Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Rahasia Amplop Lebaran

2 Mei 2020   13:20 Diperbarui: 2 Mei 2020   13:22 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bapak mengangguk-angguk dan tampak senang. "Lah, ini sarung siapa?"

Dengan sedikit gugup aku menjelaskan, "Hmmm, Dwipa be-beli sarung itu buat Pakde Kamil. Di-dia bingung mau sedekah apa." Penjelasan kedua ini mengandung kebohongan.

Dwipa memang ingin membelikan Pakde Kamil sarung baru. Sarung lelaki tua penjaga langgar itu sudah lusuh. Namun, uang adikku hilang ketika kami ke pasar. Mungkin terjatuh, mungkin juga kecopetan. Aku mengiyakan permintaannya agar merahasiakan kejadian tersebut dari Bapak Emak. Dia--lebih tepatnya kami--takut dimarahi. Termasuk tidak mengatakan bahwa sebenarnya uangkulah yang dipakai untuk membeli sarung. Uang Dwipa tidak bersisa lagi, telanjur habis untuk jajan dan membeli mainan.

Banyak peristiwa yang kemudian menjadi kenangan indah, lucu, juga sedih. Terutama tentang uang dari amplop lebaran itu. Aku tidak mampu mengingatnya satu per satu. Entah dengan Dwipa dan Trias.

Waktu berlalu dan tradisi bagi-bagi amplop lebaran tetap Bapak lakukan. Tidak lupa disertai dua permintaan; bersedekah dan mendoakan mereka. Padahal tanpa begitu pun, kami selalu berdoa yang terbaik untuk orang tua.

"Sudah jadi kebiasaan. Toh, ini bukan tradisi yang batil." Begitu alasan Bapak, saat kami beranjak dewasa dan menampik amplopnya. "Tenang aja. Bapak juga ndak memaksakan diri, kok. Alhamdulillah, uangnya selalu ada," tegasnya lagi dengan senyum bungah semringah. "Terimalah!"  

Memang benar, rezeki Bapak Emak mengalir lancar. Kadang bagai mata air pegunungan di musim kemarau. Kecil, tetapi terus mengucur. Namun, kerap pula bak air terjun Grojogan Sewu di Gunung Lawu. Deras melimpah. Bahkan saat aku sudah bekerja pun, Bapak masih memberiku uang lebaran.  

"Terima ya, Nduk. Buatlah bapakmu ini bangga dan bahagia!" pintanya serius.

Aku menerima dengan penuh rasa haru. Lantas, uang itu kupakai untuk membelikan Emak cincin emas, atau menghadiahi Trias baju-baju baru, aneka cokelat dan boneka.

Sampai semua anak menikah, tradisi itu tetap berlanjut. Hanya di awal-awal saja, aku memastikan uang yang kami dapat besarnya sama. Setelah itu, aku tak pernah bertanya berapa rupiah yang adik-adik terima. Begitu pun sebaliknya. Percaya saja pada asas keadilan yang didengung-dengungkan orang tua kami.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun