Â
Â
Bahagia. Satu kata yang dapat mencerminkan perasaanku ketika mendapat doorprize berupa buku "Sajak-Sajak Malam Gerimis Setangkai Mawar Chairil" karya Idrus F. Shahab pada Diskusi Publik buku tersebut di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, kompleks Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Minggu,  13 April 2025. Yang lebih membahagiakan lagi buku tersebut diserahkan  dan ditandatangani sang penulis.
Ketika melihat gambar sampul buku di atas pada mendapat undangan kegiatan itu di grup komunitas dan melihat postingan di media sosial, saya berencana memiliki buku tersebut. Saya, bahkan sudah memsukkannya  ke dalam belanja. Namun, saldo kurang  dan tidak pernah melakukan transaksi cash on delivery sehingga saya belum membeli buku yang dibandrol dengan harga Rp. 68.000,- di beberapa marketplace.
Sampul buku bergambar bunga dan daun lotus berlatarbelakang warna gelap dan judul yang tertera laksana goresan tangan, menjadi daya tarik perhatian orang untuk membacanya. Pada judul tertera kata mawar, tetapi pada ilustrasi tidak tersebut justru terdapat bunga lain.
Jika sudah membuka halaman-halaman dalamnya, perhatian juga akan tersita pada ilustrasi yang menyertai tulisan, seperti gambar Monumen Nasional di sisi kanan  puisi berjudul "Mati Muda" karena salah satu barisnya berbunyi 'Malam Setegak Monas'.  Atau di halaman kanan puisi berjudul "Sampan" terdapat gambar sampan  atau perahu.
Selembar kartu pos disisipkan pula di dalam buku bersamaan dengan pembatas buku. Jika pembatas buku, desainnya serupa dengan sampul buku, ilustrasi penyair  Chairil Anwar  menghiasi kartu pos. Chairil merupakan salah satu penyair panutan Idrus yang mengilhami esai berjudul "Chairil" yang dimuat pada Bab 3 buku karangan mantan Wartawan Majalah Tempo.
Dalam buku yang berisi 59 puisi yang dibagi dalam dua bab, Idrus menulis kecintannya terhadap sufi agung Jalaluddin Rumi (1207-1273). "Namun, puisi-puisi saya sebenarnya berbicara tentang banyak hal, seperti spiritualitas, sejarah, politik, bahkan musik," paparnya dalam Sekapur Sirih dari Penulis di buku tersebut. Ia juga merasa berhutang kepada para penyair, seperti Toto Sudarto Bachtiar, Chairil Anwar, WS Rendra, Sitor Simatupang, Zawawi Imron, Ramadhan KH, atau Abdul Hadi WM yang melalui karya-karyanya memperkenalkan puisi kepadanya, seorang pemuda yang 'buta' puisi.
Idrus mengaku jika ia bukan seorang penyair, tetapi puisi-puisi mendapat demikian banyak pujian dalam acara yang menghadirkan nara sumber Chairil Gibran Ramadhan (Sastrawan dan Budayawan Betawi), DR. Fachry Ali (Kolomnis Kompas dan Pengamat Politik), dan Nuthayla Anwar (Penyair dan Dosen IAI Al Ghurabaa) dengan moderator M. Syakur Usman (Aliansi Jurnalis Betawi).
Nuthayla Anwar menyebutkan puisi adalah jati diri penyair. "Dari cara penyair menorehkan kata, dapat terukur  sedalam mana batin dan seluas apa wawasan dan sejauh mana tekadnya untuk bersuara", ujar perempuan yang pada acara ini membacakan puisi "Kesaksian di Jalur Gaza". Ia melanjutkan puisi-puisi Idrus mengajak kita, para pembaca melalang tidak saja antarbenua dan budaya, tapi juga dimensi rasa dan logika.
Nathayla juga melihat kata gerimis pada judul buku dan isi puisi  bukan fenomena alam melainkan metafora pengalaman panjang penulis .  gerimis digunakan sebagai penghubung alam dan jiwa manusia yang berangsur bergeerak ke dalam renungan tentang eksistensi manusia dan hubungannya dengan peristiwa. Gerimis sekurangnya digunakan pada 16 puisi yang menggambarkan kerinduan, kesepian, perenungan, kesedihan, dan harapan.
Sedangkan  Chairil Gibran Ramadhan mengungkapkan,"Puisi-puisi Idrus ridak terfokus pada satu tema, tetapi mengajak kita melalang buana ke bidang lain, tidak hanya betawi tetapi juga gaza. Tidak hanya cinta tapi juga kritik sosial".
Sementara itu, Fachry Ali melihat puisi Idrus sebagai penggambaran alam yang memunculkan art imagination. "Ketika menggambarkan stasiun  yang tak terpakai lagi, ia menggunakan kalimat, kamilah bangku-bangku kosong. Penggambaran sesuatu yang melompat, mahluk imajinatif, dan tepat," ujar Fachry merujuk puisi "Buat Kawan yang Gugur" (2021).
Di stasiun yang tidak lagi disinggahi kereta ini
Kamilah bangku-bangku kosong
Yang menyimpan kenangan dan bayangan.
Acara diskusi publik ini, dibuka dengan pembacaan puisi  oleh Dyah Kencono Puspito Dewi, Giyanto Subagio, Sihar Ramses Simatupang, dan Yahya Andi Saputra.  Meski Idrus mengaku bukan penyair, kegiatan yang diselenggarakan dalam suasana halal bi halal Idul Fitri, memberi petanda puisi Idrus patut dicatat dalam perkembangan sastra di Indonesia, khususnya Jakarta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI