Sebenarnya saya enggan dan malas untuk menanggapi pemberitaan tentang diri saya hari ini. Apa sebab? Karena berita hari ini berasal dari media online yang saya anggap tak jelas kredibilitasnya.
Saya juga bisa menduga bahwa sejak lama ada konspirasi dari beberapa pihak yang tak senang dengan keberadaan saya.
Saya tidak hendak menyinggung banyak pokok persoalan yang lebih besar baik menyangkut pemerintahan maupun organisasi dimana saya bekerja karena itu bukan sepenuhnya menjadi ranah saya untuk memikirkannya. Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) saya menyadari betul adanya keterbatasan untuk melakukan tindakan termasuk dalam hal mengemukakan pendapat lewat tulisan. Ada banyak aturan dan kode etik yang harus saya patuhi termasuk juga saran dari atasan.
Namun pemberitaan sebuah media online lokal bernama “Ijen Pos” edisi Selasa tanggal 9 Maret 2021 yang berjudul “Pejabat BKD Melanggar UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan "Munir, SH : Saya Awam Sekali Soal Hukum" (ijenpost.com) cukup mengusik pikiran saya sehingga dalam waktu istirahat menjelang larut saya sempatkan untuk sedikit memberi tanggapan atas nama saya pribadi, tidak mewakili siapapun.
Awalnya berita ini saya anggap lelucon saja, karena akurasinya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ulasannya sangat subyektif dan celakanya nampak tak ada naluri investigatif yang kuat dari si penulis untuk menggali kebenaran secara substantif. Dulu ada terminologi yang disebut "Yellow Paper" untuk jenis narasi dan tampilan media seperti ini. Koran yang isinya hanya menyuguhkan hal yang bombastis namun kering dari sisi substansi. Bagi yang paham jurnalistik agak repot juga meniai apakah ini karya jurnalistik atau bukan, apakah hasil reportase atau opini pribadi? pasalnya berita dibuat tidak cukup klarifikatif dan hanya berdasar isi kepala redakturnya sendiri sekaligus penulisnya.
Saya juga curiga bahwa berita ini sebenarnya dibuat berdasarkan pesanan dari sejumlah pihak. Alhasil berita menjadi bias dan sangat nampak adanya upaya pembingkaian (Framing) yang dialamatkan kepada saya pribadi.
Tujuannya jelas adalah untuk melakukan character assassination (pembunuhan karakter) dan upaya lain yang bermuara pada stigma negatif.
Model framing dengan metoda case building seperti ini sebenarnya memang kerap terjadi, tapi biasanya dilakukan atas dasar tujuan politik atau tujuan lain yang lebih besar. Namun kali ini saya merasa apes, karena tiba-tiba menjadi subyek berita yang disimak dari judulnya saja sudah ”melintir”.
Baik, saya akan mencoba mengulasnya satu persatu. Tentang judul di atas saya selaku pejabat di BKD Bondowoso dituduh melanggar UU 13/2003 Tentang Ketenaga Kerjaan. Ini saya anggap tuduhan serius sekaligus salah kaprah. Karena saya diposisikan seolah sebagai pihak pemberi kerja seperti yang dimaksud pada angka 4 ketentuan umum UU dimaksud. Penulis secara sederhana melakukan framing bahwa saya adalah orang yang tengah merekrut tenaga kerja. Padahal disitu juga jelas disebutkan bahwa saya hanyalah seorang pejabat di salah satu unit kerja pemerintah. Pertanyaanya sejak kapan seorang pejabat kecil seperti saya bisa dikatagorikan sebagai pemberi kerja?
Penulis berita berargumen bahwa saya telah melakukan pelanggaran karena memutuskan untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tidak mengikuti ketentuan melalui Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.
Selain argumentasinya bias, penulis nampak kurang jeli atau tidak mengetahui bahwa Perpres tersebut sebenarnya sudah dicabut dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018.