Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Nagihnya KOLOM History Trip Pelangi dari Timur

25 Maret 2023   10:15 Diperbarui: 25 Maret 2023   11:24 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesalahan teknis lain, banner Pelangi dari Timur-nya salah cetak. Jadilah pakai KOLOM Donasi Ramadhan :(. DOkpri

Anak-anak hanya tahu bermain. Di tahun 70-an akhir sampai 80-an awal, Taman Tugu tidak mengenal beton, terkecuali tugu yang memancang di tengah lapangan berumput tebal. Namanya pun bukan 'Taman', tetapi 'Lapangan'. Penanda terpisahnya ruang lapang ini, deretan pohon lekong (kemiri) dengan batang-batang raksasanya, di sisi selatan dan barat. Di sisi utara dan timur, mungkin karena berhadapan dengan rumah dinas bupati serta gedung DPR, relatif lebih indah serta lebih terjaga dengan bebungaan cantik. 

Sejuknya tak terkira. Alasan utama mengapa saat ngabuburit atau jalan-jalan selepas subuh, lapangan Tugu selalu jadi tempat mengikat janji. Bahkan, sebagian besar acara yang melibatkan kumpulan orang banyak, awal dan akhirnya di lapangan ini. Waktu sembahyang lima waktu pun tetap terjaga di awal, berkat masjid raya yang bersisian persis dengan lapangan. Di sisi barat. Ruang lapang yang akan nyaman di sepanjang waktu. Pagi sampai petang. 

Taman Tugu, selalu asyik buat jadi spot nge-konten. Dokpri
Taman Tugu, selalu asyik buat jadi spot nge-konten. Dokpri

Sekarang, pohon lekong raksasa hanya tersisa satu. Pohon lainnya takluk oleh cuaca, dan mungkin juga usia. Pohon tersisa, seolah menjadi bukti hidup. Ada rentang puluhan tahun, lapangan yang kini menjadi Taman Tugu, benar pernah dikelilingi pohon-pohon raksasa. Lingkar batang yang butuh 3 orang dewasa untuk bisa memeluknya, rindang dedaunan hijau, coklat gading keemasan saat gugur, juga butir-butir kemiri kering di sela rerumputan. Sungguh lekat di ingatan saya. Semoga mampu terbayangkan di ingatan Anda yang sedang membacai tulisan ini.

Jika dulu lebih banyak tanah lapang berumput tebal, kini ada selasar beton di sisi dalam dan luar. Dokpri
Jika dulu lebih banyak tanah lapang berumput tebal, kini ada selasar beton di sisi dalam dan luar. Dokpri

Dermaga Haji di pantai Labuhan Haji

Taman Tugu ke pantai Labuhan Haji juga masih dekat. Lagi-lagi kenangan pribadi saya, saat ABG dan di bulan Ramadhan, kemampuan berjalan kaki dari taman ini sampai ke pantai, semacam jadi indikasi betapa teguhnya iman kita untuk berpuasa sehari penuh. Remaja. Masa usia yang lebih banyak membutuhkan pengakuan-pengakuan. Aslinya, di jam-jam olahraga saat menjadi siswa sekolah menengah, jogging ke pantai ini pun ternyata memang kuat koq. Jaraknya sekira 7km, searah. Akan mampu bolak balik, jika bersepeda. Kalau jalan kaki atau jogging, kembalinya ya naik angkot saja. Murah. Sekarang 7 ribu rupiah. Dulu, masih cukup dengan ratusan rupiah saja.

Satu pagi di 5 Juli 2020 di sebelah kanan kompleks dermaga pantai Labuhan Haji. Dokpri 
Satu pagi di 5 Juli 2020 di sebelah kanan kompleks dermaga pantai Labuhan Haji. Dokpri 

Sisi sejarah pantai ini, banyak. Satu yang paling berkesan bagi saya, kakek dan salah seorang nenek tiri saya (almarhum kakek, mempraktekkan poligami saat masih hidup dulu -- beliau menikah sampai 10x dan terakhir hidup rukun dengan dua istri -- istri ke-9 serta ke-10) berangkat haji melalui laut. Enam bulan berlayar! Saya jadi mafhum, mengapa sebagian bibi saya masih saja menangis histeris saat melepas kakek berangkat haji. Lagi, Padahal sudah pakai pesawat terbang. Mungkin sudah jadi kebiasaan. Sebelumnya, kakek almarhum, berhaji dan arungi lautan bebas selama hampir setengah tahun. Entah bagaimana cara saling berkabar, selain hanya menenangkan diri di deretan doa-doa.

Begitulah. Sisi sejarah satu lokasi, kadang mengendap begitu saja di ingatan seseorang, dengan caranya masing-masing. Menuliskannya ulang, adalah cara lain mengabadikannya. Untuk tulisan formal, tentu tak bisa sekadar mengandalkan ingatan. Seperti rangkaian materi narsum KOLOM History Trip 'Pelangi dari Timur', kita tetap perlu riset mendalam. Di Lombok Timur, khususnya kota Selong, ada perpustakaan daerah. Lalu, ada juga badan kearsipan daerah. Dimana kita bisa berburu referensi-referensi resmi, tercetak. 

Lain waktu, semoga rangkaian acara KOLOM History Trip 'Pelangi dari Timur', memasukkan pula agenda riset bahan pustaka. InshaAllah, aamiin.

Tampiasih untuk Kompasiana, rekan admin (Mas Momo dan mbak Linda), utamanya kawan-kawan penulis Kompasiana yang telah jauh-jauh datang dan mensukseskan kegiatan ini. Pak Makripuddin jauh-jauh datang dari Kediri di Lombok Barat. Indri, Fatih, Reza, Rusnan dan seorang kawan lagi, sesama penulis di Lombok Timur. 

*Selong 25 Maret 2023 - Video terakhir, kenangan bazaar thrift gratis di Taman Tugu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun