Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Akan Sekolah, Orangtua Cuci Otak Dulu

24 Juni 2020   13:36 Diperbarui: 24 Juni 2020   13:34 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pening. Sebentar lagi si sulung akan masuk sekolah. Bukan, saya bukan pening perihal peralatan sekolahnya. Semua Alhamdulillah siap. Begitupun soal administrasi sekolah. Yang bikin pening, gadis kecil lima tahun ini sedikit perfeksionis.

Kira-kira demikian hasil pengamatan kami selama lima tahun berturut-turut menjadi orang tuanya. Si Uni, demikian kami menyapanya, adalah tipe anak penakluk. Sifat ini, bersatu pada rasa ingin tahu yang besar, mewujud sosok semua-harus-sempurna dalam dirinya.

Contohnya sederhana. Uni gemar sekali belajar membaca. Semua buku belajar habis dilahapnya. Apa yang tidak tahu ia tanyakan. Tiba-tiba ia ingin pula belajar mengaji. Oke, dilayani.

Kusut kening nya membedakan cara membaca huruf “sa”, “tsa”, “sya”. Ia ngotot ingin tahu. Aih, Ibu sabar sekali mengajarnya. Namun, kegagalan menguasai  ternyata menimbulkan kegusaran dalam dirinya. Tanduknya mulai tumbuh.

“Ah, Uni dak bisa!”

Lalu kabur. Dengan mulut manyun, ambil posisi di sudut kamar. Kalau sudah begitu, tak mempan dibujuk. Biarkan saja dulu.


Sumpah, kami sama sekali tak memaksa Uni harus bisa. Tak juga ngoyo diajari membaca. Toh, masih belum genap lima tahun.

Ajaib, beberapa hari kemudian ia sudah mampu melafalkan dengan benar. Bikin kami bingung, koq bisa? hahaha…

Ini bukan kejadian pertama dan satu-satunya. Kisah yang sama sering berulang. Ia belajar, mentok, marah karena mentok, merajuk, belajar lagi.

Ini positif. Semangat ingin bisa itu bagus. sekaligus buat saya pening. Bagaimana nanti ia di sekolah?

Siapkah ia beradaptasi dengan sekolah yang meminta penguasaan banyak sekali mata pelajaran?

Siapkah ia menghadapi persepsi lingkungan bahwa keberhasilan sekolah diukur dari rangking-rangking? Dari nilai-nilai? Bagaimana reaksinya nanti bila tak juara?

Gawat ini, harus cuci otak dulu!

***

Saya kira, banyak sekali orang tua yang berpikiran sama. Kekhawatiran-kekhawatiran mengiringi langkah anak masuk sekolah. Perlahan, kekhawatiran berubah menjadi harapan. Harapan menjadi tuntutan. Ketika tak kesampaian, meletuslah ia menjadi perkara.

Kesempurnaan seolah menjadi kata ajaib mewakili sosok anak yang pintar. Anak yang berhasil. Keberhasilan masa sekolah di Negara ini diukur oleh angka-angka.

Ranking, nilai, sistem evaluasi, pada akhirnya membentuk persepsi masyarakat bahwa kepintaran memang diukur dari angka-angka. Diukur dari keberhasilan dalam ujian.

Di Indonesia ini, mau tahu kepintaran seseorang itu mudah. Lihat saja raportnya. Baguskah? Masuk lima besar kah? Ooh, pintarnya, tak pernah absen dari podium kelas. Tak pernah dapat rangking? Langganan angka merah? Ooh, bodohnya, tak pernah belajar kah? Mesti kerjanya bolos terus.

Persepsi ini menular. Diamini dan menjadi kesepakatan bersama. Menginfeksi pikiran para orang tua, guru,dan siswa. Melahirkan tuntutan ekstra pada siswa. Pada akhirnya kepintaran dan keberhasilan sekolah diukur dari satu aspek belaka.

 

Cuci Otak, Demi Anak

Meskipun telah banyak ahli yang menyerukan kemajemukan kecerdasan, nilai bukanlah ukuran, borok pendidikan di Indonesia, namun tetap menyisakan kekhawatiran. Pandangan-pandangan progresif ini seolah menjadi konsumsi kaum akademis semata.

ilustrasi orang tua. sumber : jateng.tribunnews.com
ilustrasi orang tua. sumber : jateng.tribunnews.com
Tak mengena pada kebanyakan orang tua. Mungkinkah metode penyebaran pemikiran-pemikiran seperti ini kurang tepat sehingga tak merata?

Ada satu sekolah alam yang unik di Banjar Negara, maaf saya lupa nama sekolahnya. Ketika seleksi penerimaan siswa baru, yang diseleksi ketat adalah orang tuanya. Bukan anak.

Orang tua diwawancarai. Sesuaikah visi orang tua dengan visi sekolah? Apakah orang tua menerima konsep yang ada di sekolah? Jika tidak, maka anaknya tak diterima. Bisa dipahami, karena sekolah punya konsep bahwa pendidikan harus melibatkan orang tua. Bukan tanggungjawab sekolah semata.

Ini menarik. Pihak sekolah mencoba mengedukasi masyarakat dengan “menjual” ide pendidikan progresif dan menjadikannya sebagai salah satu syarat masuk.

Masyarakat akan terpancing untuk mencari tahu, mempelajari, dan akhirnya mengadopsi visi sekolah. Menjalankan peran sebagai orang tua pendidik, membimbing anak pada penemuan kecerdasannya masing-masing.

Tipe sekolah seperti ini saya kira perlu diperbanyak. Mengedukasi, mendorong orang tua untuk mengubah sudut pandang tentang sekolah. Mengubah perspektif terhadap keberhasilan anak di sekolah.

Menjadi orang tua yang merdeka, tak ambil pusing soal persepsi “anak rangking=anak pintar”. Tak pening saat anaknya biasa-biasa saja dalam prestasi akademik.

Tentu orang tua yang merdeka akan mampu membentuk kemerdekaan berpikir pada anaknya pula. Terbebas dari tuntutan-tuntutan nilai bagus. Yang penting anak nyaman sekolah!

Seperti tak ada satupun daun yang jatuh tanpa sepengatahuan Dia, maka tak ada anak yang lahir tanpa membawa fitrahnya masing-masing. Fitrah disini dapat dimaknai sebagai bakat, kecerdasan.

Pertanyaan terbesarnya adalah : siapkah orang tua belajar, mencuci otak, untuk menjadi penuntun pada pengembangan bakat anaknya? Jika ya, maka berarti siap pada cobaan-cobaan dalam perjalanan pengembangan bakat itu.

Cobaan itu kadang dalam datang dalam bentuk komentar orang sekitar.

“Lho mbak, anaknya koq tidak pernah dapat rangking? Padahal kan belajarnya bareng terus sama anak saya”,

“Wah, anak saya umur segini sudah bisa ngomong inggris, lho”, atau

“Coba lihat anaknya si anu, sudah bisa ini itu”.

Jika orang tua terpancing dengan komentar tersebut, yang muncul kemudian adalah perbandingan-perbandingan. Memandang sebelah mata, seolah anak sendiri tak punya kelebihan, pecundang. Akhirnya berujung pada sikap yang selalu menyalahkan anak.

Yang menjadi korban adalah anak. Akan tumbuh rasa minder, ketidakpercayaan diri. Bahkan bisa jadi menjadi kekesalan dalam diri si anak, menumpuk bertahun-tahun hingga suatu saat perasaan itu meletus.

Menghancurkan hubungan orang tua-anak. Menghancurkan masa depan. Salah siapa?

***

anak sekolah yang ceria. sumber : pixabay.com
anak sekolah yang ceria. sumber : pixabay.com
Memerdekakan perspektif tentang makna cerdas, orang tua akan lebih bisa menghargai pencapaian anak. Tak lagi menggantungkan standar kepandaian hanya pada nilai raport.

Marilah mencuci otak. mencerahkan sudut pandang tentang makna sekolah. Agar dapat pula kita mengajak anak menghargai pencapaiannya. Agar ia tak galau dengan tuntutan-tuntutan, buah perspektif masyarakat.

Agar tak semata, sekolah jadi tempat nitip anak!

Curup

24.06.2020

Muksal Mina Putra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun