Mohon tunggu...
Mustapha Mond
Mustapha Mond Mohon Tunggu... -

manusia yang bingung untuk belok ke kiri atau ke kanan ketika hanya ada pilihan maju atau mundur.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Amalgam, Buku 1, Bab 1: Nostalgia

12 Januari 2015   05:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jumat, 11 Juli 2014

21:30 – Terbangun dari tidur siang dengan perasaan panik. Merasa begitu kecil, lemah dan tak berdaya. Butuh waktu sejenak untuk menelaah identitasku kembali.

Siapa aku?

Dimana aku?

Jam berapa sekarang?

bangkit dari sofa, jam digital di atas meja menunjukkan pukul 17:34.

Aku telah tertidur untuk 2 jam 14 menit lamanya, kelelahan setelah akhirnya selesai membereskan seluruh perabotan dan kamar sendiri dari debu yang sudah lama tidak dibersihkan selama 2 minggu untuk seminar ke Korea.

Seminar di Korea sendiri bukan sesuatu yang spesial atau mewah. Urusan kerja selalu berputar dengan inovasi produk, target penjualan tahun ini dan target market berdasarkan demografis yang tidak diubah dari 3 tahun yang lalu.

“Expand. Expand. Expand.” Lebih besar. Lebih megah. Lebih meriah.

Bertemu dengan orang dengan kepribadian menarik: Park Kim Choi, Pemimpin Utama Divisi R&D pada tanggal 5 Juli 2014. Penuh semangat, tanpa basa-basi, berbicara vulgar, namun kinerjanya efektif dan cekatan. Para staff bawahan menghormatinya.

Berbincang pertama kali dengan Mr. Choi di dalam bar saat usai seminar di minggu pertama bersama rekan-rekan kerja lainnya. Mr. Choi datang ke mejaku yang ketika itu sedang duduk sendiri sambil menunggu temanku datang kembali. Tanpa penjelasan dan perkenalan terlebih dulu ia bertanya dalam keadaan mabuk.

Young man, what is your definition of love?” Tanyanya sambil duduk di sebelah kiriku.

Kulihat mata dan rona mukanya yang sudah merah karena alcohol dan kujawab dengan singkat. “A concept which was designed and sold by chocolate companies to sell more items during Valentine’s Day.”

Ia diam sejenak, menelaah jawaban dan kemudian tersenyum bahagia. What an interesting theory, young man! What’s your name?” tanyanya. “Arjuna, Mr. Choi.” Jawabku.

Kemudian percakapan satu arah terjadi dengan Mr. Choi yang menjadi lakon utamanya. Ia bercerita panjang lebar tentang betapa bahagianya ia dengan istrinya yang ketiga. Betapa istrinya yang baru ini melebihi istri-istrinya yang sudah-sudah.

Sensual.

Submisif.

Naif.

Ia bercerita tentang bagaimana istri barunya mengerti isi hati Mr. Choi yang sesungguhnya. Betapa ia mengerti tentang kebutuhannya yang paling dalam, bagaimana sang wanita mampu mengisi kekosongan yang dirasakan seorang yang sudah mencapai umur paruh baya.

It’s not always about sex, you see? There’s something irreplaceable inside the warmth of a woman. It’s abstract, but you can sense it radiates from her appearances, for example. Her manner, her smile and her cheerfulness…. There’s something that always shines brightly inside the eyes of blooming maiden. It’s an abstract sense of vigor that I couldn’t find in previous marriages…” Serunya yang kemudian menenggak bir yang dicampur dengan sochu untuk kesekian kalinya.

Then Mr. Choi” Tanyaku “What is exactly that warmth? Where did you finally found it?

You see…” Balasnya lalu berhenti sesaat untuk meneguk habis sisa minuman di gelasnya dan kemudian menjawab “Mostly is from sex.” Setelah itu dia tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya. Menarik. Aneh, tapi menarik.

Why? You never had sex before? Go get one then! Anyone will do. As long they are women they will rejuvenates you somehow surely.” Sahutnya sambil bangkit dan kemudian menepuk lembut punggungku sambil berkata “It’s a pleasure to meet you Arjuna, I hope I will meet you again someday.Kemudian ia pergi menuju tempat lain untuk berbicara dengan rekan kerjanya yang lain.

Mr. Choi sungguh pribadi yang penuh kejutan dan selera humor yang unik. Selain dari itu, tidak terlalu ada hal yang menarik dari seminar tersebut untuk ditulis disini.

Sabtu, 12 Juli 2014

12:30 – Baru selesai mencuci piring setelah makan siang sendiri. Masakan Cina dari Rumah Makan Tante Lim lagi yang kubeli. Seperti biasa, Foe Yong Hai dan Mie Goreng untuk makan siang hari ini dan makan siang esok hari.

Sekitar pukul 10 tadi, Dimas teman SMA menelpon dan bertanya apa ada waktu kosong untuk hari ini. Dimas baru pulang dari Singapura untuk keperluan dinas dan meluangkan waktu untuk bertemu denganku selagi di jakarta.

Pukul 17:30 kami akan bertemu di daerah Bulungan, Jakarta Selatan untuk bernostalgia di tempat favorit kami. Sate Bulungan. Pukul 15:00 aku akan bersiap – siap dan berangkat menuju Bulungan, sebisa mungkin sampai 15 menit lebih awal dari waktu yang telah dijanjikan.

Minggu, 13 Juli 2014

21:13 – Telah selesai makan malam. Akhirnya dapat waktu sehari penuh untuk beristirahat setelah sekian lama. Pulang dari Korea, kemudian membereskan rumah, lalu bertemu Dimas. Lelah, namun puas.

Dimas datang 5 menit sebelum waktu yang dijanjikan. Bulungan ketika itu mulai gelap dan lampu-lampu malam mulai nyala. Bulungan masih sama seperti dulu, penuh hiruk-pikuk warga kota Metropolis Jakarta yang berusaha mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu di akhir pekan.

Dimas masih mengenakan set pakaian formal favoritnya. Kemeja dengan kerah semi-spread, berwarna putih. Dilanjutkan dengan dasi, celana bahan dan vantovel yang berwarna hitam. Definisi rapi Dimas tidak berubah semenjak SMA.

Ia masih tambun dan periang seperti dulu. Derap langkahnya selalu berkesan tergesa-gesa. Senyumnya selalu ada terpampang jelas di mukanya saat bertemu orang. Dimas adalah teman baik ku yang sangat dekat dari dulu. Tidak pernah berubah dan aku harap akan terus seperti itu selamanya.

Dimas yang akhirnya melihatku dengan segera pergi dan memelukku dengan keras seperti dulu kala. Aku pun membalas pelukannya sekeras yang aku bisa meskipun kuyakin tidak akan pernah mampu untuk menyaingi pelukannya. Sama seperti dulu.

Kami pun kemudian memesan sate bulungan, makanan favorit kami ketika saat sekolah dulu. Disana merupakan tempat kami untuk mencuci mata kami dimasa muda. Nostalgia kembali datang melesat dan memicu memori kami akan kenakalan kami ketika remaja:

Menaruh balsam di daerah pinggang teman yang tertidur di kelas dan menyiramnya dengan air dingin agar sensasi balsamnya bertambah berkali lipat. Saat si korban bangun, ia bangun dan diluap amarah yang begitu besar.

Kencing di atas piring datar lalu dibekukan di freezer. Ketika kencingnya sudah membeku dan membentuk piringan es, kami selipkan lewat celah pintu asrama. Esok paginya, sang korban kebingungan oleh bau pesing yang datang dari es kencing yang sudah menguap saat ia tidur.

Menulis surat cinta kepada siswi yang paling cantik dengan kardus pizza. Tanpa nama dan berisi omong kosong, walau kami tidak pernah tau apa reaksi darinya. Tapi apa peduli kami? Kami hanya ingin kabur dari rutinitas sehari-hari dan dari tuntutan sekolah bahwa kami harus bersikap layak. Tidak ada alasan lebih dari itu.

Kami bebas dan lepas dan tidak ada orang yang pernah mencurigai kami. Siapalah kami di saat sekolah? Bukan dari kalangan berada. Bukan penebar pesona dan penggaet wanita. Bukan pula atlit idola sekolah. Kami dipandang sebagai anak rajin yang cukup baik untuk meminjamkan PR kami untuk disalin di pagi hari oleh siswa lain.

Setiap memori kenangan kenakalan kami begitu berharga dan menjadi harta yang tidak dapat ditukar oleh apapun. Menurutku, setidaknya, itulah kekuatan nyata memori. Ia bersifat netral. Memori tidak dapat dinilai dan dikenang hanya dengan melihat melalui 2 dimensi: baik atau buruk. Hanya sang empu memori tersebut itulah yang mampu memberi penilaian apakah kenangan tersebut bagus atau tidak. Meskipun begitu, semua penilaian tersebut tidak akan bersifat absolut. Penilaian tersebut akan berubah seiring dengan waktu.

Waktulah, yang pada akhirnya akan menentukan apakah semua keringat dan air mata yang telah terkuras berharga tiap tetesnya.

Waktu juga lah, yang pada akhirnya akan menentukan apakah rasa kenangan indah akan bertahan di dalam gelombang dan arus waktu.

Waktu lah, yang pada akhirnya memberi penilaian tentang manifestasi keputusan manusia.

Tiada yang lekang dari kejaran waktu. Begitu pula kami.

Begitu nostalgia masa muda kami sudah selesai dibahas, tentu kami becerita tentang teman – teman kami yang sudah lama kami tidak jumpai.

Alan si Idola basket sekolah sekarang bekerja menjadi agen MLM produk obat peningkat gairah pria.

Bella si bendahara kelas yang selalu duduk di depan dan menjadi anak kesayangan guru sekarang menjadi idaman para lelaki dengan muncul di depan cover majalah pria dewasa.

Candra yang selalu menyontek di kelas kini telah membuka cabang ke 5 dari perusahaan celana dalam wanita ciptaan-nya sendiri.

Sedangkan kami? Kami tak lebih dari budak kerah putih di dunia karir. Keberadaan kami mudah diganti. Tiap hari mengikuti apa yang atasan suruh. Dimas mengenang masa ketika kami masih naif dan berani bermimpi untuk menantang dan menaklukan semesta beserta isinya.

Dimas kini bekerja sebagai akuntan dan aku bekerja di divisi marketing. Nasib berpihak kepada kami, pekerja kantoran dengan memberi hidup yang relatif stabil dan nyaman. Tapi entah kenapa kami merasa telah kehilangan sesuatu dari masa lalu yang sulit kami dapatkan kembali. Kami ingin sesuatu yang lebih, tapi tidak tahu apa itu.

Dimas berusaha mencerahkan suasana dengan mengucapkan lagi lawakan lama. Sebagai bentuk apresiasi aku pun mencoba tersenyum untuk menghargai usahanya. Meskipun begitu aku juga melihat ada kehampaan yang sama dirasakan oleh Dimas dari matanya.

Setelah itu, kami terdiam untuk kurang lebih 30 menit tanpa mengeluarkan suara apa pun sambil sesekali minum teh botol usai makan sate. Rasa kekosongan dan kehampaan antar sahabat tidak dapat diekspresikan lebih baik dengan kehadiran teman yang dicampur oleh kesunyian.

Akhirnya pada pukul 21:21, Dimas izin pamit untuk pergi karena ia tidak ingin esok harinya terasa terlalu lelah. Aku menyetujuinya dan setelah berpamitan, aku pulang dengan perasaan lega walau apa masa berubah, sahabatku masih seperti sedia kala. Tidak terpengaruh dari kuasa waktu.

Jumat, 18 Juli 2014

22:31 – Kembali ke rutinitas setelah hari Minggu bertemu dengan Dimas. Riset pasar, strategi pemasaran, dokumen – dokumen laporan yang bertumpuk kembali menjadi teman dekatku. Mengingat percakapan kami yang lalu, pekerjaanku menjadi sedikit terabaikan.

Hari Selasa kemarin, pekerjaan sempat terganggu oleh rasa kurang fokus terhadap tugas yang diberi. Terlambat memenuhi deadline dan berbagai keteledoran telah kubuat. Pikiranku masih terikat oleh percakapan dengan Dimas minggu lalu. Saat aku hilang dan terbawa oleh lamunan di tengah kesibukanku, aku tersadar apa yang telah hilang dalam diriku selama ini. 1 elemen penting yang entah pergi kemana saat aku beranjak dewasa.

Tujuan.

Ialah tujuan yang telah hilang dari pandanganku.

Ia pergi perlahan demi perlahan mengucapkan pelan kata “Selamat Tinggal.” Sebelum ia akhirnya benar – benar hilang menuju kabut di tengah malam.

Tiap hari aku bekerja untuk membuat laporan yang yang berisi kesimpulan dan keputusan untuk para petinggi perusahaan. Dokumen – dokumen ku kelak akan menjadi batu penjuru, penentu masa depan angka – angka yang ada di neraca keuangan akhir bulan. Meski begitu, aku tahu betul bahwa hasilnya akan bersifat binari: Positif atau negative. Tugasku adalah mengumpulkan informasi – informasi yang tersebar atau pun yang tersedia dan menyimpulkan informasi yang kiranya mampu menyelesaikan masalah seperti apa yang diminta dari atasan.

Mengumpulkan keping – keping kejadian, informasi, dan benda mati lalu memberinya makna.

Bukankah pekerjaanku menyerupai kegiatan dan rutinitas kehidupan manusia itu sendiri?

Namun kemudian pertanyaannya adalah: “Mengapa?”

Mengapa aku mampu menarik kesimpulan dan menyodorkan saran untuk orang lain tapi aku tak mampu memberi kesimpulan terhadap hidupku sendiri?

Aku lelah berjuang untuk terus – menerus mendaki gunung sambil memikul beban ekspektasi dan kewajiban yang harus aku penuhi untuk hidup. Aku mendaki gunung yang puncaknya tertutup awan. Pun ketika ku menoleh ke bawah, yang ada hanyalah jurang terjal yang selama ini telah kudaki. Aku tidak tahu ada dimana.

Apakah aku sudah ada di tengah?

Di kaki gunung?

Mendekati puncak?

Seberapa jauh sudah kudaki?

Aku tidak tahu.

Yang kutahu hanyalah aku ingin hilang, aku ingin lenyap, aku ingin apapun yang mampu membuatku lupa. Aku menunggu kematian datang padaku. Kematian yang hanya akan mampu memberiku ketenangan dari perjuangan tiap insan untuk mencari makna dalam hidup.

Terkesan begitu mudah untuk melepas cengkraman pada tebing yang kupanjat ini. Tapi tubuhku menolaknya. Perasaan bahwa aku tidak sendirian lah yang membuat tubuhku enggan menyerah. Dimas masih ada. Meskipun ia tidak selalu ada tapi ia juga mengalami perasaan yang sama. Ia juga masih terus berjuang untuk mencari makna hidupnya.

Aku tidak sendiri!

Baiklah.

Aku akan coba mendaki lagi untuk sementara. Mendaki gunung ini dengan kecil harapan akan bertemu pada sang Pencipta di puncaknya. Di saat itu pula aku akan berlutut dan mungkin tersungkur sambil terus tanpa berhenti bergumam:

“Mengapa?”

Sampai sang Khalik menjawab pertanyaanku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun