Setelah beberapa saat pintu pagar rumahnya ku ketuk terlihat dari sela-sela jendela lampu menyala lalu pintu rumah dibuka. "Ada apa Andi jam segini kamu datang?", Pak Haji Ikhsan sudah seperti keluarga dengan ayah, mereka setiap hari bertemu, pergi ke masjid bersama, sesekali makan dirumah bahkan aku suka ikut serta saat mereka sedang berdiskusi seru, jadi bagiku beliau bukan orang lain lagi.
Akupun langsung memeluknya sambil menangis "Pak Haji, bapak sudah tidak ada". Spontan pak Haji Ikhsan berucap "Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, kapan meninggalnya". Masih terisak aku menjawab singkat "Tadi jam 01.30". Pak Haji ikhsan melepaskan pelukannya sambil memegang pundak ku "Ini sudah takdir Allah, kita harus terima, sekarang kamu pulang kerumah, rapihkan ruang tamu, untuk mempersiapkan kedatangan jenazah pak Haji Mursyid, tidak perlu kasih tahu orang-orang sekarang, nanti saja menjelang subuh kamu datangi rumah RT lalu sampaikan ke marbot mushola untuk mengumumkan wafatnya Bapak ya".
Suara pak Haji Ikhsan yang tenang cukup membantu meredakan kepanikanku. Setelah berpamitan aku pun bergegas kembali kerumah. Setibanya dirumah kulihat istriku sedang menggendong si bungsu yang saat itu masih berusia dua tahun dengan wajah cemas, sedangkan si sulung masih tertidur pulas.
"Bapak bagaimana mas?" pertanyaan pertama yang di sampaikan padaku membuat hati ini kembali bergejolak seperti air mendidih yang panasnya membuat tutup panci lompat dari tempatnya. Dengan suara yang dibuat setenang mungkin akupun berujar "Bapak sudah tidak ada dek". Tangis istriku pun pecah, sekarang giliranku yang berusaha menenangkannya "Sudah, sekarang kita lakukan yang perlu dipersiapkan untuk mengurus jenazah Bapak ya, ia pun mengangguk sambil berjalan ke kamar untuk menidurkan si bungsu yang terlihat sudah lelap.
Waktu berjalan terasa begitu lambat, menunggu pukul 04.30 yang hanya berjarak satu setengah jam terasa satu hari. Saat terdengar suara marbot Musholla yang mengingatkan warga beberapa saat lagi masuk waktu sholat subuh akupun bergegas ke rumah RT kemudian ke Musholla untuk minta menyampaikan berita wafatnya Bapak.
Matahari mulai menyingsing, cahayanya menyemburat membuat langit yang pagi itu cerah tanpa awan semakin terlihat jelas warna birunya. Namun tidak dengan kami sekeluarga, hati ini terasa mendung diselimuti awan duka yang tidak mampu ditutup-tutupi. Tetangga mulai berdatangan selepas pengumuman yang terdengar dari speaker musholla menyampaian tentang wafatnya Bapak.
"Jam berapa jenazah datang?" tanya seorang tetangga padaku. Aku menjawab singkat "kurang lebih jam 07.30 pak". Tanpa di tanya tetangga ini pun berkata "Biasa itu Ndi, urus administrasi dan lain-lain yang makan waktu, kata orang-orang ruang paling menyeramkan di rumah sakit itu bukan kamar mayat tapi ruang administrasi", entah orang ini berusaha menghiburku atau hendak membuat suasana agak cair, tetapi tetap saja waktunya kurang tepat. Melihat wajahku yang berubah dan mata yang mulai melotot tetangga ini spontan berucap "Maaf, maaf, saya cuma keingetan waktu neneknya kucing tetangganya kucing saya di kuret karena keguguran, sudah hubungi petugas pemakaman?".
Mendengar pertanyaannya aku baru tersadar belum menghubungi petugas pemakaman untuk menyiapkan liang lahat Bapak. Segera aku bergegas mengambil motor butut yang ada di garasi lalu menuju area pemakaman yang juga tidak jauh dari rumah.
"Assalamualaikum pak Omo, pak Omo" aku mengucap salam dan memanggil penunggu makam ini beberapa kali karena terlihat pintu rumahnya masih terkunci. Tidak berapa lama orang yang ku panggil pak Omo itu keluar dari rumahnya, dengan hanya mengenakan sarung dan kaos kutang lusuh serta rambut masih acak-acakan ia bertanya "Siapa yang meninggal?". Terkejut aku bertanya "Kok pak Omo tahu ada yang meninggal?". Sambil menyeringai (sumpah bapak ini mukanya dingin banget kayak mayat hidup) ia pun menjawab "Gak ada orang yang datang jam segini kecuali ada kerabatnya yang meninggal, belum pernah tuh datang cuma nganter makanan". Aku cuma bisa melongo mendengar jawabannya.
Melihat aku yang melongo pak Omo mengambil secarik kertas kemudian menyerahkan "Tulis nama lengkapnya, tanggal lahir dan tanggal meninggalnya". Sambil menunggu aku menulis, penjaga makam ini kembali bertanya "Jadi siapa yang meninggal?" aku segera menyahut "Pak Mursyid bapak saya", tersentak setengah berteriak ia berkata "Inna Lillah, kenapa tidak bilang dari tadi, kapan meninggalnya?" ku jawab cepat "tadi malam pak jam 01.30". Sigap pak Omo menarik tanganku "Ini ada tempat kosong persis disebelah makam kakek nenek mu nanti pak Haji Mursyid dimakamkan disini saja, jadi enak kalau mau ziarah tidak perlu jauh-jauh". Aku pun mengangguk "Sudah sana segera pulang urus persiapan memandikan dan lain-lain, urusan makam serahkan ke Bapak, jam berapa mau dikubur?" aku menjawab "Insyaa Allah jam 10.00 pak, Andi pamit ya pak, terima kasih bantuannya".
Motor butut yang setia menemani kami sekeluarga untuk jalan disekitaran rumah ku nyalakan untuk kembali  pulang. Dalam perjalanan yang hanya 5 menit dari pemakaman menuju rumah itu tetiba kenangan bersama Bapak menerobos pikiran tak terbendung. Lintasan jalan ini adalah tempat Bapak mengajak ku waktu kecil menikmati sekitaran rumah yang saat itu masih asri dan penuh dengan pepohonan buah seperti jambu dan mangga.