsional terbuka dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup maka perbedaan yang paling tampak dipermukaan adalah dari segi praktiknya. Dilansir dari situs resmi tempo.co (07/06/2020), Saan Mustopa dalam telekonferensinya mengatakan bahwa "yang ingin tertutup PDIP dan Golkar." Sedangkan partai politik yang lain tampaknya masih menghendaki agar sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilu selanjutnya. Sederhananya, jika sistem proporsional terbuka mengamini para calon legislatif yang menuai suara terbanyak adalah yang berhak untuk menduduki kursi di parlemen, sistem ini cenderung banyak sisi positifnya karena mampu membuka ruang yang luas bagi publik dalam berpartisipasi di dalam arena politik, pun sistem ini dapat meminimalisir bahkan memutus mata rantai elite politik (oligarki) yang bermain di luar kekuasaan.

Akan tetapi menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, "sistem proporsional daftar terbuka yang sudah kita laksanakan dalam dua kali pemilu, yakni pemilu 2009 dan pemilu 2014. Justifikasi logis yang dibangun, kelemahan sistem proporsional terbuka, melahirkan wakil rakyat karbitan yang masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan kader terbaik partai, sehingga terpilih wakil yang gagal menjaga pintu (gate keepers) moral dan tanggung jawab, alih alih perjuangkan rakyat, fungsi pengawasan pun tidak maksimal." Sedangkan sistem proporsional tertutup menurut Fadli Zon yang "akan lebih banyak bekerja adalah mesin partai" karena para pemilih hanya disodorkan partai politik (bukan caleg) saja untuk dipilih, maka publik yang memilih tidak akan mengetahui para calon legislatif nanti yang akan menduduki kursi di DPR. Namun, jika sistem ini diberlakukan maka akibat positifnya setiap partai politik yang terpilih berdasarkan pada suara yang telah diperolehnya pasti akan memfilter kadernya yang jauh lebih berkualitas untuk maju menjadi legislator.  

Penulis selalu teringat dengan adagium hukum yaitu "Lex Prospicit, Non Respicit" yang artinya bahwa hukum melihat ke depan, bukan ke belakang. Maka daripada itu penulis senantiasa mengajak kepada para pembaca agar sama-sama memajukan hukum Indonesia jika hukum yang diproduksi oleh para wakil rakyat justru kontraproduktif!

Sekian dan terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun