Mohon tunggu...
Mujahidin Farid
Mujahidin Farid Mohon Tunggu... Universitas Negeri Surabaya

Menulis pakai keyboard

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Apakah Grup WhatsApp Membuat Kita Lebih Produktif?

22 Mei 2025   15:39 Diperbarui: 22 Mei 2025   15:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://claroblog.com.ni/

Di era digital, manusia percaya bahwa teknologi hadir untuk membuat hidup lebih mudah dan pekerjaan lebih efisien. WhatsApp, misalnya, kini menjadi alat komunikasi utama di dunia kerja. Namun pertanyaannya: apakah benar grup WhatsApp membuat kita lebih produktif?
Faktanya, hampir setiap kegiatan kini punya grup sendiri; dari koordinasi acara, panitia, rapat, hingga diskusi tugas harian. Dalam sehari, seseorang bisa tergabung di belasan grup aktif. Notifikasi tak berhenti, diskusi bercampur dengan bercanda, dan keputusan sering kali digantung dengan kalimat "lanjutkan di WA ya." Apakah ini benar-benar membantu, atau justru menambah beban kerja yang tidak terlihat?

Grup yang Semakin Banyak, Waktu yang Terasa Sedikit

Banyak orang kini merasa hidupnya seperti dikepung notifikasi (Kompas; 2025). Belum selesai menjawab satu grup, sudah masuk pesan dari grup lain. Sering kali isinya hanya ucapan "noted", "oke", atau emoji jempol yang biasanya juga ditambah emoji senyum. Tapi tetap saja, kita merasa perlu dan harus membaca semuanya.
Semakin banyak grup, semakin banyak energi yang terpecah. Fokus terganggu. Waktu istirahat ikut hilang. Kita jadi merasa terus bekerja, padahal secara fisik sedang di rumah.

Rapat Sudah Usai, Tapi Diskusi Tak Pernah Selesai

Kita juga kerap mendengar kalimat: "Nanti dilanjut di WA ya." Ini terdengar praktis, tapi justru jadi pintu masuk komunikasi tanpa ujung. Hal-hal yang sudah disepakati bisa berubah karena ada usulan baru di tengah malam. Yang tidak sempat baca chat dianggap tidak mengikuti perkembangan. Akhirnya, kita pun merasa bersalah jika tidak selalu online.
Filosof Byung-Chul Han dalam bukunya The Burnout Society menyebut masyarakat modern hidup dalam tekanan untuk selalu aktif. Tidak ada ruang untuk kesunyian, tidak ada batas yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Semua ini menciptakan kelelahan yang tidak kelihatan, tapi nyata dirasakan.

Diam-Diam Tertekan: Selalu Harus Merespons

Di banyak lingkungan kerja, diam di grup juga bisa dianggap pasif. Tidak ikut menyumbang ide bisa dikira tidak peduli. Padahal, bisa saja seseorang sedang ingin istirahat, atau hanya merasa sudah cukup dengan keputusan yang ada.
Masalahnya, tidak semua orang merasa bebas atau nyaman untuk sekedar diam. Banyak juga dari anggota grup yang akhirnya ikut nimbrung. Bukan karena ingin, tapi karena takut dianggap tidak aktif. Inilah yang disebut Han sebagai bentuk auto-eksploitasi, saat seseorang menekan dirinya sendiri agar terus produktif, bahkan tanpa disuruh.

Haruskah Grup WhatsApp Dihapus? Tentu Tidak, Tapi...

Tentu saja, grup WhatsApp tidak sepenuhnya buruk. Dalam banyak kasus, ia sangat membantu koordinasi dan mempercepat penyebaran informasi. Namun, seperti alat lain, ia butuh batas dan pengaturan. Beberapa perusahaan atau institusi mulai menetapkan jam aktif komunikasi digital, misalnya hanya sampai pukul 17.00, untuk menjaga keseimbangan kerja dan hidup pribadi. Seseorang juga perlu membiasakan diri untuk  mulai membedakan mana grup yang benar-benar produktif dan mana yang sekadar tempat basa-basi. Terakhir, keputusan-keputusan penting sebaiknya tetap dituntaskan dalam forum tatap muka atau rapat resmi, bukan terus-menerus direvisi lewat chat.

Grup WA bukan biang kerok segalanya. Tapi jika dibiarkan tanpa batas, ia bisa jadi simbol budaya kerja yang terlalu cepat, terlalu bising, dan terlalu banyak hal kecil yang dibesar-besarkan.
Produktivitas yang sehat tak cukup dibangun lewat komunikasi yang lancar, tapi juga lewat ketenangan, fokus, dan ruang untuk berkontemplasi. Kadang, yang dibutuhkan bukan lebih banyak grup, tapi lebih banyak jeda, agar seseorang bisa kembali pada hal paling penting: menjadi manusia yang utuh.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun