Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selaksa Luka dalam Rasa

10 Mei 2021   07:16 Diperbarui: 10 Mei 2021   07:31 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Pixabay

Sejenak aku terdiam melihat suasana di sekeliling rumah. Keadaannya masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Kemudian, turun dan berdiri di depan pintu dan kembali mengingat masa lalu dengan mengamati sekeliling, sekali lagi. Rumput Jepang yang tumbuh memenuhi halaman masih hijau. Pohon jambu Bangkok masih kokoh berdiri di dekat pagar. Kembali kenangan masa lalu berloncatan. 

Suara batuk-batuk membuyarkan lamunan. Sesaat kemudian pintu terbuka. Seorang wanita tua dengan tatapan mata sayu muncul dari balik pintu. "Nduk!" Hanya kata itu yang terucap. Kemudian setengah berlari ia merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Hingga cukup lama kami saling bertangis-tangisan dan akhirnya ibu menarik lenganku masuk ke dalam. 

"Nduk, Bapakmu," ucap ibu parau sambil menunjuk dengan pandangan ke arah kamar yang terletak paling depan. Aku mengikuti arah pandangannya. Terlihat pintu kamar terbuka sedikit. Dengan langkah berat aku berjalan mendekat dan berhenti di depan pintu. Kemudian berbalik, ke arah ibu. 

"Nanti saja Bu, aku mau istirahat dulu," kataku beralasan untuk mengulur waktu bertemu dengan lelaki yang menabur benci. Seperti biji yang terkubur dalam tanah, ia tumbuh dan berkembang. Bukan hanya pada ayah, benci merebak pada semua lelaki. Karena itulah hidup sendiri tanpa suami menjadi pilihan. 

Ibu tampak kecewa mendengar jawaban dariku. Kembali ia berucap, sambil menarik tanganku. 

"Nduk, maafkanlah Bapak, demi ibu." Aku hanya mendengus. Lagi-lagi, ibu meminta maaf untuk lelaki itu, membuat hatiku kian memerah. 

Sampai detik ini, aku tak mengerti kenapa ibu mencintai Bapak? Lelaki sumber penderitaan. Saat lelaki itu masih muda dan mapan. Tanpa hati ia pergi ke pelukan wanita muda dengan alasan ingin punya anak lelaki. Karena ibu terus-terusan melahirkan anak perempuan hingga lima kelahiran. Sungguh egois dan jahat bukan? Jadi salahkah aku yang membenci lelaki semacam itu? 

Setelah lima tahun pergi gak ada kabar. Bapak pulang membawa bocah lelaki kurus berusia empat tahun. Dengan seenaknya bapak meminta ibu, aku dan adik-adik menerima bocah itu sebagai keluarga.

"Adnan anak ayah, itu artinya dia adikmu juga!" ucap ayah tanpa rasa bersalah, saat aku menolak mengakui bocah itu sebagai adik. Jangankan mengakui bocah itu sebagai adik. Mengakui bapak sebagai ayah pun aku tak sudi. 

"Tidak mau," tolakku kalau itu, yang kemudian membuat ayah marah dan menampar pipiku. Sejak saat itu, tak pernah lagi ada obrolan antara aku dan ayah, sampai sekarang. Membuat biji kebencian tumbuh lebat, seperti hutan keramat. 

Namun satu hal yang tak pernah kupahami. Tidak seperti aku, ibu menerima lelaki dan anaknya itu dengan lapang dada. Bahkan ibu berjuang mati-matian demi menghidupi kami anak-anaknya juga kedua benalu tak tahu diri itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun