Mohon tunggu...
MUMUH NURMATIN ABDUL HAKIM
MUMUH NURMATIN ABDUL HAKIM Mohon Tunggu... Human Resources - Analis Keimigrasian Ahli Pertama Pada Kemeterian Hukum dan HAM Republik Indonesia

Memiliki background di bidang Human Resources dan Public Relation

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pernikahan Campuran antara WNI dan WNA serta Konsekuensi Hukumnya

23 Desember 2021   09:51 Diperbarui: 23 Desember 2021   10:09 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia dan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ajaran agama yang dianutnya.

Menurut pandangan hukum Perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di era globalisasi yang semakin terbuka dan seolah tanpa mengenal batas geografis sesorang menjadi lebih bebas dan terbuka termasuk dalam hal memilih pasangan hidup. Sudah sangat banyak Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing atau yang di kenal dengan perkawinan Campur.

Sebelum memutuskan untuk melakukan pernikahan campur sebaiknya kita memahami terlebih dahulu Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda warga negara.  Terkait Perkawinan campur Pemerintah Indonesia telah mengatur prosedurnya dalam beberapa pasal di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut aturan perubahan serta pelaksanaanya.

Perkawinan campur menurut Pasal 57 UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa:

"Yang dimaksud dengan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraandan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia."

 

Untuk perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang dengan memperlihatkan terlebih dahulu surat keterangan sebagaimana dimaksud di atas. (Pasal 61 ayat 1 -- 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Jika calon pengantin masih berusia di bawah 21 tahun maka untuk melangsungkan perkawinan campuran ini harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.

Akan tetapi apabila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup saja. Tapi jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali atau orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

Namun jika terdapat perbedaan pendapat atau ada pihak yang tidak setuju dengan pernikahan tersebut maka diperlukan izin pernikahan berdasarkan keputusan pengadilan.

Perlu diperhatikan berdasarkan Undang -- undang sebelum seseorang melaksanakan perkawinan harus melakukan beberapa prosedur diantaranya pemberitahuan, penelitian dan pengumuman.

Pemberitahuan kepada Instansi terkait

"Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan wajib memberitahukan niatnya secara tertulis atau lisan kepada pejabat pencatat perkawinan setempat, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan." (Pasal 3 ayat (1) dan (2), dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

"Untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan pada Kantor Urusan Agama." (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan).

"Sedangkan oleh mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan pada Kantor Catatan Sipil." (Pasal 2 ayat 2/PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan).

Penelitian

"Pegawai pencatat perkawinan yang menerima pemberitahuan tersebut, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang." (Pasal 6 ayat 1 / PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan).

"Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan dan atau belum dipenuhinya persyaratan, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya." (Pasal 7 ayat 2 / PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan).

Pengumuman

"Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, kemudian dilakukan pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman ini dilakukan dengan menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum." (Pasal 8 / PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan).

 

"Pengumuman tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan atas perkawinan yang akan berlangsung, apabila bertentangan dengan hukum agama yang bersangkutan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku." (Penjelasan Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan).


Pelaksanaan perkawinan

"Setelah hari kesepuluh sejak adanya pengumuman, maka perkawinan baru dapat dilaksanakan. Perkawinan dilangsungkan menurut tata cara yang ditentukan dalam agama dan kepercayaan para pihak yang melangsungkan perkawinan dan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan dan 2 orang saksi." (Pasal 10 ayat 1-3 / PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan).

"Setelah perkawinan selesai dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan, begitu pula dengan pegawai pencatat perkawinan, 2 orang saksi yang hadir, dan wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan ini, perkawinan telah tercatat secara resmi." (Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan).

Perkawinan campur memiliki banyak resiko diantaranya Kehilangan Kewarganegaraan bagi perempuan Indonesia yang menikah dengan Laki -- laki Warga Negara Asing seperti yang dinyatakan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia:

"Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut."

Akan tetapi jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia, maka dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

Persoalan lain yang akan timbul adalah status kewarganegaraan bagi anak hasil pernikahan campuran tadi dimana hal ini biasanya yang menjadi dilema bagai beberapa pasangan pernikahan campuran.

Dalam Pasal 6 Undang - Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dijelaskan bahwa anak dari perkawinan campuran akan memiliki kewarganegaraan ganda. Status tersebut hanya berlaku sampai dengan umur anak 18 tahun. Setelah anak berusia 18 tahun atau sudah menikah, anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraan, sebagai WNI atau WNA.

Demikian sekilas mengenai beberapa persyaratan dan ketentuan tentang Perkawinan campuran antara WNI dan WNA. Intinya sebelum memutuskan untuk melaksanakan perkawinan campuan harus benar -- benar matang secara mental maupun finansial karena pernikahan tersebut lumayan rumit dan memerlukan effort lebih disbanding pernikahan antar Warga Negara Indonesia karena melibatkan banyak Undang -- Undang dari kedua belah negara.

Referensi:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun