Di tengah hiruk-pikuk modernitas dan derasnya arus digitalisasi, generasi milenial berada pada persimpangan jalan antara ambisi dan realita. Salah satu ambisi terbesar yang hingga kini kerap menjadi topik hangat adalah kepemilikan rumah. Dulu, memiliki rumah kerap dianggap sebagai penanda pencapaian hidup, lambang kemandirian, dan investasi masa depan. Namun, bagi banyak milenial, rumah kini lebih menyerupai fatamorgana tampak dekat, tetapi sulit diraih.
Fenomena ini bukanlah isapan jempol semata. Kenaikan harga properti yang jauh melampaui kenaikan pendapatan menjadi salah satu sebab utama yang membuat kepemilikan rumah terasa mustahil. Data dari berbagai lembaga survei dan perbankan menunjukkan bahwa rasio harga rumah terhadap pendapatan (house price to income ratio) di Indonesia berada pada angka yang mengkhawatirkan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Dalam banyak kasus, dibutuhkan waktu lebih dari 15 hingga 20 tahun bagi seorang pekerja bergaji UMR untuk dapat mengumpulkan cukup uang guna membeli rumah tipe sederhana, dan itu pun dengan asumsi bahwa seluruh penghasilannya ditabung tanpa terpakai sedikit pun.
Sementara itu, gaya hidup milenial sering kali disoroti sebagai faktor penghambat lainnya. Tak sedikit yang menuding bahwa kebiasaan minum kopi kekinian, traveling, atau berbelanja daring adalah penyebab utama mengapa milenial sulit membeli rumah. Namun narasi ini, jika ditelaah lebih dalam, terkesan menyederhanakan masalah struktural yang jauh lebih kompleks. Bagaimana mungkin satu gelas kopi seharga Rp30.000 menjadi kambing hitam atas gagalnya seseorang membeli rumah seharga Rp500 juta atau lebih?
Alih-alih menyalahkan pola konsumsi milenial, ada baiknya kita menengok pada sistem ekonomi yang berjalan. Upah minimum yang tumbuh lambat, kontrak kerja yang semakin tidak pasti, dan ketimpangan akses terhadap fasilitas pembiayaan perumahan menjadi bagian dari pusaran masalah yang nyata. Tidak hanya itu, peran developer properti pun kerap dipertanyakan. Banyak pengembang lebih memilih membangun rumah-rumah mewah di pinggiran kota alih-alih hunian terjangkau yang memang dibutuhkan masyarakat menengah ke bawah. Akibatnya, segmen milenial yang secara demografis tengah berada pada usia produktif justru terpinggirkan dari akses kepemilikan rumah.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya menjembatani ketimpangan ini melalui program rumah subsidi, skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), serta kemudahan KPR dengan uang muka ringan. Namun, keterbatasan kuota, lokasi rumah subsidi yang jauh dari pusat kota, dan proses birokrasi yang melelahkan sering kali membuat solusi ini belum sepenuhnya efektif. Belum lagi adanya ketidaksesuaian antara lokasi tempat tinggal dengan lokasi tempat bekerja, yang berujung pada beban transportasi dan waktu tempuh yang panjang.
Di sisi lain, sebagian milenial mencoba mengadopsi pendekatan baru. Skema investasi properti secara kolektif, menyewa jangka panjang dengan kontrak yang stabil, hingga eksplorasi kepemilikan rumah dalam bentuk tiny house dan hunian modular menjadi alternatif yang mulai dilirik. Meskipun belum populer secara massal, setidaknya opsi-opsi ini menunjukkan bahwa generasi muda tidak sepenuhnya pasrah pada keadaan. Mereka tetap berupaya beradaptasi, meski sistem belum sepenuhnya berpihak.
Namun tetap harus diakui, bagi sebagian besar milenial, memiliki rumah secara mandiri dalam usia muda bukanlah hal yang mudah bahkan nyaris mustahil jika tidak disertai warisan, dukungan keluarga, atau lonjakan karier yang signifikan. Maka wajar bila muncul ungkapan sinis yang menyebut bahwa "Generasi orang tua beli rumah di usia 30-an, generasi milenial beli rumah di usia pensiun."
Ironisnya, tekanan untuk memiliki rumah masih terus hadir dalam budaya kita. Seringkali, pernikahan dianggap belum sempurna jika belum memiliki rumah sendiri. Stigma hidup menumpang atau menyewa pun masih lekat, seolah menjadi cermin kegagalan pribadi. Padahal dalam realitas sosial ekonomi hari ini, menyewa bukanlah kelemahan, tetapi pilihan rasional.
Lalu, apakah rumah bagi milenial masih mungkin dimiliki? Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada banyak faktor. Jika yang dimaksud adalah rumah di tengah kota, dengan akses strategis dan harga yang bersahabat, maka kemungkinannya sangat kecil tanpa campur tangan kebijakan negara yang lebih progresif. Namun jika kepemilikan rumah diartikan sebagai ruang hidup yang layak, aman, dan stabil maka harapan itu masih ada, dengan catatan ada reformasi menyeluruh dalam sistem perumahan nasional.
Pada akhirnya, impian milenial untuk memiliki rumah bukanlah ilusi, melainkan tantangan kolektif yang membutuhkan solusi lintas sektor: negara, pasar, dan masyarakat. Diperlukan kebijakan yang berpihak, pengembang yang etis, serta pendekatan kreatif dari generasi muda sendiri untuk membuka jalan baru menuju rumah pertama mereka. Karena lebih dari sekadar bangunan, rumah adalah ruang untuk tumbuh, beristirahat, dan merajut masa depan.