Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia Kini: Dari "Koalisi-Oposisi" Menuju "Koalisi-Negosiasi"

14 Oktober 2019   16:59 Diperbarui: 14 Oktober 2019   17:14 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sistem demokrasi, terutama yang menganut multi-partai seperti Indonesia, keberadaan kelompok koalisi-oposisi menjadi sebuah keniscayaan. Partai-partai pengusung Capres-Wapres yang menang akan berkumpul dalam satu kelompok bernama koalisi, sementara partai-partai pengusung Capres-Wapres yang kalah tetap bersatu dalam barisan oposisi.

Biasanya, "polarisasi" itu akan tetap dipertahankan meski mereka tak lagi "bermusuhan" seperti saat hiruk-pikuk kontestasi Pilpres. Partai-partai, biasanya, juga tetap berada di jalur masing-masing sesuai dengan dukungan saat Pilpres.

Keberadaan oposisi melalui partai-partai yang berada di luar lingkaran kekuasaan diharapkan akan memberikan peran signifikan dalam upaya check and balances, memberikan kritik, serta untuk mengontrol kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan visi-misi kemajuan.

Jika koalisi memiliki panggung di dunia eksekutif dengan dukungan di Parlemen, maka oposisi akan "bertarung" melalui jalur parlemen saja. Meski pada akhirnya "kalah" secara kursi dan suara di Parlemen, terutama untuk kebijakan yang mengharuskan dengan cara voting, tapi keberadaan partai-partai oposisi menjadi cara untuk tetap "memuliakan" demokrasi.

Koalisi dan oposisi adalah istilah lama yang semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia, setidaknya, sejak Pilpres 2004 dimana PDI-P menjadi oposisi pemerintahan SBY-JK, lalu dilanjutkan hingga 2014 dengan menggandeng Gerindra sebagai partai oposan pemerintahan SBY-Boediono. Meski kerap jadi "bulan-bulanan" di Parlemen, tapi oposisi tetap memainkan peranan penting dalam upayan mengangkat isu-isu penting yang abai dilakukan oleh pemerintah. Jalur yang baik sebagai proses pendidikan politik bagi masyarakat.

Keberadaan koalisi-oposisi menemukan puncaknya pasca Pilpres 2014, dimana untuk pertama kalinya partai-partai oposisi menguasai Parlemen meski tidak memenangkan Pilpres. Tentu kita masih ingat bagaimana polarisasi KIH-KMP begitu menguat hingga melahirkan istilah Cebong-Kampret. Partai koalisi yang kalah secara suara di Parlemen dibuat tak berkutik.

Ketika itu, oposisi yang menguasai parlemen meloloskan UU Pilkada (yang akhirnya memaksa SBY untuk mengeluarkan Perppu ketika itu) serta UU MD3 yang berhasil "menyingkirkan" partai pemenang Pemilu dari kursi-kursi strategis Pimpinan Dewan dan Alat Kelengkapan DPR (AKD). Waktu itu, pergulatan dan pertarungan ini terjadi dalam waktu yang cukup lama sehingga rakyat hanya disajikan manuver-manuver politik yang tidak produktif dan substantif.

Rakyat berpikir, ini akan menjadi oposisi yang paling kuat atau setidaknya bisa mengurangi "dominasi" panggung pemerintah dan partai koalisinya. Dalam beberapa bulan awal, pemerintahan Jokowi-JK dibuat tidak tenang. Baru kemudian setelah ada revisi UU MD3, situasi politik bisa sedikit diredakan.

Namun pada akhirnya, situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk merayu beberapa partai oposisi menjadi bagian dari koalisi. Jelas, pemerintah memiliki nilai tawar berupa kursi dan posisi. Melalui lobi-lobi cangkruan, Jokowi akhirnya berhasil menggandeng Golkar, PPP, dan PAN. Kompensasinya? Tentu saja kursi Menteri.

"Kegagahan" oposisi terkurangi. Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi tak kompak lagi. Beberapa orang, memang tetap konsisten menyuarakan kritikan, seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon, namun secara umum, relatif tak ada kegaduhan-kegaduhan di Parlemen. Sehingga pemerintah bisa dengan tenang melanjutkan kerja-kerjanya tanpa gangguan. Terlebih yang muncul dari oposisi bukanlah masukan dan kritikan yang cadas, namun lebih tampak sebagai nyinyiran belaka.

Sejak saat itulah, rakyat seperti dikenalkan pada istilah baru yaitu koalisi-negoisasi. Istilah ini semakin menguat ketika pasca Pilpres 2019 kemarin, pola koalisi-oposisi terjadi begitu dinamis dan cair. Tak ada lagi istilah koalisi sehidup semati sebegaimana pasca Pipres 2014 kemarin. Setelah Jokowi-Maruf Amin dinyatakan secara resmi sebagai pemenang, koalisi barisan oposisi secara resmi membubarkan diri, masing-masing memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah tetap akan menjadi oposisi atau justru memilih jalan lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun