Penulis: Dewi Ummu SyahidahÂ
Deradikalisasi masih menjadi topik hangat di negeri ini. Beragam upaya dilakukan untuk mencegah berkembangnya ekstrimisme dan radikalisme. Salah satunya sebagai upaya mencegah berkembangnya radikalisme, Bapas Nusakambangan turut diundang dalam Rapat Tim Koordinasi Pelaksanaan Deradikalisasi dan Diskusi Pembahasan Pelaksanaan Deradikalisasi yang digelar di Aston Inn Pandanaran, Semarang pada tanggal 21 hingga 24 Juli 2025 lalu. Acara ini juga dihadiri sejumlah instansi strategis, di antaranya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88 AT), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Kantor Wilayah Ditjenpas Jawa Tengah, Ketua IPKEMINDO, serta seluruh Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik (Binadik) se-Nusakambangan dan Cilacap.Â
Cilacap dengan Lapas Nusakambangannya memang menjadi perhatian dalam program deradikalisasi, dimana lapas Pasir Putih adalah tempatnya para narapidana terorisme yang terkategori high risk. Adanya lapas super maximum security juga menjadi perhatian karena digunakan untuk napi beresiko tinggi. Lapas Pasir Putih ini telah diresmikan sebagai Lapas Berisiko Tinggi Terorisme. Napi-napi teroris dari seluruh Indonesia yang berkategori risiko tinggi ditempatkan di lapas ini. Kategori risiko tinggi tersebut antara lain berpotensi menyebarkan paham radikal kepada napi lainnya.
Ramainya pembahasan deradikalisasi sengaja dimunculkan sejak tragedi 9/11. Setelah serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, Presiden George W. Bush mengumumkan rencana komprehensif untuk memburu dan menghentikan teroris di seluruh dunia. Seluruh negara di dunia dipaksa untuk melakukan Perang Global Melawan Teror , atau "GWOT", apalagi dengan politik "stick and carrot, you are with us or with terrorists", tindakan ini memaksa semua negara terlibat dalam hubungan diplomatik, keuangan, dan tindakan lain yang diambil untuk mencegah pendanaan atau perlindungan bagi teroris.Â
Deradikalisasi Alat Politik AS
Pasca peristiwa Perang Dingin, AS telah memilih Islam sebagai lawan ideologis yang mengancam nilai, kebijakan, dan hegemoni globalnya. Amerika mewacanakan "perang" baru melawan terorisme global dan menjadikannya sebagai prinsip utama kebijakan luar negeri dan pertahanannya.Â
Berbagai narasi diutarakan dengan mengaitkan aksi terorisme pada prinsip ajaran Islam, hal ini menunjukkan bahwa perang peradaban (dalam konteks WoT) sejatinya adalah perang melawan Islam, yakni Islam politik.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) lalu menganggap bahwa radikalisme adalah embrio dari terorisme. Radikalisme menurut mereka merupakan pemikiran dan gerakan yang menginginkan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan mengubah nilai-nilai yang ada secara drastis melalui tindakan-tindakan ekstrem dan aksi kekerasan.Â
Ciri dari radikalisme menurut BNPT adalah fanatik (menganggap diri sendiri selalu benar dan orang lain salah), intoleran (kurang menghargai pendapat serta keyakinan orang lain), revolusioner (menginginkan perubahan cepat dengan cara kekerasan dalam mencapai tujuan), dan eksklusif (membedakan dan memisahkan diri dari kaum muslim pada umumnya).
Pandangan rakyat pun dikaburkan dalam menentukan siapa sesungguhnya common enemy mereka. Ada upaya agar sasaran kebencian mereka salah alamat, yaitu kepada perjuangan penerapan syariat Islam kafah dan penegakan Khilafah bukan kepada kafir penjajah yang benar-benar menjarah negeri ini.Â
Sejak 2023, Indonesia mendapat predikat "zero terrorist attack", terlebih lagi kasus terorisme turun hingga 56%. Predikat inilah yang kemudian dianggap prestasi dan fenomena yang menjadi perhatian dunia. Tapi seharusnya jangan dulu bangga, ada beberapa hal perlu menjadi catatan penting terkait proyek GWOT atau sekarang lebih dikenal dengan "deradikalisasi".
Pertama, GWOT merupakan propaganda AS untuk menstigma Islam hingga terbentuklah islamofobia di Barat. Tidak lama setelah serangan 9/11, wajah dunia Islam berubah drastis. Simbol-simbol Islam diidentikkan dengan teroris, Al-Qur'an dituding mengajarkan kekerasan dalam seruan jihad, jilbab dan cadar dilarang, muslim Eropa yang menjadi minoritas pun diintimidasi dan dikriminalisasi. Saat itu, Islam menjadi bulan-bulanan tudingan negatif dari AS dan Barat. Di sisi lain, GWOT merupakan agenda terselubung AS untuk melancarkan tujuan geopolitiknya terhadap Timur Tengah. Mereka ingin mengambil alih kendali atas cadangan minyak global, yang mana kita ketahui bahwa Irak merupakan negara dengan cadangan minyak terbesar kedua di dunia dengan total 11% stok minyak dunia dengan kualitas tinggi dan biaya produksi yang rendah.
Kedua, tidak ada anggaran dana jika tidak ada program atau kebijakan. Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasi kebijakan GWOT. Sehingga lahirlah Detasemen Khusus Antiterror sebagai satuan khusus penanganan tindakan terorisme setelah peristiwa Bom Bali 2002. Dan peristiwa Bom Bali 2002 menjadi katalisator bagi Indonesia untuk mengeksekusi kebijakan GWOT.
Ketiga, narasi terorisme dan radikalisme adalah narasi ciptaan Barat untuk mendegradasi pemahaman umat Islam terhadap agamanya sendiri. Narasi tersebut diciptakan Barat untuk menstigma ajaran Islam dan simbol-simbolnya. Tujuannya agar umat Islam memiliki pemikiran, pemahaman, serta pola hidup yang dapat menerima nilai-nilai Barat, seperti sekularisme, kapitalisme, demokrasi, liberalisme, pluralisme, dan derivatnya. Pada akhirnya narasi ini mengarahkan muslim untuk cukup berislam seadanya, tidak terlalu ekstrem dan fundamental. Dengan demikian, hilanglah jati diri muslim sesungguhnya, lalu lahirlah produk muslim yang menerima ide-ide Barat sebagai cara pandang hidup mereka, baik dari aspek paradigma hingga berpengaruh pada perilakunya.
Isu radikalisme pun menjadi alat strategi politik dalam rangka victim blaming. Menutupi keburukan dan kerusakan rezim, sedangkan korban (umat Islam dan ajarannya dijadikan kambing hitam.Â
Di balik itu, segala kerusakan, kebobrokan, dan kegagalan yang diwujudkan oleh para pelaku demokrasi ini makin telanjang di depan mata. Dalam hal ekonomi, misalnya, tidak kunjung mampu menyejahterakan rakyat dengan memenuhi kualitas hidup yang layak, apalagi memberikan rasa aman dan damai.
Islam Memandang Deradikalisasi
Islam sejatinya tidak membenarkan aksi terorisme dalam bentuk apa pun, bahkan hingga radikalisme sekalipun. Namun, umat juga tidak boleh terjebak dengan narasi terorisme atau radikalisme yang Barat jual. Indonesia yang dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, seharusnya memandang narasi terorisme atau radikalisme berdasarkan kacamata Islam. Yaitu:
Pertama, musuh bersama umat Islam hari ini adalah ideologi kapitalisme beserta akidah sekulernya, yang memisahkan agama dari kehidupan. Dampak penerapan ideologi ini sudah sangat terlihat. Kapitalisme membuat kekayaan alam Indonesia habis dijual dan dieksploitasi. Sekularisme membuat generasi ini kian rusak karena nilai Islam makin terdegradasi dari mengatur kehidupan.
Kedua, terorisme atau radikalisme adalah propaganda Barat untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam. Barat menyadari bahwa ancaman bagi eksistensi ideologi kapitalisme adalah kebangkitan Islam. Oleh karena itu, mereka melakukan segala cara agar umat makin jauh dari Islam dan tidak menjadikannya sebagai sistem untuk mengatur masyarakat dan negara.
Ketiga, moderasi dan deradikalisasi adalah proyek ciptaan Barat yang harus diwaspadai, bukan malah diaruskan. Coba tengok upaya peradaban Islam mendidik generasi mudanya. Mereka tumbuh menjadi pemuda taat dalam iman dan cerdas dalam ilmu dunia. Justru ketika pemuda dijauhkan dari Islam, mereka melakukan banyak kemaksiatan dan keburukan, mengekor pada budaya dan gaya hidup yang bertentangan dengan Islam.
Keempat, harus bisa menolak dan melawan propaganda Barat terhadap Islam. Inilah wujud dakwah amar makruf nahi mungkar pada era digitalisasi, yakni berlomba-lomba mencegah tersebarnya kemunkaran dan opini Islam yang mencerahkanlah yang lebih layaj disebarkan.Â
Sehingga saat ini menjadi tugas kita untuk melawan narasi Barat dengan terus menjelaskan propaganda jahat mereka. Setiap individu umat Islam harus berperan dalam dakwah yang menyadarkan umat akan bahaya sekularisme dan turut menyuarakan perubahan menuju sistem Islam yang dikehendaki Allah semata.
Jadi beragam upaya mencegah deradikalisasi bahkan dengan menyiapkan lapas khusus napi terorisme semua merupakan rencana penjajah dalam kampanye anti radikalisme yang mereka kehendaki. Semua hanya kelicikan sistemik untuk menguatkan perang pemikiran yang mereka gulirkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI