Menurut anggota komisi II (Bidang Politik) DPR yaitu Saan Mustopa, beliau mengutarakan bahwa "range usulan parliamentary threshold 4-7 persen" sebagaimana dikutip dari tempo.co (07/06/2020), artinya ada beberapa partai politik yang masih tetap ingin pengaturan ambang batasnya 4%, ada juga yang mengendaki 5% bahkan sampai 7% seperti partai Golkar, Nasdem dan PKB atas minimalnya dari total perolehan suara. Mengutip perkataan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan bahwa "pengaturan ambang batas yang terlalu tinggi akan menyebabkan hasil pemilu makin tidak proporsional." Lantas, persoalan utamanya adalah usulan suara minimal yang irasional dan tentu bisa dibilang bahwa usulan 5% saja cenderung utopis karena akan berdampak cukup signifikan pada seluruh partai yang muda, apalagi jika suara minimalnya 7% maka kalkulasi logis ke depannya yaitu nanti yang menduduki kursi di senayan hanya partai politik yang besar saja dan tak heran jika usulan yang satu ini mendapat penolakan luar biasa terutama dari partai-partai yang gagal masuk ke DPR pada pemilu tahun 2019, bahkan menurut Gede Pasek Suardika, Sekjen Partai Hanura, menyatakan "tampak jelas dipertontonkan, bahwa hasrat kekuasaan secara terang benderang mengalahkannya." Namun, jika pengaturan ambang batasnya cukup kecil maka hal ini menjadi momentum emas bagi partai politik baru untuk bisa menguasai kursi di parlemen.
(2) Pengaturan ambang batas presiden atau presidential threshold sebagai syarat utama untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) oleh partai politik atau gabungan partai politik yang berada di DPR. Ketentuan tersebut telah diatur di dalam pasal 222 nya, pasal ini menyatakan bahwa pasangan calon pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya. Untuk memenuhi syarat tersebut sangatlah sulit bagi setiap partai politik bahkan yang mendapatkan perolehan suara tertinggi sekali pun, maka solusinya adalah membentuk koalisi (gabungan) beberapa parpol untuk mencalonkan capres & cawapres. Pada pemilu 2019 kemarin, karena hanya ada 2 koalisi partai yang terbentuk maka kapasitas dalam mengusung hanya diberi jatah 1 calon pasangan bagi masing-masing koalisi partai politik, maka jangan heran jika implikasinya justru membuahkan keretakan relasi sosial yang begitu masif.
Setidaknya fakta pahit tersebut mampu membuat beberapa partai segera mengevaluasinya dengan mengusulkan perubahan pada angka minimalnya, ada yang menghendaki agar menjadi 10%, 5% bahkan sampai 0% (dihapus) dan ada juga yang tetap setia pada angka 20% syarat minimalnya. Sudah barang tentu bahwa setiap variabel ada positif dan negatifnya. Sejauh analisis penulis, jika ambang batasnya berada pada angka 0% hingga 10% maka hal ini merupakan momen kemudahan yang sangat berharga bagi beberapa parpol tertentu dalam mengusung pasangan calonnya masing-masing karena angka tersebut tentu sangatlah mudah diraih oleh partai-partai besar khususnya seperti partai PDIP, Gerindra, Golkar dan lain-lain.
Konsekuensi dari hal tersebut juga mampu menghadirkan banyak figur pemimpin politik yang baru berdasarkan rekomendasi dari partai tertentu tapi pada saat yang sama hal itu justru mampu menimbulkan proporsionalitas dalam perolehan suara semakin terganggu karena habis terbagi oleh calon yang lain. Sehingga nantinya setiap kebijakan yang dilontarkan oleh seorang presiden yang terpilih berpotensi terganggu dan lemah akibat banyaknya calon sebelumnya yang mendapatkan suara sedikit atau bahkan lebih kecil darinya ketika pemilu telah usai. Uniknya, di sisi lain pasal 222 tersebut banyak sekali menuai kritik karena dinilai bertentangan dengan konstitusi yaitu tepatnya pada pasal 6A (2) UUD 1945 yang seharusnya "close legal policy" dan tidak relevan dengan pasal 22E (1) UUD 1945 karena pasal 222 menjadikan hasil pemilu sebelumnya menjadi basis penentuan syarat ambang batas presiden terhadap pemilu selanjutnya dan parpol peserta pemilu terikat waktu oleh pemilu sebelumnya.
(3) Sistem pemilu yang digunakan sampai saat ini yaitu proporsional terbuka. Sistem ini jelas berbeda terutama dari segi mekanisme dengan sistem-sistem pemilu yang lain seperti sistem distrik, pluralitas/mayoritas dan campuran. Mengutip definisi dari buku yang berjudul "Mengenal Teori-Teori Politik" menyatakan bahwa sistem pemilihan proporsional adalah sistem pemilihan umum di mana kursi yang tersedia di parlemen pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum dibagikan kepada partai-partai politik yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan. Singkatnya dalam sistem ini, proporsi kursi yang dimenangkan oleh partai politik dalam sebuah daerah pemilihan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut, artinya jika suatu partai politik memperoleh suara yang lebih banyak ketimbang partai politik lain maka kursi di DPR akan banyak diduduki oleh anggota legislatif yang merupakan kader dari parpol tersebut.Â
Tetapi jika sistem proporsional terbuka dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup maka perbedaan yang paling tampak dipermukaan adalah dari segi praktiknya. Dilansir dari situs resmi tempo.co (07/06/2020), Saan Mustopa dalam telekonferensinya mengatakan bahwa "yang ingin tertutup PDIP dan Golkar." Sedangkan partai politik yang lain tampaknya masih menghendaki agar sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilu selanjutnya. Sederhananya, jika sistem proporsional terbuka mengamini para calon legislatif yang menuai suara terbanyak adalah yang berhak untuk menduduki kursi di parlemen, sistem ini cenderung banyak sisi positifnya karena mampu membuka ruang yang luas bagi publik dalam berpartisipasi di dalam arena politik, pun sistem ini dapat meminimalisir bahkan memutus mata rantai elite politik (oligarki) yang bermain di luar kekuasaan.
Akan tetapi menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, "sistem proporsional daftar terbuka yang sudah kita laksanakan dalam dua kali pemilu, yakni pemilu 2009 dan pemilu 2014. Justifikasi logis yang dibangun, kelemahan sistem proporsional terbuka, melahirkan wakil rakyat karbitan yang masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan kader terbaik partai, sehingga terpilih wakil yang gagal menjaga pintu (gate keepers) moral dan tanggung jawab, alih alih perjuangkan rakyat, fungsi pengawasan pun tidak maksimal." Sedangkan sistem proporsional tertutup menurut Fadli Zon yang "akan lebih banyak bekerja adalah mesin partai" karena para pemilih hanya disodorkan partai politik (bukan caleg) saja untuk dipilih, maka publik yang memilih tidak akan mengetahui para calon legislatif nanti yang akan menduduki kursi di DPR. Namun, jika sistem ini diberlakukan maka akibat positifnya setiap partai politik yang terpilih berdasarkan pada suara yang telah diperolehnya pasti akan memfilter kadernya yang jauh lebih berkualitas untuk maju menjadi legislator. Â
Penulis selalu teringat dengan adagium hukum yaitu "Lex Prospicit, Non Respicit" yang artinya bahwa hukum melihat ke depan, bukan ke belakang. Maka daripada itu penulis senantiasa mengajak kepada para pembaca agar sama-sama memajukan hukum Indonesia jika hukum yang diproduksi oleh para wakil rakyat justru kontraproduktif!
Sekian dan terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI