*Hembusan Angin Cemara Tujuh 43*
Yangtinya menceritakan, Yangkungnya sengaja tidak ingin berbicara.
Keinginan itu bermula ketika Yangkung terlalu sering melihat, mendengar pidato pidato searah  dari para pejabat, petinggi pemerintah yang membuat Yangkung merasa lelah.
Pidato pidato itu, menurut Yangkung, hanya penghamburan waktu dan Energi bagi mereka yang berpidato, maupun mereka mereka yg mendengarkan. Busa busa kata kata itu begitu mengusik nalarnya.
Daya kritisnya bereaksi, dan mulai membandingkan sesorah sesorah, wacana wacana dan kenyataan riil yang dilihat dan dirasakannya selama ini.
Setelah melalui permenungannya, Yangkung menyimpulkan, sejatinya para pemimpin itu seyogyanya harus lebih banyak mendengarkan dan berbuat daripada berkata kata dan berwacana. Itu akan jauh lebih bermanfaat bagi orang banyak, bagi rakyat kecil.
Yangkung punya keinginan kuat untuk membuktikan Hipotesis nya, dengan percobaan dirinya sendiri sebagai pemimpin keluarga besar untuk diam, bahkan ingin melakukan pati swara, berpuasa bicara.
Atas persetujuan Yangtinya, setelah negosiasi sulit dan penjelasan panjang, akhirnya Yangkung mulai melakukan keinginannya untuk melakukan Tapa Swara. Berpuasa wicara, tidak akan berbicara selama tujuh tahun. Yangkungnya ingin menghayati suasana kebatinan orang membisu.
Dia hanya ingin mendengar dan berbuat, ingin mencoba apakah kondisi seperti ini akan dapat membuatnya bertahan, survive, Â lebih bijaksana , serta lebih bermanfaat bagi lingkungannya.
Yangkungnya dapat bertahan, tidak berbicara selama tujuh tahun, bahkan menjadi ketagihan untuk membisu.
Ketika tujuh tahun berlalu, dan saatnya mestinya berbuka wicara, Yangkung minta ijin kepada Yangti, satu satunya orang yang mengetahui laku itu, untuk memperpanjang masa bertapa bisu untuk tujuh tahun berikutnya. Yangtinya hanya diam, tidak mengijinkan atau menolak permintaan itu, tapi merasa sedih. Yangtinya mencoba mencari jawaban, kenapa Yangkungnya menemukan kenikmatan dengan menyiksa diri, menyelaki kodratnya untuk berbicara.