Akhir pekan kemarin, saya makan siang di sebuah mall di Depok. Tempat makan yang saya tuju—sebuah resto ramen Jepang—biasanya penuh sesak di jam makan siang. Tapi kali ini, pemandangannya berbeda. Sepi.Â
Hanya dua meja yang terisi, termasuk meja saya dan keluarga. Baru sekitar pukul satu siang, dua meja tambahan mulai terisi. Sisanya? Kosong.
Di tengah semangkuk ramen yang masih mengepul, saya merenung: ada yang sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan sekadar soal rasa ramen yang mungkin menurun, atau tren makanan yang mulai bergeser.Â
Ada sesuatu yang lebih besar—dan lebih sunyi—yang sedang terjadi.
Ekonomi. Isu yang belakangan ini terasa makin dekat ke rumah, ke meja makan, bahkan ke obrolan WhatsApp grup alumni. PHK datang silih berganti.Â
Industri digital, manufaktur, bahkan media—semuanya kena gilirannya. Data dari BPS di awal 2025 menunjukkan kenaikan angka pengangguran terbuka sebesar 0,3% dibanding tahun sebelumnya. Di balik angka itu, ada ribuan piring kosong, rencana hidup yang ditunda, dan kepala keluarga yang diam-diam menahan panik.
Maka jika hari ini kamu masih bisa membuka laptop di pagi hari, mencatat to-do list, mengeluh soal rapat yang nggak ada habisnya, atau bahkan bergumam soal atasan yang sok tahu—itu sebenarnya adalah sebuah hak istimewa. Privilege yang tak semua orang bisa miliki sekarang.
Kita sering terjebak dalam narasi bahwa pekerjaan harus selalu bermakna, sesuai passion, mendatangkan kebahagiaan.Â
Tetapi dalam kondisi ekonomi yang compang-camping seperti ini, keberadaan sebuah pekerjaan—betapapun berat, membosankan, atau menjengkelkannya—adalah jangkar stabilitas. Bahkan kadang, satu-satunya alasan seseorang bisa tetap waras dan berdaya.
Tentu, ini bukan berarti semua dinamika kerja harus ditelan mentah-mentah. Atasan toxic, karier yang stagnan, atau perjalanan kerja antar kota antar provinsi tetaplah isu serius yang butuh disikapi.Â