Mohon tunggu...
Erwin Mulialim
Erwin Mulialim Mohon Tunggu... wiraswasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Interests in Computer Technology, System Analyst & Networking

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Ogoh-Ogoh” antara “Seni” dan “Agama”

13 Februari 2016   11:06 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:39 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="“Ogoh-Ogoh” sebagai “Kreativitas Seni”"][/caption]

 

[caption caption="“Ogoh-Ogoh” sebagai “Ritualitas Agama”"]

[/caption]

 

Sejarah Ritualitas Keagamaan, “Ogoh-Ogoh”

Penamaan Ogoh-Ogoh diambil sebuah kata dalam Bahasa Bali “Ogah-Ogah” yang artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Memang pada kenyataannya ketika Ogoh-Ogoh diarak keliling suatu wilayah tertentu biasanya para pengarak akan mengoyang-goyangkan Ogoh-Ogoh mereka sehingga terlihat bergerak-gerak atau seperti sedang menari. Selain itu, pose Ogoh-Ogoh yang beragam juga menyebabkan antara Ogoh-Ogoh satu dengan yang lainnya akan memiliki gerakan yang berbeda jika digoyangkan. Bahkan kini dengan semakin majunya teknologi, Ogoh-Ogoh banyak yang bisa digerakkan dengan bantuan mesin atau alat lainnya………

Nah, untuk mengetahui isi selengkapnya dari pokok bahasan ini, maka marilah Para Pembaca KOMPASIANA yang Budiman sekalian dengan ini PENULIS mengajak kiranya dapat meluangkan waktunya guna mengunjungi dan mengikuti kelanjutan Pembahasan-nya pada Pranala/Link berikut ini : " http://goo.gl/8xJpSl " …… 。

 

[caption caption="“Ogoh-Ogoh” sebagai “Ritualitas Agama”"]

[/caption]

 

Jalannya Rangkaian Upacara Ritualitas Keagamaan, “Ogoh-Ogoh”

Dalam rangkaian upacara ritualitas keagamaan tersebut, dimulai semenjak Sandi Kawon (pada sore hari menjelang malam hari) dilanjutkan dengan acara “Magegobog” atau di daerah Jembrana biasanya disebut dengan “Mebuwu-Buwu”, yaitu mengelilingi pekarangan rumah sambil membawa Api Perakpak (api yang berasal dari dibakarnya daun kelapa kering), obor, bunyi-bunyian, menyemburkan nyala api dan memercikkan tirta, sebagai simbol “Somio” (yang bermakna menetralisir/mengembalikan kepada sumbernya) kekuatan-kekuatan yang bersifat keburukan/kejahatan. Setelah kegiatan Magegobog tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan berjalan keluar dari pekarangan membawa perangkat tadi menuju ke jalan utama di Desa atau di Kota masing-masing, untuk kemudian bergabung dengan para tetangga, yang tadinya juga sudah melakukan kegiatan ritual yang sama seperti ritual tersebut di atas. Dan tanpa adanya komando, pada umumnya acara Magegobog tersebut akan dilanjutkan dengan cara berjalan kaki mengikuti arak-arakan yang mengusung semacam patung, dan menyusuri jalan utama, di mana akan terbentuk menyerupai Pawai Obor………

Nah, untuk mengetahui isi selengkapnya dari pokok bahasan ini, maka marilah Para Pembaca KOMPASIANA yang Budiman sekalian dengan ini PENULIS mengajak kiranya dapat meluangkan waktunya guna mengunjungi dan mengikuti kelanjutan Pembahasan-nya pada Pranala/Link berikut ini : " http://goo.gl/8xJpSl " …… 。

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun