Terlambat, membolos, menyontek, kabur saat jam belajar, berbuat iseng pada teman, menyembunyikan sepatu saat shalat, menghukum anak dengan membuat karya atau berliterasi, melihat siswa menyeburkan teman di kolam ikan sebelah ruang kurikulum -- saat  ada yang ulang tahun, menjadi pemandangan rutin di sekolahku.
Pagi ini sambil menemani beberapa siswa terlambat dengan menyuruh mereka membuat karya, atau berafirmasi, seorang teman mendekat.Â
Aku saat ini sedang menulis kalimat afirmasi sambil mengawasi para siswa yang terlambat berliterasi.
"Sekarang ada kelas?"
"Ada," Â itu jawabku untuk pertanyaan Bu Budi. Afirmasiku terhenti.
"Kalau ada yang terlambat lagi, tugas apa yang diberikan?"
"Langsung boleh masuk, tapi besok bawa surat keterangan dari RT/RW. Pertama kali terlambat sudah disuruh  menulis dan menguraikan  dengan lengkap, detail, mengapa hari ini terlambat. Mereka sudah saya suruh mengungkapkan dengan cara ditulis. Barangkali juga mereka membutuhkan tempat melampiaskan unek-unek, itu bisa sekalian dijadikan kesempatan kita tahu maksud dan keinginan anak.Â
Kalau masih terlambat lagi, para siswa yang terlambat, daku suruh buat afirmasi. Bunyinya -- saya tidak akan terlambat lagi, saya akan berangkat lebih pagi. Sebanyak 50 kali.
Jadi selembar kertas bekas daur ulang yang biasa saya pakai digunakan juga untuk giat para siswa. Kertas yang dimaksud, kertas bekas ulangan akhir semester, yang halaman berisi  soal sudah ditutup  dengan kertas lain, sehingga lembaran kertas itu menjadi selembar kertas kosong bolak balik.
Eh, masih mengulang lagi, sana kamu masuk kelas, saya sudah catat di buku khusus. Tetapi besok  datang ke sini dengan membawa surat keterangan dari Pak RT/RW bahwa kamu sudah ke sana.
