Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melacak Hubungan Antara Ideologi Feminisme dan Doktrin Agama Islam

15 Mei 2020   14:42 Diperbarui: 17 Mei 2020   20:56 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dewasa ini, di tengah pusaran wabah pandemi global Corona Virus Disease (Covid-19) dunia sedang sedikit disita perhatianya atas diskursus global mengenai wacana polemik ideologi feminisme, terkhusus di Indonesia. Pun Beragam tagar banyak bermunculan yang menyuarakan secara masif agar feminisme lenyap ditelan arus peradaban dan masyarakat seperti #UninstallFeminism, #AntiFeminism, dan lain-lain. 

Pemerintah menuntut publik dengan berbagai ayat-ayat kebijakannya untuk tetap berada di lokasi tempat tinggal mereka sebagai bentuk tindakan imperatif sekaligus juga preventif guna memutus rantai penyebaran coronavirus, uniknya berbagai komunitas ataupun organinasi tertentu tampaknya bersegera memanfaatkan situasi & kondisi sekarang ini dengan memfasilitasi forum keilmuan bagi publik untuk saling bertukar pikiran mengenai isu-isu yang sedang dibahas, terkhusus mengenai Ideologi Feminisme itu sendiri. 

Pada dasarnya, sangat menarik sebetulnya untuk dipertengkarkan secara intelektual seluk-beluknya mengenai ideologi tersebut dan apalagi seluruh umat manusia yang hidup di era virtual ini secara tidak langsung dituntut untuk mampu mengkritisi berbagai persoalan dunia yang disebabkan salah satunya oleh faktor arus globalisasi informasi.

Alih-alih sebelum masuk ke dalam tataran substansi, penulis mengimbau kepada seluruh pembaca agar membaca dan memahami dengan kritis seluruh narasi yang dituliskan oleh penulis supaya mampu mengambil kesimpulan yang akurat dan objektif. Sudah barang tentu, adanya ketidaksepakatan pandangan pembaca terhadap pemikiran penulis merupakan suatu keniscayaan yang absolut dan tak terelakkan karena seperti apa yang disabdakan oleh Wolfgang Eschker bahwa "Jika setiap orang tidak memiliki pendapat, maka mudah untuk setuju".

Penulis mengawali di bagian awal narasi ini dengan pertanyaan, apa itu Feminisme? 

Dalam menafsir suatu objek kajian agar lebih komprehensif dan dikarenakan pula yang dibahas salah satunya adalah tema ideologi, maka penulis hendak menaruh beberapa sisi di narasi ini yang merupakan variabel-variabel terpenting dalam menafsir objek pembahasan seperti definisi, sejarah, pembagian (gelombang) feminisme, dan perspektif dalam agama Islam.

Pada sisi definisinya yang walaupun sebenarnya perspektif definitif mengenai feminisme bersifat pluralistik bahkan debateable juga karena berhubung sekarang seluruh umat manusia tengah dihadapkan dengan ujian relativitas-subjektivitas kebenaran yang menjadi ciri pada era postmodernism, tapi kemudian penulis menarik garis kesimpulannya bahwa feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi dari ketidakadilan dan penindasan sosial politik-ekonomi dengan prinsip kolaborasi yang dibungkus dalam frame ideologi dan dimotori oleh gender feminin (Perempuan) sebagai perwujudan anti-thesis dari gerakan patriarkisme (thesis) dengan tujuan untuk membangun dan mencapai kesetaraan gender sebagai wujud nyata atas kehidupan yang ideal di berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial. Walaupun pada faktanya, gender maskulin pun ada saja yang berpaham feminisme dan itu secara legitimasi sah-sah saja. Gerakan ini mendorong sekaligus memaksa terjadinya transformasi lanskap kultural dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan yang sebelumnya selalu diprioritaskan dan didominasi oleh gerakan ideologis patriarki yang mayoritas dimotori oleh gender maskulin (Laki-laki) agar menjadi adil (fair) dan setara (equality), dan pada saat yang bersamaan hal tersebut melahirkan kesenjangan dalam relasi & kultur sosial yang sangat masif!

Penulis berusaha membuktikan dengan data yang valid kepada para pembaca terkait kuatnya pendominasian nuansa patriarki yang ada di Indonesia khususnya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia, tercatat 93% korban pemerkosaan yang takut melapor kepada aparat penegak hukum (22/07/2016).

Menarik sekaligus sialnya, bahwa sinyal-sinyal bias gender atau dengan bahasa lain adalah penindasan dan penghinaan terhadap perempuan itu justru sudah ada sejak peradaban Yunani Kuno, ketika itu filsuf seperti Aristoteles mengatakan "perempuan bukanlah manusia utuh, dia sederajat dengan budak." Konsep “Zoon Politicon” yang ditawarkan oleh Aristoteles saja disinyalir cenderung lebih berkonotasi kepada kaum laki-laki yang berhak untuk berpolitik. Bahkan gurunya Aristoteles pun turut berkomentar, Plato mengatakan bahwa "kehormatan lelaki ada pada kemampuannya memerintah, sedangkan kehormatan perempuan ada pada kemampuannya melakukan pekerjaan yang sederhana, hina sambil terdiam tanpa bicara."

Bukan mereka saja yang berkomentar, seorang filsuf kontemporer pun, Jean Baudrillard penggagas konsep simulakra (peleburan antara dunia imajiner dengan dunia realitas) juga pernah melontarkan pernyataan definitif kontroversial bahwa "perempuan sebenarnya adalah sebuah permukaan/penampakan, bukan subjek utama." Sungguh penulis melihat cengkraman budaya patriarki amat kuat membelenggu cara tradisi berpikir filsafat.

Akar dari gerakan feminisme sebenarnya sudah dimulai di Yunani Kuno oleh Sappho, di Zaman Pertengahan dengan Hildegard of Bingen dan Christine de Pisan. Berdasarkan pada sisi historis yang populernya, gerakan feminisme secara formal dimulai sejak akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 yang dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A "Vindication of The Rights of Woman" dianggap sebagai salah satu karya tulis feminis awal yang di mana ide-ide pencerahan berhasil dikorelasikan dengan keadaan pada waktu itu. Di beberapa literatur juga dinyatakan, bahwa feminisme pada masa awal sebenarnya digunakan sebagai nama untuk sebuah gerakan sosial yang mengusung tentang hak-hak perempuan di Seneca Falls, New York, pada tahun 1848 oleh Elizabeth Cady Stanton bersama Susan B. Anthony. Mereka adalah dua orang pertama yang direkam sejarah melakukan pengorganisasian gerakan sosial perempuan di abad ke-19 yang berjuang untuk penghapusan perbudakan di Amerika Serikat dan hak perempuan untuk memilih. Walaupun gerakan feminisme telah mengakar sejak zaman/abad Yunani kuno dan bukan pada zaman modern, akan tetapi tetap saja penyuaraan kesetaraan gender dan persamaan hak masih dibilang cukup inferior (lemah), superfisial (tidak berbobot) & belum ada kesadaran kolektif bagi kaum perempuan sejak abad kuno sampai abad pertengahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun