Mohon tunggu...
Muing
Muing Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pembantaian

10 April 2019   08:37 Diperbarui: 10 April 2019   09:17 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen

Pembantaian

(Muing)

 

Siang itu di sebuah padepokan ternama di Kota Makassar,  berkumpullah para pendekar jagoan dari berbagai perguruan yang ada di Sulawesi, ada dari Manado, Palu, Gorontalo, dan para jagoan dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Mereka Bercengkramalah mereka sambil memperlihatkan kehebatan masing-masing. 

Ada yang memamerkan bentuk tubuh yang atletis mirip dengan seorang alumni akmil, ada yang membanggakan parasnya yang tampan, mirip dengan artis Bollywwod, dan ada pula yang mendapatkan guyonan dari para jagoan karena bodinya mirip dengan pejabat tinggi dengan dengan kepala botak dan perut yang menonjol. 


Kehebatan lain yang terlihat dan jarang dimiliki para pendekar yang lain adalah kemampuan mereka berdebat satu sama lain dan mereka mampu menghibur satu dengan lain. Pokoknya, melihat mereka seperti  berada di tengah-tengah acara reuni alumni sebuah perguruan tinggi.

Di hari ketiga, mereka sudah mulai jenuh dengan suasana padepokan. Tempat berlatih kurang familier, air untuk mandi selalu macet apalagi makanan yang itu-itu saja. Inal, salah satu peserta yang paling tersiksa. Ia tidak terbiasa dengan suasana di padepokan itu, ya bisa dimklumi, karena selama ini Inal selalu dimanjakan oleh suasana padepokan tempat asalnya yang serba wah...wah...

Siang itu, sesi latihan sudah berakhir. Inal dan para pendekar lain  berkumpul di sebuah ruang makan yang luas untuk menunggu hidangan dari pelayan padepokan. Inal tiba-tiba berdiri di hadapan para pendekar yang lain sambil mengutarakan semua keluahannya selama berada di padepokan ini. Ya, apa itu cuaca yang tidak menentulah, fasilitas kurang mendukung, dan yang paling banyak disoroti, ... yah masalah makanan.

 "Kalau begini...ni setiap hari, bisa-bisa bodi atletis ini bisa berubah bodi krempeng kayak pengemis jalanan" tutur Inal sambil melirik ke arah Heri dan Heri pun seakan-akan mengiyakan dengan ekspresi senyumnya yang khas "kau ini".  Pokoknya, siang itu Inal menumpahkan semua keluhannya. Ia bercerita di hadapan para pendekar bak seorang nara sumber pada sebuah seminar. Dengan penuh percaya diri dan sesekali diiringi canda tawa, ia mengupas semua permasalahan dari berbagai aspek.

Mereka tertawa bersama. Mereka, para pendekar jagoan itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri dan sesekali mengerjai teman mereka sendiri. Dan Heri  tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai sebuah keberhasilan. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap sebuah perjuangan, terhadap rendahnya penghargaan yang didapat, atau terhadap rumitnya kehidupan. Sore itu, saat sesi latihan sore dimulai para pendekar seakan merasa kehilangan sesosok pendekar yang memiliki tawa yang khas, ia adalah Isal. Isal tidak tampak pada sesi latihan itu, ia menghilang tanpa berita.

"Asssalamu alaikum" Isal tiba-tiba muncul di tengah kerumunan para pendekar dengan senyum dan tawanya yang khas. Semua pandangan tertuju padanya dengan penuh tanya.

"Dari mana aja kamu, kok nggak bilang-bilang", serentak suara bergemuru muncul. "Wah, jangan curiga melulu bang, aku hilang untuk kita". "Ayo merapat semua", sambil membisikkan sesuatu.

Ternyata Isal telah menyusun rencana untuk memberikan surprais. "Bagaimana  kalau sebentar kita mencari mangsa?".  'Mangsa....?....?" sahut pendekar lainnya. 'Ya, mangsa, mangsa yang siap dinatai" ujar Ical kemudian.

Pendekar lainpun mulai kebingungan dengan rencana Isal. "oe,... apa kamu tidak gila Sal,...kok pakai pembantaian segala" Heri pun semakin kebingungan. "Pokoknya ikut saja nanti, dijamin aman". Isal pun semakin meyakinkan.

Dengan diliputi tanda tanya, Heri pun mengiyakan ajakan Isal. Mereka berkumpul pada pukul 7.00 di tempat yang telah ditentukan. Sebuah mobil Toyota Rush warna biru datang menghampiri mereka. "Ayo, ayo, kita berangkat sekarang". Berangkat mereka menuju lokasi yang telah ditentukan melewati ruas jalan Petta Rani menembus kemacetan lalu lintas.

Di perjalanan tepatnya di depan Mall Ratu Indah, tiba-tiba telefon genggam Isal tiba-tiba berdering.

"Halo bang, apa bisa saya eksekusi sekarang?

Suara terdengar nyaring dari balasan algojo yang siap menjalankan tugas.

"Oh, ya... boleh bang, eksekusi sekarang aja, bentar setelah sampai langsung kami habisi semua.

Heri pun semakin penasaran dan semakin diliputi tanda tanya.

"Kau semakin gila aja Sal, masa semudah itu menyuruh algojo mengeksekusi begitu saja?'

"Tenang Her,... pokonya aman dan menyengkan".

"Wah, ... tambah gila kau Sala.

Tiba-tiba mobil yang ditumpangi mereka berhenti di tengah keramaian di Pantai Losari.

"Ayo, turun...kita udah sampai".

"Di sini ya Sal, apa tidak salah, kok seramai ini dianggap aman".

"Ya, amanlah,... ayo turun".

Begitu turun dari mobil Isal menghampiri algojo yang telah dibayar sebelumnya,

"Bagaimana bang? Udah beres?"

"Udah Bang, pokoknya beres, yang paling besar saya potong-potong dan ada di dalam panci, yang kekar itu sudah saya belah dua dan ususnya saya buang"

Mendengar percakapan itu Heri yang dulunya terkenal dengan keberaniannya, kini tak bernyali, benar-benar tak bernyali. Pikirannya mulai ngelantur ke mana-mana.

Selangkah kemudian pemilik warung makan di Pantai Losari menghampiri Isal dan Heri lalu mempersilakan masuk ke ruang khusus yang telah disiapkan.

"Ayo bang, ini pesanan Abang tadi, sore. Yang dicincang itu ada di wadah itu sambil menunjuk tiga mangkuk sayur yang besar. Yang dibelah dan ususnya di buang masih di bakar di luar sana"

"Benar-benar eksekusi yang sempurna", bisik Isal pada Heri.

"Sal, kau benar-benar gila, jantung ini hampir copot. Seumur hidupku, baru kali merasakan ketegangan tingkat tinggi dan benar-benar menguji nyali, itu yang kau maksud dengan pembantaian, Sal...Sal..."

Pembantaian pun berlanjut penuh gembira di antara mereka, dan kini korban tinggal tulang-tulang yang berserakan di atas meja makan.

Kini Heri pun mengerti siapa Isal sebenarnya, ternyata Isal itu seorang guru bahasa yang hebat, yang mampu membius orang lain dengan gaya bahasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun