Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melacak Hubungan Antara Ideologi Feminisme dan Doktrin Agama Islam

15 Mei 2020   14:42 Diperbarui: 17 Mei 2020   20:56 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Satu abad setelahnya negara Indonesia pun turut mengisi sekaligus menghiasi lembaran sejarah feminisme, gerakan organisasi islam muslimah yang mengambil salah satunya nilai-nilai feminisme berawal pada tahun 1917 ketika Nyai Ahmad Dahlan mendirikan Aisyiah, divisi perempuan Muhammadiyah, yang didirikan oleh suaminya, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Singkat sejarah, para kaum perempuan secara psikologis mulai tersadarkan akan persamaan hak dan kesetaraan gender. Akhirnya mereka mengadakan kongres PPII (sebelumnya bernama PPPI) tahun 1930 di Surabaya memutuskan bahwa “Kongres berasaskan Kebangsaan Indonesia, menjunjung kewanitaan, meneguhkan imannya” karena itu tujuan pergerakan wanita Indonesia, selain untuk memperjuangkan perbaikan derajat kedudukan wanita, juga memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan serta mengisinya dengan pembangunan bangsa dan negara.

Raden Ajeng Kartini (R.A Kartini) pun ikut berkontribusi dalam membuahkan pemikirannya mengenai kritik keadaan perempuan Jawa yang tidak diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang setara dengan laki-laki, selain dari kritik terhadap kolonialisme Belanda. Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai bias gerakan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies), yang pada esensinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan sebagai bentuk hegemonik total dari kaum patriarki, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar. Salah seorang tokoh Feminis, Olympe de Gouges, turut mengkritisi persoalan logika hukum dengan mendeklarasikan hak-hak Perempuan yang salah satunya berisi persamaan kedudukan perempuan di mata hukum.

Pada bagian pertengahan narasi yang relatif singkat ini, sebagai bentuk antisipasi atas stereotipe/stigma (label buruk) pada wajah feminisme yang kian hari menjadi miskonsepsi berkepanjangan, penulis hendak mengingatkan kepada para pembaca bahwa pada dasarnya hadirnya Feminisme sebagai gerakan sosial itu tidak bekerja dalam kerangka persaingan melawan Patriarkisme, karena yang menjadi visi feminisme adalah perempuan dan laki-laki hidup berdampingan dengan adil dan setara.

Dinamika perkembangan feminisme pun membuahkan hasil yang terjadi pada sisi kemunculan alirannya yang plural dan heterogen atas ciri gerakan dan pemikirannya. Keseluruhan aliran-aliran dunia itu kemudian sebagai alat bantu untuk memahaminya dibagi menjadi 4 gelombang berdasarkan pada variabel prioritas dan orientasi ciri dari perjuangannya, namun kerap kali terkesan cenderung saling melengkapi atau saling kontradiktif antara aliran yang satu dengan aliran yang lainnya.

Akan tetapi penulis mencoba mengingatkan kembali kepada para pembaca sekalian, bahwa gelombang-gelombang feminisme tidak memiliki periodisasi waktu yang spesifik, memang ada kecenderungan untuk mengelompokkan pemikiran feminis berdasarkan tren pada tiap zaman dan dekade. Artinya, di beberapa literatur terdapat ketidaksamaan dalam mendeskripsikan gelombang-gelombang maupun aliran-aliran feminisme secara komprehensif. Tapi sekali lagi penulis berupaya dengan bijak dan sangat hati-hati dalam menarik garis kesimpulannya dengan singkat dan sederhana, mengingat juga bahwa konsentrasi narasi penulis ini tidak terlalu berfokus pada pembagian gelombang dan aliran feminisme.

Pada gelombang pertama (1792-1960 M), aliran-aliran feminisme lebih memfokuskan diri mereka pada pemikiran yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya terjadi ketimpangan hak perempuan terkhusus dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam demokrasi. Seperti misalnya yang pertama ada Feminisme Radikal yang berkonsentrasi pada tubuh, kultur kekerasan seksualitas/seksime, kepuasan yang bersinggungan dengan gerakan lesbianisme, keinginan untuk menghapuskan hegemonik patriarki dengan menentang norma-norma dan institusi-institusi sosial sampai akar-akarnya yang berlaku daripada lewat proses politik. Upaya pengkampanyean gerakannya melalui jalur demonstrasi sebagai bentuk reaksi emosional.

Juga yang kedua ada Feminisme liberal yang lahir dari karya Mary Wollstonecraft yang berjudul "A Vindication of The Rights of Woman", latar belakang dari aliran ini adalah semangat revolusi Prancis sebagai bentuk liberalisasi dan individualisasi atas sistem monarki absolut. Tapi ironisnya, kaum patriarkilah yang justru dominan memerankan aktor penggerak revolusi Prancis tersebut maka revolusi ini pada akhirnya menimbulkan kesadaran kelas sosial dan penindasan terhadap golongan perempuan. 

Ketiga, ada Anarko-Feminis/Feminisme Anarkis yang memprioritaskan sistem hierarki patriarki dalam negara untuk dihancurkan karena dinilai sebagai sumber pokok dari sebuah permasalahan di masyarakat.

Yang keempat ada Feminisme Marxis yang memusatkan kritiknya terhadap revolusi industri dan kapitaslisme karena dianggap sebagai sarang sekaligus bermuaranya penindasan dan ketidakadilan. Bahkan Karl Marx pun turut mengutarakan kritik tajamnya terhadap kapitalisme yang membudayakan ‘pengkultusan’ dominasi kaum patriarki, pada saat yang sama pula hal tersebut secara tidak langsung merendahkan martabat kaum perempuan.

Dan yang kelima tampaknya agak mirip dengan aliran yang keempat yaitu Feminisme Sosialis sebagai bentuk perluasan terhadap skala argument yang dilontarkan oleh aliran feminisme marxis, aliran ini berkeyakinan bahwa ketimpangan gender itu terjadi karena kapitalisme dan patriarki (terlepas dari kekuatan hegemonik antara dua variabel tersebut). Seperti yang dikutip dalam karya yang berjudul “What is Socialist Feminism”, aliran ini juga berpendapat bahwa pembebasan hanya dapat dicapai dengan mengakhiri sumber ekonomi dan budaya dari penindasan perempuan.

Pada gelombang kedua (1960-1980 M), seluruh gerakan/aliran feminisme pada gelombang ini lebih memprioritaskan pada pembebasan perempuan atau biasa dikenal dengan istilah "Women Liberation". Proses liberalisasi yang dilakukan itu merupakan simbol reaktif untuk membela kaum perempuan yang dalam praktik kehidupannya pada waktu itu selalu mendapat perlakuan diskriminatif. Pertama, ada aliran feminisme eksistensialis yang diduga kuat filsuf perempuan bernama Simone de Beauvoir sebagai kontributor terbesarnya. Dalam bukunya yang populer berjudul “The Second SexSimone menjelaskan teori-teori feminisme psikoanalisis dengan mengacu pada teori aliran filsafat eksistensialisme sang kekasihnya, Sartre. Simone berusaha menjawab secara filosofis arti dari perempuan, dia juga mempertegas atas kategorisasi perempuan sebagai gender yang bisa dilihat dari sisi sosiologis, bukan saja sebagai gender yang bisa dilihat dari sisi biologis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun