Cerpenbung
Hembusan Angin Cemara Tujuh 13
II.3 Dilematis
Senja kala menjelang Maghrib, Sutopo sampai dan turun di Stasiun tujuan. Kereta Kuda Putih dua gerbong warna perak itu melaju kembali ke utara, menempuh perjalanan akhir hari itu.
Sutopo naik becak desa yang bertempat duduk lebar, becak dikayuh ke Timur memunggungi Gunung Merapi yang tegak jauh di Barat sana, Sutopo puldes, pulang ke desanya.
Pulang ke rumah, tempat kelahirannya, bertemu bapak ibunya selalu memberi nuansa tak terperikan. Senang, tentram namun juga biasa saja. Tidak ada ekspresi berlebihan setiap perjumpaan seperti itu. Hening adalah terminologi yang tepat dan bisa digambarkan dari Pertemuan Sutopo dengan orang tuanya, walaupun setelah lama tidak berjumpa .
Hening tenang seperti permukaan air telaga, tenang namun di kedalamannya terkandung dan kaya dengan makna tak terucap dan tak berbatas.
Sutopo mandi dari air kolah ( bak mandi ) yang dinginnya mak nyass dan selanjutnya makan malam dengan lauk yang teramat komplit . Sutopo heran dari mana asalnya, tiba tiba saja di meja makan kayu jati kusam yang entah telah berumur berapa itu, telah terhampar dengan formasi perang Dirada Mekta yang megah .
Dibawah temaram lampu minyak, susunan nasi putih panas yang masih menguarkan kepul kepul asap, dikelilingi dengan takjim welut goreng, karak, tahu tempe, gereh tepung dan tentu saja dilengkapi jangan loncom ( sayur bening ) yang melela seperti telaga Sarangan, kimplah kimplah. Namun segera Sutopo berhenti heran, setelah ingat tetangganya banyak yang berjualan lauk pauk siap saji di setiap sore hari. Pasti ibunya bergerak cepat tanpa suara, ....bim salabim dan segala macam lauk kareman itu tiba tiba telah tersedia cemepak lengkap diatas meja.
Itulah sajian sempurna makan malam ala desa yang enaknya melebihi jamuan di restoran restoran mahal Jakarta, paling tidak itu yang dirasakan Sutopo.
Usai makan malam bersama bapak ibunya, Sutopo pamit mau sowan eyangnya, yang rumahnya tidak jauh dari rumah orang tuanya.