Mohon tunggu...
Moh. Toriqul Chaer
Moh. Toriqul Chaer Mohon Tunggu... lainnya -

Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang berbeda. (Dale Carnegie)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Another Version Change Require Purpose -Always

17 Februari 2012   06:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:32 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Another Version

Change Require Purpose

-Always

Menjadi mahasiswa adalah bagaimana menjadi pribadi yang penuh vitalitas, energik dengan semangat pantang menyerah. Itulah mengapa RI 1, Ir. Sukarno pernah menantang dunia hanya dengan syarat modal hanya 10 orang pemuda saja. Dalam kajian tafsir hermeneutik, kata “pemuda” adalah kata yang mengandung makna semangat, vitalitas, visioner dan progresif yang sejatinya menjadi karakter khas para pemuda atau yang mengaku berjiwa muda, penulis pernah menjumpai organisasi kepemudaan pada salah satu ormas terbesar di Indonesia, selidik punya selidik teryata kebanyakan usia anggotanya berkisar 35-45 tahun, bahkan ada beberapa yang sudah lewat kepala 5 !

****

Aktifitas kehidupan yang dijalani mahasiswa –seharusnya- menjadi rangkaian mozaik kehidupan yang dirintis agar hidup dan kehidupan diri penuh arti dan kaya makna. Persoalannya adalah jika ada mahasiswa yang terjebak, terbelenggu oleh pemikiran pragmatis, egosentris, anti-kritik dan eksklusif, wah...wah... kalau begini kejadiannya, mending kelaut aja deh !...

Memang tidak enak menjadi mahasiswa, jika paradigma berpikir direkonstruksi secara otomasi hanya untuk datang, duduk, absen, chit-chat terus pulang, begitu roda kehidupan yang dijalaninya, secara terus-menerus seakan tiada akhir. Berani jamin, kekuatan “langkah kaki” mahasiswa yang berpikir apatis-naif seperti tersebut diatas tidak akan selaju mahasiswa yang didadanya penuh semangat perubahan, education must road to liberate culture bro !, eh ! ngomong-ngomong tema sentral SEMA dan DEMA “kita” katanya menuju perubahan yang progresif lho?..

Memang jika dilihat dari pola rutinitas yang absurd, kuliah memang seringkali menjemukan, apalagi jika proses pembelajaran di kelas malah berdampak pada penurunan kecerdasan yang kita miliki, begitu ujar seorang teman sambil bercanda, he... he..... Itu baru sisi dari pembelajaran, apalagi jika dihadirkan analisa realitas sosial yang terkadang menyesakkan dada, masih ada stratifikasi sosial di masyarakat kampus “kita” seperti tesis dari Geertz (1980) yang membagi masyarakat Jawa atas priyayi, santri dan abangan (saat ini tesis dari Geertz banyak menuai kritik, dikarenakan keunikan yang khas pada masyarakat Jawa maka analisa yang dihadirkan tidak serta merta absolut).

Bedanya adalah,  sekarang strata sosial-mahasiswa yang kita lihat sekarang adalah pembagiannya menjadi beberapa varian; yaitu kelompok popculture-materialistik-eksklusif-, tradisionalis-konservatif-progresif dan kelompok minderwaardiigheidcomplex. Lebih ironis lagi jika status mahasiswa; sebagai insan akademik yang seharusnya menghargai perbedaan, malah justru istiqomah pada claim of truth bahwa kelompoknya yang paling benar, waduh ?!? kalau sudah begini jadinya justru akan semakin mengukuhkan label kita sebagai bangsa yang hobi balas dendam; dendam karena terlalu lama dijajah, setelah merdeka, syahwat ingin menjajah menggebu-gebu walau harus menjajah istri,suami, adik kakak, doi, rekan, kerabat bahkan dosennya sendiri.

Yang lebih mengenaskan lagi adalah hilangnya semangat “perubahan” pada diri mahasiswa, tidak mau hijrah dari masa kegelapan, gelap gulita, remang-remang ke masa terang benderang, “terang terus, terus terang !”. Memang jika melihat dinamika dunia kampus, maka kita akan banyak sekali menemukan warna-warni kehidupan, terkadang disalut romantisme hingga kita enggan melupakannya, tapi juga terkadang menjadi alasan utama kita untuk meninggalkan dunia fana ini, dunia terasa sempit, kejam dan tak berperikemanusiaan, ya iyalah... tak berperikeduniaan kalee.... dan yang perlu kita ingat perasaan itu terjadi karena kita menfokuskan kacamata perasaan kita dengan “kaca pembesar tragedi”.

Change is only possible when we do it with clear purpose. Masalah proses pembelajaran yang menjemukan, budaya firqoh- firqoh, memori nostalgik yang melambungkan angan-angan dan memori tragedi yang memilukan, yang menguras habis air mata kita seharusnya memberikan alasan kepada kita bahwa hidup itu dinamis. Dalam hidup manusia pasti ada senang, ada sedih, ada tawa ada tangis, ada kaya ada kanker he...he... kantong kering dab !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun