Sewaktu berdirinya negara Israel, Yahudi Mizrahi juga berbondong-bondong untuk mendapatkan hak istimewa kewarganegaraan Israel. Seperti yang dilakukan ratusan ribu Yahudi Mizrahi Irak.
Sayangnya, mereka justru mendapat diskirminasi dan penolakan dari Yahudi Azhkenazi. Dalam buku Orit Bashkin dijelaskan, mereka harus tinggal di tempat kumuh, mendapat perlakuan kasar dan sulit mendapat pekerjaan.Â
Mereka juga harus meninggalkan percakapan bahasa Arab atau Persianya lalu menggantinya dengan bahasa Ibrani . Mereka juga harus melepaskan semua budaya Arab yang melekat kepada mereka.
Kebanyakan mereka berasal dari Irak dan Maroko. Tak hanya Yahudi Mizrahi saja, Yahudi berkulit hitam lebih-lebih didiskriminasi.
Maka tak heran banyak Yahudi di Iran lebih memilih pindah ke Amerika Serikat ketimbang ke Israel. Menurutnya dengan ke Amerika Serikat mereka akan bebas masuk ke Israel sementara jika masih bertahan di Iran, mereka akan kesulitan masuk ke Israel untuk beribadah.
Di Israel, warna kulit juga sangat menentukan. Diskriminasi pun didapatkan oleh mereka yang blesteran, Yahudi Azhkenazi dengan Yahudi Mizrahi.Â
Intinya hanya Yahudi Azhkenazi yang paling diprioritaskan. Sisanya adalah kelas dua dan tiga. Mereka yang kelas dua dan tiga dianggap Yahudi Colored.
Kalau sudah begini ceritanya, maka tak salah jika banyak akademisi dan pemerhati Timur Tengah menyebut bahwa konflik di Israel ini adalah konflik politik kepentingan bukan agama.
Agama hanya dijadikan kedok agar mereka bisa mendapatkan wilayah kekuasaan baru. Padahal meskipun mereka tidak mendirikan negara Israel, mereka pasti masih bisa beribadah dengan bebas di Jerusalem karena lagi-lagi di sana masih tersisa tiga agama, ketiganya juga menganggap Jerusalem sebagai kota suci.
Herannya, di Indonesia masih kaku dalam melihat konflik di Israel-Palestina. Banyak yang mengait-kaitkan konflik Israel dengan agama.Â
Kebanyakan dari kita juga sering mengutuk Yahudi, padahal tidak semua Yahudi juga setuju dengan pendudukan Israel di tanah Palestina. Mungkin karena populasi Yahudi di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari.
Â