Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Resensi] Sempati: Kandar Kilas yang Menolak Fungsi

26 April 2020   10:36 Diperbarui: 26 April 2020   10:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun jauh dari harapan agar terbebas dari kehidupan yang bebal, Sempati justru ditimpa tragedi yang gagal menemukan solusi. Terkejutnya, saat ia mendapati kandar kilasnya bengkok.

Lalu di bagian lain digambarkan dengan alur mundur, seperti: Merpati; setelah sekian lama menghilang, dia---di waktu dan tubuh yang lain---menjelaskan kronologis kematian yang diakuinya tak sengaja dilakukan Darnal. Mancakrida kantor dibalut malam yang indah. Dirinya dan Darnal (atasan dan sekretaris) menyepi ke tempat senyap.

Rel itu katanya sudah jarang terpakai lagi. Mereka berbaring, menyanggakan kepala pada rel, sambil menatap langit---mengulang kembali tarian kebanggan setelah sekian tahun. Bulu tubuh Darnal masuk dan mereguk cawan Merpati yang lama tak tersentuh. Dia lemas. Lalu pingsan. Golak roda kereta berdesing. Darnal terlambat menyelamatkannya. Merpati mati di tempat.

Hal semacam ini yang terkadang membuat pembaca dipaksa percaya. Walaupun realitanya, tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia. Sebab dalam bagian terakhir, "pulang", ia kembali membuat konflik baru dengan memainkan tokoh hasil dari kebangkitan setelah mati. Bahkan dalam hal ini, apa pun dikisahkan Triska dengan bebas dan ia seolah menikmatinya.

Dibuktikan ketika ia mengisahkan kepala yang dapat bicara meski terpisah dari tubuh, kemudian dimasukkan dalam rak (mirip) penitipan barang yang bisa diambil kembali dengan syarat meninggalkan identitas. 

Tubuh yang terpenggal namun masih dapat menyatu kembali, dan hal menggetarkan lainnya. Hebatnya, Triska dapat mengatasi kejenuhan pembaca dan bertanggung jawab atas imajinasinya yang liar tanpa membuat pembaca melepas kepalanya. Sungguh!

Saya makin jatuh hati ketika Sempati berbisik ke pancang nisan ibunya: Ibu melacur yang baik, ya. Nanti ibu belikan rumah di sana. Aku pasti akan bertandang (hal. 259). Celetuk lisannya persis ketika ibunya berjanji; Kamu sekolah yang baik saja. Nanti Ibu tetap biayai kamu. Ibu belikan kamu jam tangan baru (hal. 257). 

Korelasi semacam ini yang langka dijumpai dalam cerita dan lekat dalam ingatan. Seperti dibisiki dengan hal-hal menakjubkan dan seketika membuat kita terperanjat saat itu juga. Tetapi yang jadi soal, apakah Triska sengaja membuat kebetulan ini nampak cantik di mata pembaca? Atau mungkin kebetulan bisa dibuat secara sengaja?

Bagaimanapun, uang takkan pernah cukup. Waktu selalu saja lebih sempit daripada celana. Tubuh kita pun fana (hal. 5) hingga Merpati mengakui di hadapan anak dan suaminya; "Kami tak pernah berpikir soal kualitas. Yang penting berkeluarga. Yang penting kami dicap normal. Bahkan semua masalah uang, popok, susu, nafkah, sekolah, dan jam tangan ini---inilah normal yang masyarakat mau" (hal. 264). 

Meski belum utuh, inilah yang saya maksud pertanggungjawaban atas fantasi liar si penulis. Triska mengembalikan persoalan kepada sesuatu yang faktual tanpa tergesa-gesa.

Membaca konflik yang terjadi dalam cerita, saya teringat sabda Epictetus mengenai hal ini; "Pada akhirnya nanti, setiap orang harus menebus hukuman atas perbuatan-perbuatannya yang salah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun