Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

e-KTP, Harapan di Tengah Carut Marut Sistem

11 November 2015   16:06 Diperbarui: 11 November 2015   16:24 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan terinspirasi dari peristiwa INI.

Saya bukan programmer, juga tidak ambil bagian dari semua pun sebagian dari proyek e-KTP beberapa tahun lalu. Hanya seorang ibu rumah tangga yang enggan mengurus penggantian e-KTP beralamat salah satu kota di Jawa dengan alamat kampung halaman saya di ujung timur Lombok.

Eman-eman. Valid sampai tahun 2017, dua kali konfirmasi ke kantor Kelurahan, saya harus sertakan satu form atau blangko surat pindah dari alamat di Jawa. Form atau blangko yang baru bisa saya dapatkan dengan keharusan bertatap-muka, mulai dari Pak RT, Pak RW, Kelurahan sampai Kecamatan. Proses yang bagi saya sebenarnya sudah biasa karena beberapa kali mengurus sendiri surat-surat tertentu. Proses yang sebenarnya juga bisa tanpa saya harus mudik ke Jawa, tetapi juga akan membutuhkan waktu di proses pengiriman berkasnya. Jelas kesalahan utama memang pada saya. Telaten mengurus kepindahan sekolah putri sulung, saya abai mengurus proses perpindahan administrasi kependudukan ini. Lupa mulu..:D

Eman-eman. Terutama karena tidak ada jaminan bagi saya, bahwa e-KTP saya yang baru akan terhindar dari kesalahan, meski mungkin kecil, semisal kesalahan penulisan nama. Misalkan saja,  e-KTP saya yang baru terketik Muslifah Aseani. Buat saya itu masalah besar. Pertama, jelas tidak akan sama dengan berkas formal saya yang lainnya, Akta Lahir, Kartu Keluarga, ijazah pendidikan formal. Kedua, akan bermasalah besar jika seseorang selain saya dan tertarik mengikuti proses penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sistem e-KTP sudah cukup terintegrasi dalam proses penerimaan PNS. Jadi no ID serta nama lengkap benar-benar harus sesuai.

Sistem akan menolak kekeliruan penulisan nama, meski satu huruf sekalipun. Jika kemudian terpaksa menuliskan nama di ID lama, tentunya cukup menggalaukan pelamar karena faktanya e-KTP yang dimilikinya tak sama dengan data yang ada pada sistem. Ketiga, fakta yang kemudian menjungkir-balikkan semua proses formal di ulasan paragraf kedua di atas, dengan sekian puluh ribu rupiah, tarraaa, saya sudah milik e-KTP baru. Proses yang masih saya hindari. Belum kepepet..:D

Terlepas dari berbagai macam kartu yang di awal kabinet Jokowi sempat diributkan sana sini, wacana pembuatan e-KTP untuk semua anak baru lahir di Indonesia sungguh memberikan harapan lebih. Terutama setelah membaca peristiwa pada link rujukan saya di baris teratas tulisan ini. Seorang anak yang dibawa kabur ayah kandungnya sendiri, hilang belasan tahun, akhirnya ditemukan karena penolakan sistem pendataan penduduk yang gagal mendeteksi data kependudukannya saat mendaftar di perguruan tinggi. Mengapa? Dalam pelarian, si ayah mengganti nama puteranya, namun no jaminan sosialnya masih tercatat dengan nama aslinya atau nama lahirnya.

Pemberian e-KTP bagi anak-anak baru lahir hendaknya dengan semua sistem pendukung yang optimal. Selain menjaga tetap terdeteksinya putra putri kita untuk kejadian apapun, juga memudahkan orangtua khususnya, terutama para orang tua atau keluarga yang mobilisasinya tinggi. Tak bisa berdiam lama di satu alamat tertentu. Entah karena kemampuan sebatas kontraktor (kontrak sana sini) atau memang tuntutan tugas dari jabatan tertentu. Sistem pendataan yang memungkinkan semua lembaga resmi pemerintah bisa mengakses data berdasarkan satu saja no ID, meski tinggal atau mencari rezeki dimana pun di wilayah Indonesia.

Kembali ke sistem e-KTP saat ini, menurut saya sudah saatnya didukung proses-proses online. Meski faktanya terkesan masih setengah hati, sebagian online, sebagian tetap manual. Contoh terdekat, proses pembayaran pajak atau surat-surat keimigrasian. Saya pribadi tidak paham, mengapa sistem administrasi paling mendasar ini belum dioperasikan seperti pajak dan imigrasi. Semoga ada K-ers yang kebetulan memahami hal ini berkenan sumbang ulasannya.

Pemikiran sederhana saya, mungkin proses pengurusan yang dimulai dari tingkat RT sampai kecamatan lah yang masih susah di-onlinekan. Semacam jabatan tradisional dengan memori-memori mengharu-biru yang berat untuk dialih-tugaskan oleh teknologi bernama internet (baca: online). 

Sudah saatnya segenap lapisan kehidupan (kependudukan, kependidikan, imigrasi, pajak, apalah apalah) dengan semua sistemnya memberi tempat bagi sistem online. Tentunya dengan langkah-langkah verifikasi sesuai untuk menghindari celah mengakali sistem. Sidik jari salah satu langkah verifikasi yang cukup lama digunakan dan bisa diintegrasikan dengan sistem online, menghindari celah fault and failure validitas sistem. Rekam gigi juga salah satu proses verifikasi yang digunakan cukup lama, bahkan sering kita baca, digunakan di musibah-musibah atau bencana alam seperti Tragedi Mina beberapa waktu lalu.

Saya bukan programmer, atau apapun istilah khusus yang bertalian dengan ulasan saya di tulisan ini. Hanya pemikiran sederhana seorang ibu, saat ini mungkin sebagai penjawab masalah saya yang enggan berganti alamat e-KTP, pun semoga menjawab kompleksitas masalah pendataan yang berkaitan dengan administrasi. Meski terkesan serupa ujar-ujar, 'Bagaikan mulut bermanis madu', namun dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, ujar-ujar tersebut semoga bisa disambung dengan ujar-ujar bijak lainnya: 'Alah bisa karena biasa'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun