Mohon tunggu...
Muthiah Nuraisyah Sadewo
Muthiah Nuraisyah Sadewo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

NIM: 43121010266 - Mata Kuliah: Etika dan Hukum Bisnis - Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Etika dan Hukum Platon

26 Mei 2022   06:26 Diperbarui: 26 Mei 2022   06:37 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus di atas merupakan kasus pelanggaran kode etik dalam berbisnis, yakni dimana PT Garuda Indonesia memanipulasi laporan keuangannya. Akibat hal ini, perusahaan diminta untuk menyajikan ulang laporan keuangannya dan perusahaan kena denda Rp 100 juta. Direksi yang tanda tangan laporan keuangan dikenakan masing-masing Rp 100 juta. Ketiga, secara kolektif direksi dan Komisaris minus yang tidak tanda tangan, dikenakan kolektif Rp 100 juta jadi tanggung enteng.

BEI selaku wasit pasar modal juga memberikan sanksi atas hasil audit terhadap laporan keuangan GIAA. Sanksi atas audit yang diberikan terhadap laporan keuangan kuartal I-2019. BEI juga mengenakan sanksi berupa Peringatan Tertulis III dan denda sebesar Rp 250 juta kepada PT Garuda Indonesia Tbk. Sanksi itu sesuai dengan Peraturan BEI Nomor I-H tentang Sanksi.

  • Kasus 3: Kasus Anak 'SR' dan Gugatan Kepolisian

Tindakan semena-mena berbuntut penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian saat menangani perkara anak usia 15 tahun, 'SR' alias Koko cukup mencuri perhatian publik. Sekira 8 Juni 2009 silam, Koko ditangkap aparat dari Polsek Sektor Bojong Gede dan dituduh mencuri perangkat elektronik. Koko bukanlah pelaku yang sebenarnya lantaran beberapa hari setelah penangkapan itu, pelaku sebenarnya telah tertangkap dan menyatakan bahwa Koko tidak terlibat sama sekali.

Beruntung, Putusan PN Cibinong No.2101/Pid.B/2009/PN.CBN pada 10 Agustus 2009 membebaskan Koko dari segala tuntutan jaksa dan meminta agar memulihkan hak-hak terdakwa secara kedudukan, harkat, serta martabat. Putusan itu sempat mendapat perlawan dari Kejari Cibinong dengan mengajukan kasasi. Hasilnya, 20 Januari 2010 hakim agung menolak kasasi tersebut. Koko dan keluarganya tidak tinggal diam atas apa yang terjadi.

Melalui LBH Jakarta, pada 29 februari 2012 keluarga Koko menggugat secara perdata ke PN Cibinong. Sebagai catatan, gugatan perdata kepada pihak kepolisian merupakan yang pertama kali. Sayangnya, PN Cibinong lewat putusan No. 36/Pdt.G/2012/PN.Cbn menolak gugatan tersebut. Namun, langkah berani dan pertama tersebut menjadi preseden ketika Kepolisian melakukan tindakan sewenang-wenang saat menangani perkara. Buktinya, gugatan perdata serupa di Padang, berhasil dikabulkan dan pihak Kepolisian mesti membayar ganti rugi Rp 100.700.

  • Kasus 4: Kasus Mantan Ketua MK, Akil Mochtar

Senin 16 Juni 2014, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis hukuman seumur hidup dan denda Rp 10 miliar karena menerima hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan tindak pidana pencucian uang. Catatan hukumonline, telah menerima uang sejumlah Rp 47,78 miliar plus AS$500 ribu dari sejumlah pihak sejak tahun 2010. Untuk sengketa Pilkada Gunung Mas, Lebak, Palembang, Lampung Selatan, dan Empat Lawang dan Jawa Timur. Selain itu, Pilkada Buton, Morotai, Tapanuli Tengah.


Atas putusan itu, akhirnya Akil mengajukan kasasi namun MA menolak permohonan tersebut sehingga hukuman Akil tetap seumur hidup. Pertimbangan MA saat itu, kata anggota Majelis Hakim Profesor Krisna Harahap menjelaskan bahwa sebagai seorang hakim MK, sudah semestinya berindak sebagai negarawan sejati yang steril dari perbuatan tindak pidana korupsi.

Selain itu, karier sebagai Ketua MK juga berakhir setelah Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK) menjatuhkan sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat dikarenakan melanggar beberapa prinsip etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sejak 11 November 2013.

  • Kasus 5: Kasus Kartel SMS KPPU

Masih ingat saat masih dikenakan tarif sms Rp350 saat berkirim pesan? Jika sadar, tarif itu terus dibebankan kepada konsumen selama bertahun-tahun. Tapi, sekira tahun 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus sejumlah operator mematok tarif tinggi yang dikoordinir oleh Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) lewat perjanjian kerja. Temuan penyidik KPPU, harga kompetitif layanan SMSoff net mestinya Rp114. Tetapi, dalam perjanjian kerjasama interkoneksi antar operator dipatok tidak boleh lebih rendah dari Rp250-350.

Sesuai proporsi dan pangsa pasar operator tersebut selama empat tahun praktik kartel SMS berlangsung, Telkomsel mengakibatkan kerugian konsumen terbesar yang mencapai Rp2,1 triliun. Disusul berturut-turut XL sebesar (Rp346 miliar), Telkom (Rp173,3 miliar), Bakrie Telecom (Rp62,9 miliar), Mobile-8 (Rp52,3 miliar), dan Smart (Rp0,1 miliar). Berdasarkan putusan tersebut, KPPU menghukum sanksi denda operator XL dan Telkomsel masing-masing senilai Rp25 miliar, Telkom (Rp18 miliar), Bakrie Telecom (Rp4 miliar), Mobile-8 Telecom (Rp5 miliar).

Atas keputusan KPPU itu, para operator keberatan dan mengajukan banding terhadap KPPU ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di PN Jakarta Pusat, majelis hakim membalik keadaan dengan membatalkan putusan KPPU alias memenangkan operator. Selanjutnya KPPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan tersebut dan memenangi kasasi tersebut sebagaimana tertuang dalam Putusan MA perkara No. 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 itu dijatuhkan pada 29 Februari 2016.

  • Kasus 6: Kasus Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun