Mohon tunggu...
Muhammad Yulian Mamun
Muhammad Yulian Mamun Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin

Tinggal di Banjarmasin, alumni KMI 2006. Menulis tentang sejarah, wisata, ekonomi & bisnis, olahraga dan film.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Masjid Al Mansyur: Aksi Nekat di Atas Menara

22 November 2015   10:40 Diperbarui: 22 November 2015   10:40 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Masjid Al Mansyur. Foto koleksi pribadi"][/caption]

Dengan lihai saya miringkan badan ke kanan ke kiri. Pinggul pun kadang saya putar beberapa puluh derajat agar bisa berkelit di antara gerombolan manusia yang lalu lalang. Tak ketinggalan kerap kaki saya angkat sebelah guna hindari lindasan ban sepeda motor yang tak punya mata itu.

Kawasan Pasar Mitra di Jembatan Lima, Jakarta Barat ramai seperti biasanya. Sore ini, beberapa pedagang kaki lima sudah mulai menggelar lapaknya, makin menambah kusut kondisi jalan. Barisan mobil merayap pelan, mengular hampir satu kilometer panjangnya.

Asap dari knalpot mengapung di udara membawa jutaan partikel karbon dan timbal. Zat berbahaya ini kemudian masuk ke paru-paru dan membonceng darah ke setiap urat tubuh. Efek buruknya memang tidak langsung terasa, tapi beberapa tahun kemudian jika asap itu rutin masuk ke badan akan menurunkan daya tahan tubuh hingga kualitas sperma!

Ibu-ibu di dalam angkot warna biru muda tak peduli. Semua sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri sambil mendekap sayuran yang menyembul dari kantong plastik warna hitam. Sedangkan ibu-ibu yang lain duduk cekikikan di dalam mobil berpendingin udara sambil gesit menekan layar telepon genggam. Tampaknya ada percakapan seru dengan orang di seberang sana.

Lain lagi dengan para pengendara motor yang melaju lincah mencari celah untuk lolos dari kepadatan ini. Karena gaya mengemudinya yang sembrono, kendaaran beroda dua ini sering menyerempet mobil pick-up yang sedang mengisi muatan di pinggir jalan. Maka, keluarlah sumpah serapah dari sopir pick-up. Empunya motor tak peduli, dengan santai ia melenggang seakan tak terjadi apa-apa.

Hampir saja saya limbung di tengah kesemrawutan ini. Untung bau khas sayuran yang bertumpuk-tumpuk di pelataran toko membawa aroma segar. Kontras dengan kondisi jalan yang sumpek. Yang paling saya suka adalah bau bayam dan sawi yang diikat rapi dijejer sedemikan rupa. Bongkahan tanah pun masih sedikit menempel di akarnya. Pasar ini memang salah satu pusat sayur-mayur di Jakarta. Sayuran yang didatangkan dari perkebunan di sekitar Jakarta menampilkan semarak warna-warni. Hijaunya sawi, merahnya cabe dan tomat, putihnya bongkahan kubis, sampai ungunya terong.

Di keramaian yang riuh rendah itu berdiri Masjid Jami Al Mansyur. Terletak di Jalan Sawah Lio, agak tersembunyi dari jalan raya. Masjid ini hampir tidak punya pekarangan lagi kecuali sepetak di bagian samping. Itupun sebagian besar dipakai sebagai pemakaman, saung peristirahatan dan kebun tanaman obat.

Apa istimewanya masjid ini hingga saya rela menyusuri kawasan padat Jembatan Lima? Menurut sejarah pada tahun 1186 H/1772 M Syekh Arsyad Al Banjari, ulama besar dari kampung halaman saya Kalimantan Selatan membetulkan kiblat masjid ini. Syekh Arsyad memutar kiblat sekitar 25 derajat ke arah kanan. Jadi sebagai bentuk penghormatan kepada syekh Arsyad, saya mencoba menapak tilas peninggalan beliau. Selain masjid ini, dulu beliau juga membetulkan kiblat masjid Pekojan dan masjid Luar Batang.

[caption caption="Soko guru dan kiblat yang miring. Foto koleksi pribadi."]

[/caption]

Dan terbukti saya lihat arah kiblat di masjid ini agak mencong ke kanan, tidak mengikuti arah bangunan. Kondisi kiblat yang miring ini mirip Masjid Cut Meutia yang bekas kantor Belanda di Jakarta Pusat.

Gaya klasik begitu terasa dengan penggunaan kayu berornamen. Arsitektur unik yang paling mencolok adalah 4 tiang soko guru yang masih dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Saat saya tiba, pengurus masjid sedang bercakap-cakap dengan peneliti dari Eropa. Masjid ini rupanya memiliki daya tarik bagi sejarahwan dari luar negeri.

Masjid ini dulunya bernama Masjid Jami Kampung Sawah yang didirikan tahun 1130H/1717M, atas prakarsa Abdul Malik putera dari Pangeran Cakrajaya Adiningrat dari Jayakarta. Beliau dijuluki Tumenggung Mataram karena punya pengaruh pada Kesultanan Mataram saat bersama menggalang kekuatan melawan penjajah.

Perubahan nama menjadi Al Mansyur, terjadi pasca kemerdekaan Indonesia untuk menghormati salah satu ulama sekaligus pejuang dari Jembatan Lima. Beliau adalah KH Muhammad Mansyur atau biasa disebut Guru Mansyur. Nama beliau juga diabadikan sebagai nama jalan di daerah ini, tempat di mana Pasar Mitra berada.

Paku Jakarta dan Pakar Ilmu Falak

[caption caption="Guru Mansyur. Sumber foto: www.jakarta.go.id"]

[/caption]

Ridwan Saidi, budayawan Betawi—yang sering muncul di televisi nasional—menyebut bahwa gelar “Guru” bagi masyarakat Betawi memiliki kedudukan khusus karena guru punya ilmu yang luas. Menurut Engkong Ridwan yang masih memelihara rambut gondrongnya ini, masyarakat Betawi membagi pendakwah agama Islam dalam tiga kategori yakni guru, mualim, dan ustadz.

Guru adalah ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu atau banyak disiplin ilmu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Guru biasanya mengabdi kepada umat di masjid atau madrasah yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Mualim merupakan orang berilmu agama yang memiliki otoritas mengajarkan kitab namun tidak bisa mengeluarkan fatwa. Sementara ustadz lebih fokus mengajarkan pengetahuan dasar agama, seperti membaca Al Qur’an.

Dalam bukunya yang berjudul “Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya” (diterbitkan oleh Gunara Kata tahun 1997) disebutkan bahwa Guru Mansyur bersama Guru Mugni dari kampung Kuningan disebut sebagai “Paku Jakarta”. Julukan ini berarti mereka berdua adalah panutan, rujukan masyarakat Jakarta. Bahkan almarhum Gus Dur mengartikan gelar “paku bumi” sebagai “wali pelindung” dalam artian berkat keberadaan beliau lah kota Jakarta aman dari segala marabahaya dan bencana.

Lahir tahun 1878, Guru Mansyur sejak kecil mendapat pendidikan langsung dari ayahandanya yaitu Imam Abdul Hamid bin Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Abdul Mukhit. Dari ayahnya ini beliau memiliki garis keturunan sampai kepada Pangeran Cakrajaya dan Pangeran Jayakarta. Adapun keturunan Guru Mansyur yang terkenal sekarang adalah da’i nasional Ustadz Yusuf Mansyur.

Selain itu Guru Mansyur muda juga berguru pada beberapa ulama masyhur Betawi seperti Haji Imam Mahbub, Imam Tabrani dan Imam Mujtaba di Meester Cornelis (Sekarang Jatinegara, Jakarta Timur). Nama terakhir ini dikenal dengan gelar Syaikhul Masyayikh yang artinya “dedengkot para ulama” karena kedalaman ilmunya.

Beliau kemudian berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama saat berusia 16 tahun. Empat tahun di tanah suci, beliau kembali ke tanah air dan mengajar di madrasah orang tuanya. Beliau juga mengajar di Jami’atul Khair, Pekojan. Di lembaga pendidikan yang didirikan oleh ulama Jakarta keturunan Hadhramaut Yaman ini, beliau kenal lebih dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Di antara andil Guru Mansyur bersama para tokoh Islam di Jakarta adalah mempertahankan Masjid Al Makmur Cikini dari pembongkaran tahun 1925.

Guru Mansyur terbilang cukup produktif menghasilkan karya tulis agama Islam terutama yang dalam disiplin ilmu falak (astronomi). Semasa hidupnya, beliau adalah rujukan masyarakat Betawi dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.

Hingga sekarang, ilmu falak masih diajarkan di masjid ini. Salah satu santri asal Lampung yang saya temui di pekarangan masjid menyebutkan bahwa tiap malam dan setelah shalat shubuh, pengajian di sini selalu masih tetap berjalan.

[caption caption="Kaligrafi arab tulisan Guru Mansyur. Perhatikan tanda tangan beliau di pokok kanan bawah. Foto koleksi pribadi."]

[/caption]

“Saya sebenarnya nyantri sama salah satu Habib di Condet. Tapi kalau akhir pekan saya sering ke sini buat pengajian sekalian bantu-bantu pengurus masjid,” demikian ujar santri remaja berkulit sawo matang itu sambil menyapu daun-daun yang berguguran.

Di antara kitab yang beliau tulis adalah:

  1. Kaifiyatul Amal Ijtima.
  2. Khusuf wal Kusuf.
  3. Tadzkirotun Nafi'ah.
  4. Mizartul I’tidal.
  5. Khulashotul Jadawil.
  6. Diroyatul Ulum wa Manzharatin Nujum.
  7. Wasiilah at Thullaab.
  8. Majmuu’ Khamsu Rasail.
  9. Jadwal Faraidh.
  10. Al lu'lu al Mankhum.

Simbol Perjuangan Betawi

“Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”, tandas Guru Mansyur menolak sogokan Belanda.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Belanda rupanya tidak rela begitu saja. Para penjajah itu kembali ingin menancapkan kuku kolonialnya di republik ini.

Meski terkenal bijaksana, Guru Mansyur bersikap keras dan tanpa kompromi terhadap Belanda. Suatu ketika tahun 1948, Guru Mansyur dengan gagah berani mengibarkan bendera merah putih di menara masjid tersebut. Mirip dengan aksi pengibaran bendera di hotel Yamato, Surabaya.

Belanda pun murka. Tentara NICA menyerbu dan menembaki kubah menara masjid. Belanda juga beberapa kali memanggil Guru Mansyur ke Hoofdbureau atau Kantor Polisi di Gambir, mempertanyakan tentang aksi ini.

Penjajah sadar pengaruh besar Guru Mansyur terhadap perlawanan masyarakat Jakarta amat besar. Mereka berusaha membujuk beliau agar bekerjasama dengan kolonial Belanda. Dengan tegas Guru Mansyur menolak. “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”, demikian tandas beliau dihadapan perwakilan Belanda yang mencoba merayunya dengan sejumlah uang.

Sebuah kisah heroik. Membaca cerita ini, bulu kuduk saya merinding. Prihatin, mengingat dewasa ini ada beberapa golongan di Indonesia yang menyebut pendirian negara Indonesia tidak sesuai dengan syariat Islam. Padahal jika mereka menengok sejarah, justru Republik Indonesia beserta sang saka merah putih adalah simbol perjuangan para ulama melawan penjajah dan mempertahankan agama Islam!

Setelah tokoh yang selalu menjaga shalat berjamaah ini wafat tanggal 12 mei 1967 dan dimakamkan di belakang masjid. Masjid ini terdaftar sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan SK Mendikbud serta SK Gubernur DKI Tahun 1980. Pernyataan tersebut tertulis pada papan warna putih di depan masjid, yang beberapa bagiannya sudah lapuk tergerus panas-hujan.

Semoga kisah hidup dan aksi heroik Guru Mansyur ini bisa menginspirasi kita, kaum muda yang mulai letoy berjuang.

Jakarta, 20 November 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun