Sekitar sepuluh tahun lalu saya memutuskan tidak akan membeli buku bacaan, seperti buku fiksi, buku nonfiksi, buku referensi, atau buku khusus lainnya. Hal ini disebabkan tiga rak rotan dengan lima ambalan saya, sudah dipenuhi berbagai buku tentang arsitektur, interior, seni, novel, dan berbagai buku bacaan lain. Terlebih kondisi keuangan saya yang cukup memprihatinkan dengan sakit dan wafatnya suami, Â pandemi Covid 19, dan hingga saat ini membiayai hidup kedua anak hanya mengandalkan penjualan lukisan, memperkuat keputusan tersebut.
Namun, bukan berarti saya berhenti membaca. Saya bisa membaca dengan berselancar di dunia maya atau berkunjung ke berbagai perpustakaan di Jakarta. Saya juga suka mengikuti kegiatan literasi, seni, dan sastra  yang sering memberikan buku bacaan sebagai suvenir sehingga koleksi buku bacaan saya tetap bertambah.
Minggu, 24 Agustus 2025 saya mengikuti "Greet and Meet: dr. Gia Pratama" yang diselenggarakan Mizan Production berkaitan dengan "BooXperience: International Books and Toys Fair" di One Belpark Jakarta. Dokter Gia yang dikenal sering membagikan konten positif seputar kesehatan di media sosial  menceritakan, jika ia meluangkan waktu sekurangnya satu jam untuk setiap hari. "Jika ingin menulis, tulis saja apa hendak ditulis. Dalam satu tahun saya berharap dapat menghasilkan satu buku," tuturnya.
Pria yang pernah bekerja di RSUD Garut dan Serang ini, menyebutkan,"Menulis merupakan hal menyenangkan dan menjaga kewarasan saya yang hampir setiap hari bertemu air mata dan darah di rumah sakit," lanjutnya.
Dokter Gia juga menceritakan hal menarik dari dua bukunya "Berhenti di Kamu" dan "Perikardia" yang dipublikasikan kembali dan dicetak ulang  dengan sampul baru dan beberapa perubahan, serta penambahan isi. "Di rumah sakit jiwa banyak  luka yang tidak berdarah dan jiwa itu seperti vas bunga," dr. Gia memaparkan tambahan isi kesehatan jiwa pada buku Perikardia.
Ia juga dengan komunikatif menceritakan  ketika bekerja di RSUD Garut  membantu persalinan ibu dan anak secara bersamaan. "Sang ibu meminta saya untuk membantu persalinan wanita di ranjang sebelahnya. Ternyata wanita itu adalah anak sulungnya yang tengah berjuang melahirkan cucu pertamanya," ujar dokter yang namanya merupakan ungkapan kecintaan ayahandanya yang berprofesi sebagai pilot terhadap maskapai penerbangan Indonesia.
Bagaimana kebingunannya ketika membantu otopsi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, juga dipaparkan.  "Saya siap memberikan hasil otopsi yang dapat membantu  perempuan tersebut jika hendak melapor tindak kekerasan yang dilakukan suaminya, ke polisi," lanjut dokter yang senang berbagi ilmu sebagai ungkapan rasa syukur.
Sayangnya perempuan tersebut tidak melakukannya. "Ia memaafkan sang suami. Dan beberapa hari kemudian saya kembali mengotopsinya, tapi dalam kondisi sudah tidak bernyawa," paparnya.
Kecintaan dan kesetiaan seorang suami terhadap isteri yang sudah lebih dari tiga bulan bernafas dengan alat bantu kedokteran, juga menjadi cerita menarik dr. Gia. Sang suami akhirnya berusaha mengikhlaskan kepergian isteri tercintanya dan meminta dokter untuk melepas alat bantu tersebut. "Ketika kami, para dokter melepas alat tersebut, sang suami berteriak tunggu aku. Dan keajaiban terjadi, darah sang isteri yang tadinya membeku, mengalir kembali," ceritanya. Ia melanjutkan,"Nyawa bukan milik dokter dan umur itu bukan milik manusia".