Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rokok, Konsumsi Ditekan tapi Pajaknya Doyan!

28 September 2019   14:09 Diperbarui: 28 September 2019   15:17 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi rokok. (shutterstock)

Rokok itu merugikan. Iya, bagi orang-orang tertentu, bukan untuk semua orang. Sama dengan asap polusi, mie instan, daging kambing, dan lain sebagainya. 

Kalau rokok membunuhmu, perlu juga mempopulerkan asap polusi membunuhmu, mie instan membunuhmu, daging kambing membunuhmu karena semua itu menjadi sumber dari penyakit membahayakan. 

Rokok itu bau, iya. Sama dengan sesuatu yang bau lainnya. Tinggal pakai parfum atau makan permen, selesai. Rokok itu mahal, iya betul. Kalau tidak punya uang, jangan merokok. Perketat aturan dan pelaksanaannya bagi anak kecil di bawah umur, sebagaimana dalam undang-undang.

Maka, persoalan rokok ini, sebagiannya disebabkan oleh pelaksanaan undang-undang yang tidak dijalankan dengan baik. Kenapa di negara lainnya, terutama di negara maju, aturan terkait rokok dan tempat-tempat dimana seharusnya para perokok bisa ngisep dilaksanakan dengan baik? 

Karena mereka melaksanakan aturannya dengan baik, penegak hukum bekerja. Jelas ancaman dan dendanya. Apakah bangsa ini bisa? Sangat bisa! 

Contohnya, lihat mereka, para perokok, ketika sedang berada di Bandara atau di negara lain, mereka patuh dan tidak merokok. Para penjual rokok, pun, harus ditindak ketika diketahui menjual rokok pada usia yang tidak seharusnya. Apakah itu berlaku? Sama sekali tidak! Kita bisa menemukannya dengan mudah!

Termasuk juga meningkatnya prevalensi para perokok perempuan dan anak yang meningkat dari 7% menjadi 9%. Aneh. Kenapa tetap naik tapi prevalensi itu juga naik? 

Apakah harus dinaikkan untuk semakin merendahkan prevalensi? Atau, jangan-jangan akan tetap naik juga! Risikonya, prevalensi bisa turun dengan menaikkan cukai, tapi pendapatan negara terancam tidak akan sesuai target karena para perokok akan memilih rokok ilegal dan itu berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. 

Apalagi, pelaksanaan hukumnya juga tidak terlaku ketat. Narkoba, sabu, ganja saja mudah mendapatkan, apalagi cuma rokok ilegal. Itu salah, tapi logika sederhana seperti itu mesti dijadikan pertimbangan juga.

Artinya, jangan karena gagal memberlakukan sebuah aturan, rokok kembali menjadi kambing hitam. Lalu cukai dan harganya dinaikkan. Dampaknya, industri rokok ketar-ketir dan terancam, terutama para buruh yang menggantungkan hidupnya pada industri ini. 

Ekonomi rakyat kecil juga akan berpengaruh, karena sebagian besar dari pendapatan mereka di warung-warung kecil disumbangkan oleh jual-beli rokok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun