Mohon tunggu...
Mutiara Ulfa
Mutiara Ulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Jember

Saya tertarik dalam dunia bisnis dan e-commerce

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kemiskinan Struktural: Masalah Sistemik yang Bisa Diatasi

2 Juni 2025   15:26 Diperbarui: 2 Juni 2025   15:26 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan adalah kunci pemutus rantai kemiskinan struktural (Sumber: Pexels/Haidar Azmi)

Kemiskinan struktural adalah jenis kemiskinan yang berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ini bukan sekadar persoalan tidak memiliki uang, melainkan sebuah masalah kompleks yang berakar pada ketidakadilan dalam sistem sosial dan ekonomi. Ketidakadilan sistemik inilah yang membuat kelompok masyarakat bawah terus terjebak dalam kemiskinan, meskipun telah berusaha keras untuk keluar darinya.

Salah satu contoh nyata dari ketidakadilan sistemik adalah terbatasnya akses terhadap pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin sering mengalami kesulitan dalam memperoleh pendidikan yang layak. Sekolah-sekolah di lingkungan miskin umumnya memiliki sarana dan prasarana yang tidak memadai, kekurangan guru berkualitas, serta lingkungan belajar yang kurang mendukung. Akibatnya, anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka, seperti halnya anak-anak dari keluarga mampu.

Keterbatasan ekonomi juga membuat anak-anak dari keluarga tidak mampu sulit mengikuti les tambahan atau bimbingan belajar yang dapat meningkatkan prestasi akademik. Ketika pendidikan layak saja sulit dijangkau, sangat kecil kemungkinan mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Inilah salah satu penyebab utama mengapa kemiskinan terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Selain pendidikan, ketidakadilan dalam distribusi pendapatan turut memperparah kemiskinan struktural. Ketimpangan ekonomi menyebabkan kelompok masyarakat atas memiliki akses yang jauh lebih besar terhadap sumber daya dan kesempatan, sementara kelompok masyarakat bawah terus menghadapi keterbatasan. Perbandingan antara kehidupan petani dan pegawai pemerintahan menjadi contoh yang mencolok. Petani bekerja keras setiap hari, namun penghasilannya tidak menentu dan sangat tergantung pada cuaca, musim, harga pasar, serta mahalnya biaya produksi. Sementara itu, pegawai pemerintahan menerima gaji tetap, tunjangan, fasilitas kesehatan, rumah dinas, dan jaminan pensiun, meski kontribusinya terhadap masyarakat terkadang dipertanyakan. Ketidakadilan sistemik ini menunjukkan bahwa mereka yang bekerja keras tidak selalu hidup layak, sedangkan mereka yang hasil kerjanya tidak tampak justru hidup sejahtera.

Melihat berbagai ketimpangan tersebut, muncul pertanyaan: apakah kemiskinan struktural bisa diatasi? Jawabannya: bisa. Namun, perlu langkah konkret dan terstruktur. Langkah pertama adalah memperbaiki sistem itu sendiri. Ketidakadilan struktural dan kesenjangan sosial harus menjadi fokus utama dalam perumusan kebijakan. Pemerintah memiliki peran besar dalam menciptakan sistem yang lebih adil dan inklusif, dengan memastikan bahwa kebijakan tidak hanya berpihak kepada golongan atas, tetapi juga mengakomodasi kebutuhan masyarakat bawah.

Fasilitas pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan transportasi harus merata antara desa dan kota. Pemerintah juga perlu memberikan dukungan langsung seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), beasiswa, dan pelatihan keterampilan secara gratis agar masyarakat miskin memiliki peluang yang sama untuk berkembang. Banyak masyarakat miskin tidak berkembang bukan karena malas, tetapi karena tidak memiliki kesempatan. Oleh karena itu, keadilan dalam kebijakan dan pemerataan akses menjadi kunci.

Namun, tanggung jawab dalam mengatasi kemiskinan tidak sepenuhnya berada di pundak pemerintah. Setelah sistem diperbaiki dan akses yang lebih adil tersedia, individu dari keluarga miskin juga harus berperan aktif dalam memanfaatkan peluang tersebut. Kesadaran, kemauan, dan semangat untuk bangkit dari kemiskinan sangat penting agar bantuan yang diberikan tidak sia-sia. Bantuan dari pemerintah harus dipandang sebagai peluang, bukan ketergantungan. Oleh karena itu, bantuan tersebut sebaiknya tidak dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif sesaat, tetapi dimanfaatkan sebagai investasi jangka panjang---seperti untuk modal usaha, biaya pendidikan, atau pelatihan keterampilan yang bisa meningkatkan kapasitas diri. Dengan cara ini, ketika bantuan dari pemerintah sudah tidak diberikan lagi, individu tetap memiliki bekal dan kemampuan untuk bertahan serta menjalani kehidupan yang lebih baik.

Peran keluarga juga sangat krusial. Orang tua harus memberikan dukungan kepada anak-anaknya agar tetap termotivasi menempuh pendidikan. Banyak anak yang putus sekolah karena tekanan dari keluarga atau lingkungan, seperti disuruh menikah muda atau bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pola pikir seperti ini perlu diubah. Anak-anak berhak memperoleh pendidikan, dan orang tua berkewajiban mendukungnya---meski dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan.

Orang tua sebaiknya tidak mengeluh soal biaya pendidikan di depan anak. Hal tersebut bisa mematahkan semangat anak dan membuat mereka merasa menjadi beban. Pendidikan adalah salah satu jalan keluar dari kemiskinan. Memberikan pendidikan yang layak kepada anak berarti membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik bagi seluruh keluarga.

Memutus rantai kemiskinan struktural bukanlah hal yang mudah dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Prosesnya panjang dan menuntut kesabaran, kerja keras, serta kolaborasi dari pemerintah, individu, keluarga, dan masyarakat. Namun, jika semua elemen bersinergi, harapan untuk mengakhiri kemiskinan struktural bukanlah mimpi. Mari kita tanamkan semangat optimisme dan bekerja bersama menuju Indonesia Emas 2045.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun