Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Resensi] Sempati: Kandar Kilas yang Menolak Fungsi

26 April 2020   10:36 Diperbarui: 26 April 2020   10:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika orang selalu ingat hukum ini, ia pasti tidak akan marah kepada siapa pun, tidak akan dendam, tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan, tidak akan melukai hati, tidak akan benci, kepada siapa pun." Tapi takdir berjalan sebagaimana Semanggi---yang mengambil lengan kiri Jatayu saat masih di dalam kandungan Tania---akibat menuruti amarah dan dendam setelah menyaksikan perselingkuhan istrinya.

Sempati terus terkejat, mencabik-cabik tubuhnya sendiri; sebelum dia jatuh ke tanah dan terlunglai mati karena lapis-lapis rasa bersalah (hal. 279). Triska tak henti membuat imajinasi liarnya berkecamuk di dada pembaca, menggeliat memenuhi kepala, menjerat seluruh indera untuk memasuki alur ceritanya yang langgas---seperti Sempati saat akan dipenggal kepalanya. 

Tak boleh beranjak. Sedikit saja menoleh, maka akan tamat riwayat. Setiap bagian, setiap adegan, membutuhkan fokus seperti menjaga kandar kilas supaya tetap hidup tanpa kepala. Sungguh menakjubkan!

Sambil terus membaca bab demi bab, saya selalu dihantui rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi kepada para tokoh dalam novel ini. Mereka bersekongkol mengelabuhi pembaca. Penuh misteri. 

Triska membuat pembaca membolak-balikkan pikiran tanpa permisi dan mencari sendiri akarnya. Seperti melihat pohon tumbuh di atas tanah, sedangkan banyak kisah tumbuh menembus celah tanah---bagian tersembunyi sebelum bertumbuh batang, daun, cabang, dan buah---yang nampak---terkesan 'rumit' dan 'menyebalkan'.

Saya meraba, menemukan kursi untuk sejenak duduk ketika berada di ruang gelap Triska: Kematian bukan penanda akhir sedangkan nasi telah menjadi bubur. Kepalanya sudah lepas dari tadi. Airmata dan sengguk pun sudah lenyap dari tadi. Namun tangisan dan sedihnya belum (hal. 11).

Lalu saya kembali berjalan hingga menemukan celah cahaya.

Resensi ini telah dimuatdi ideide.id edisi 29 Oktober 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun