Sebenarnya saya tidak ingin berpolemik terlalu jauh dengan berbagai ketentuan perundang-undangan yang dijadikan dasar argumentasi oleh penulis berita. Bagi saya sudah jelas bahwa saya tidak ada dalam posisi pemberi kerja, sehingga tuduhan melanggar UU ketenagakerjaan saya anggap mengada-ada.
Meskipun saya seorang yang awam tentang hukum, bolehlah sedikit berargumen tentang tuduhan lain bahwa saya melanggar ketentuan PP No 49 Tahun 2018. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya pribadi tidak pernah merekrut tenaga kerja dalam bentuk apapun karena saya bukan pengusaha ataupun kepala Instansi Pemerintah.
Memang pasal 96 PP 49/2018 telah menyatakan secara tegas bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (“PPK”) dan pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan Aparatur Sipil Negara (“ASN”).
Lantas apa yang dimaksud dengan Jabatan Aparatur Sipil Negara? Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang dimaksud dengan Jabatan ASN adalah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional. Sedangkan jabatan seperti tukang sapu/petugas kebersihan, pramusaji, pramubhakti dan sejenisnya adalah bukan jabatan ASN.Sehingga atas dasar kebutuhan organisasi boleh mempekerjakan tenaga tidak tetap.
Barangkali ada yang bertanya, kok berani beraninya menyebut media abal-abal? Saya berani mendefinisikan seperti itu tentu ada rujukannya. Dalam salah satu diskusi bertajuk “Memberantas Jurnalis Abal-Abal” tanggal 11 Februari 2019 Media Indonesia merilis bahwa perusahaan media di Indonesia diperkirakan mencapai 47.000 media, dan hampir 79% merupakan media abal-abal, dengan berita yang tidak dapat dipetanggung jawabkan. Atau, membuat berita yang berasal dari perusahaan media lain.
Ketua Dewan Pers, Yosep adi Prasetyo, mengatakan media abal-abal lebih banyak daripada media yang legal, sehingga masyarakat sering disajikan dengan berita yang tidak benar. Saat ini, di Indonesia total jumlah media diperkirakan mencapai 47.000 media. Di antara jumlah tersebut, 43.300 media adalah online. Sekitar 2.000-3.000 diantaranya berupa media cetak. Menurut Yosep, media abal-abal hanya ada di Indonesia saja sedangkan di negara lain tidak terdapat media abal-abal. Di Malaysia, Timor-Leste, Filipina atau Negara-Negara ASEAN tidak terdapat media yang tidak terdaftar atau tidak legal, semua media legal. Hal tersebut diketahui setelah Dewan Pers Indonesia bekerjasama dengan media-media di Negara-Negara ASEAN tersebut.
Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/216289/dari-47-ribu-media-hampir-80-abal-abal
Dalam klasifikasi Yosep, setidaknya ada tujuh ciri-ciri media abal-abal dan tujuh ciri wartawan abal-abal. Kata dia, media abal-abal memiliki ciri tidak berbadan hukum perusahaan pers, alamat redaksi tidak jelas, tidak mencantumkan nama penanggungjawab dalam boks redaksi serta terbit temporer. Ciri lainnya, isi cenderung melanggar kode etik dan bahasa yang digunakan tidak memenuhi standar baku dan nama media terkesan menakutkan
Regulasi mengharuskan semua media tersverifikasi oleh Dewan Pers. Ada dua jenis verifikasi, yakni administrasi dan faktual. Media profesional adalah yang telah memenuhi unsur keduanya. Peraturan Dewan Pers No: 03/PERATURAN-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers dengan gamblang memerinci persyaratan sebuah perusahaan pers. (https://fajar.co.id/2020/02/14/media-abal-abal-gerogoti-apbd-ini-peringatan-dewan-pers/)
Sementara, ciri wartawan abal-abal, yaitu berpenampilan sok jago dan tidak tahu etika, mengaku anggota organisasi wartawan tapi tidak jelas, alias di luar PWI, AJI dan IJTI, pakai atribut aneh dan pertanyaan yang diajukan hanya tendensius.
Sumber : https://pelitariau.com/berita/detail/2972/dewan-pers:-ini-ciri-media-dan-wartawan-abal-abal.html