Ungkapan "mencegah lebih baik daripada mengobati" sering terdengar seperti slogan kampanye kesehatan. Namun jauh sebelum dunia medis modern lahir, Islam telah menanamkan prinsip ini dalam bentuk etika hidup yang utuh: etika menjaga diri, lingkungan, dan masyarakat dari segala bentuk kerusakan. Dalam bahasa fikih, prinsip itu dikenal sebagai dar' al-mafsid awl min jalb al-mali --- menolak kemudharatan lebih utama daripada menarik kemaslahatan. Sebuah kalimat singkat, tapi mengandung pandangan hidup yang mendalam.
Jika ditelusuri, Al-Qur'an banyak mengajarkan pencegahan, bukan sekadar pengobatan. Allah tidak hanya melarang yang haram, tetapi juga melarang "mendekati" yang haram. "Janganlah kamu mendekati zina" (QS. Al-Isra: 32). Kalimat itu bukan sekadar perintah moral, tapi peringatan sosial. Bahaya sering tidak datang tiba-tiba; ia muncul dari langkah-langkah kecil yang dibiarkan tanpa pengawasan. Maka, mencegah berarti menyadari bahwa keburukan selalu berawal dari kebiasaan yang disepelekan.
Dalam konteks kesehatan, Islam juga memandang tubuh sebagai amanah. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu." Karena itu, mengabaikan kesehatan bukan sekadar kecerobohan, melainkan pelanggaran terhadap hak yang telah diamanahkan. Banyak sunnah Nabi yang secara ilmiah terbukti bersifat preventif: wudhu lima kali sehari menjaga kebersihan tubuh, anjuran menutup makanan menghindarkan dari kontaminasi, dan perintah mencuci tangan sebelum makan kini menjadi protokol medis universal. Islam tidak hanya menuntun umatnya untuk beribadah, tetapi juga melatih mereka hidup higienis dan waspada terhadap penyakit.
Ada pula hadis yang berbunyi, "Tidaklah manusia memenuhi perutnya dengan sesuatu yang lebih buruk daripada makanan." Nabi SAW lalu menasihati agar seseorang makan hanya sepertiga dari kapasitas perutnya. Dalam bahasa modern, ini adalah disiplin diet. Islam menanamkan pengendalian diri sebagai benteng pertama kesehatan. Karena penyakit kerap lahir dari kerakusan, bukan dari kekurangan. Di sinilah pencegahan bukan sekadar tindakan medis, tetapi latihan spiritual: mengatur keinginan agar tubuh tetap seimbang.
Jika kita tarik lebih luas, prinsip pencegahan juga berlaku dalam kehidupan sosial. Ketika Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk tidak saling mencaci, tidak berburuk sangka, dan tidak menyebar fitnah, sesungguhnya itu semua adalah "vaksin sosial" yang mencegah masyarakat dari epidemi kebencian. Sebab penyakit sosial, seperti halnya penyakit fisik, tumbuh dari kebiasaan kecil yang dibiarkan. Sebuah ucapan, prasangka, atau hoaks yang tidak dikendalikan dapat menular lebih cepat daripada virus.
Kaidah fikih dar' al-mafsid juga relevan untuk kebijakan publik. Pemerintah yang bijak tidak menunggu wabah menyebar baru bergerak, tetapi menciptakan sistem yang melindungi rakyat sejak dini: sanitasi, edukasi, dan kebijakan lingkungan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, mencegah bukan hanya tindakan pribadi, tetapi juga tanggung jawab negara. Syariat Islam selalu berdiri di antara dua poros: tanggung jawab individu dan tanggung jawab kolektif. Keduanya harus bekerja bersama untuk menciptakan masyarakat yang sehat secara jasmani maupun rohani.
Namun, masyarakat modern sering terjebak dalam logika "pengobatan" yang reaktif. Rumah sakit makin megah, tetapi pola hidup tetap buruk. Kita bangga menemukan obat, tapi malas mengubah kebiasaan. Seolah-olah kesehatan bisa dibeli, bukan dijaga. Padahal, Islam mengajarkan bahwa kesehatan bukan hasil dari intervensi medis semata, melainkan buah dari kesadaran spiritual: kesadaran bahwa hidup sehat adalah bagian dari ibadah.
Prinsip "mencegah lebih baik daripada mengobati" bukan hanya pesan medis, melainkan pesan moral. Ia mengingatkan bahwa tanggung jawab manusia bukan menunggu masalah muncul, tetapi menghindarkannya sejak dini. Dalam setiap aspek kehidupan --- tubuh, pikiran, keluarga, atau negara --- pencegahan selalu lebih murah, lebih bijak, dan lebih beradab daripada pengobatan.
Akhirnya, ajaran Islam mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Mencegah bukan berarti menolak takdir, tetapi menghormati hukum sebab-akibat yang telah Allah tetapkan. Sebab, menjaga diri adalah bagian dari syukur, sedangkan lalai menjaga diri adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmat kesehatan yang telah dianugerahkan. Dan bukankah menjaga lebih mudah daripada memperbaiki yang telah rusak?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI