*Agar satu konteks, sebelum membaca tulisan ini ada baiknya pembaca juga membaca tulisan pada http://www.unpad.ac.id/2014/10/perubahan-toga-dan-prosesi-wisuda-unpad/
*Segala yang saya akhiri dengan (unpad.ac.id) dikutip dari tautan di atas. [caption id="" align="aligncenter" width="298" caption="Kampus Unpad Dipatiukur| Sumber: Google Images"][/caption]
There is no such thing as a free lunch. Tidak ada makan siang gratis. Itulah kiranya pemikiran Universitas Padjadjaran sehubungan dengan wisuda dan pembagian toga. Berbeda dari prosesi wisuda sebelum-sebelumnya, Unpad sekarang tidak memberikan toga secara cuma-cuma . Setiap mahasiswa yang akan mengikuti wisuda harus membayar Rp750.000 untuk dapat membawa pulang seragam toganya sebagai kenang-kenangan. Lebih buruknya, untuk sekedar memakainya di hari bersejarah mereka, di hari pembuktian kepada orang tua dan orang terkasih bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan studinya, mereka harus menyetor uang jaminan Rp500.000 kepada bank yang ditunjuk Unpad.
Dari pemahaman saya atas berita yang saya baca (yang tautannya ada di atas), setidaknya ada dua alasan yang saya rasa menjadi latar belakang kebijakan ini. Alasan pertama mengapa Unpad sekarang memberlakukan sistem penjualan dan penyewaan adalah karena adanya perubahan design (dan kualitas?) seragam toga. Seragam toga sebelumnya didonimasi warna kuning dan hitam. Namun, untuk prosesi wisuda November nanti, seragam toga untuk jenjang S-1 akan didominasi oleh warna merah dan hitam. Selain perubahan warna dominan, seragam toga juga akan dihiasi oleh motif batik Sunda untuk mencirikan bahwa Unpad itu nyunda banget.
Unpad beralasan bahwa “perubahan tersebut tecermin sebagai momentum Dies Natalis ke-57 Unpad serta berubahnya status Unpad menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).” (unpad.ac.id). Mungkin, Unpad beranggapan bahwa ulang tahun plus perubahan status baru sekiranya akan lebih bagus jika dirayakan dengan menggunakan “baju” baru. Padahal, kata Dea Ananda dalam salah satu lagunya, make yang lama juga gak apa-apa, yang penting puasanya gak kalah. Selain itu, Unpad juga beranggapan bahwa “pembaruan ini diharapkan melahirkan semangat baru untuk meningkatkan prestasi Unpad selanjutnya.” (unpad.ac.id). Membacanya membuat saya heran: apa coba hubungannya antara kostum dengan kelahiran semangat baru untuk meningkatkan prestasi (terutama dalam hal akademik)? Entahlah. Maafkan atas ketidakpahaman saya ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="275" caption="Toga Lama Unpad"]

Perubahan warna dominan dari hitam ke merah sepertinya tidak terlalu menjadi hal yang memberatkan sehingga sampai mengubah statusnya dari barang cuma-cuma yang diberikan pada setiap mahasiswa yang terdaftar mengikuti prosesi wisuda menjadi barang berbayar. Hanya perubahan warna saja. Nah, apakah alasan dari mengapa mahasiswa apabila ingin memilikinya harus membayar Rp750.000 atau Rp500.000 bagi mahasiswa yang ingin (dan mau tidak mau) menyewanya (meskipun memang nanti uangnya akan dikembalikan apabila seragam toganya dikembalikan) adalah karena motif batik Sundanya. Jadi, mungkin penambahan motif batik Sunda inilah yang membuat toga tidak seperti dulu, menjadi berbayar. Ya, harga kain batik memang segituan (saya tidak mau menyebutnya mahal). Jadi, apakah gara-gara ditambah motif batik toga jadi berbayar?
[caption id="" align="aligncenter" width="368" caption="Toga Baru Unpad| Sumber: Google Images"]

Mungkin iya mungkin juga tidak. Atau jangan-jangan karena “toga baru ini memiliki kualitas terbaik” sehingga berbayar? Sebaik apakah kualitasnya? Apakah seragam toga yang sebelumnya kualitasnya kurang baik? Bagi saya, dari apa yang saya lihat dan sentuh, toga yang sebelumnya kualitasnya layak, tuh. Saya rasa, mahasiswa (atau minimalnya saya, lah), lebih memilih toga dengan kualitas layak tapi “gratis” ketimbang toga dengan kulitas terbaik tapi berbayar. Toh toga tersebut juga tidak akan dipakai sering-sering. Paling juga dipakai ketika sesi wisuda dan foto-foto. Toga lebih akan dijadikan sebuah kenang-kenangan saja, jadi gak harus yang kualitas terbaik. Asal layak seperti apa yang saya jabarkan di atas saja saya rasa cukup.
Alasan kedua adalah karena Unpad beranggapan bahwa “Toga itu inventaris negara yang dipinjamkan.” (unpad.ac.id) Inventaris Negara berarti barang kepunyaan Negara yang harus dicatat dan sewaktu-waktu (dalam keadaan tertentu) harus diputihkan untuk dikembalikan lagi ke Negara. “Kalau misalnya ada pemeriksaan jumlah toga yang ada dan hilangnya berapa, kita ada catatannya. Apakah alasan hilangnya itu dibeli atau dipinjam tidak dikembalikan kita ada catatannya.” (unpad.ac.id). Yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin Unpad bisa membagikan toga secara cuma-cuma kepada mahasiswa pada Gelombang wisuda yang sebelumnya. Apakah dulu tidak ada penertiban inventaris Negara sehingga Unpad leluasa melakukan itu? Dulu bisa, sekarang kenapa tidak? Apakah ini adalah efek dari berubahnya status hukum Unpad? Masa sih?
Terlepas dari pertanyaan di atas, dari pernyataan di situs Unpad tersebut, bisa dikatakan bahwa sebenarnya Unpad tidak berniat jualan toga. Jadi, toga yang dibayar sebesar Rp750.000 oleh mahasiswa itu akan Unpad gunakan dananya untuk mengganti toga yang dianggap hilang tersebut kepada Negara karena memang inventaris Negara haruslah dipertanggungjawabkan penggunaannya. Lalu, muncul lagi pertanyaan: Mengapa nominal Rp750.000-lah yang ditetapkan? Akan lebih menarik jika kita sedikit main hitung-hitungan.
“Sebanyak 3.500 toga baru telah dibuat oleh Unpad. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.500 toga siap digunakan untuk prosesi wisuda kali ini.” (unpad.ac.id). Dari pernyataan tersebut, saya mengambil perumpamaan bahwa setiap Gelombang Wisuda membutuhkan sekitar 2500 sampai 3500 toga, menyesuaikan jumlah mahasiswa calon. Satu tahun ada 4 Gelombang Wisuda, taruhlah tiap 1 Gelombang Wisuda Unpad mewisuda 2.500 mahasiswa, berarti dalam satu tahun Unpad akan mewisuda 10.000 mahasiswa. Nominal pengadaan Toga Untuk Wisuda Tahun Anggaran 2013 menurut LPSE Jawa Barat yang Unpad ajukan adalah Rp673.266.825,00 (https://lpse.jabarprov.go.id/eproc/lelang/view/17037014, dikunjungi 28/10/2014). Dalam satu tahun Unpad mewisuda mahasiswanya, Unpad membutuhkan 10.000 toga. Berarti harga satuan toga adalah Rp673.266.825/10.000= Rp67.326,- untuk satu toga. Selain toga, Unpad juga membutuhkan medali yang ternyata pelelangannya itu dibuat secara terpisah dengan pelelangan toga. Pada 2013, nilai pelelangan Medali yang ditawarkan Unpad adalah sebesar Rp735.347.900 (https://lpse.jabarprov.go.id/eproc/lelang/view/16940014,dikunjungi 28/10/2014). Jadi, sama seperti toga berarti hitung-hitungannya adalah Rp735.347.900/10.000= Rp73.534,- untuk satu Medali. Apabila ditotal berarti untuk satu set toga ditambah atribut membutuhkan biaya Rp67.326 + Rp73.534 = Rp140.860.
[caption id="" align="aligncenter" width="259" caption="Toga, Medali, dan Map Unpad| Sumber: Google Images"][/caption]
Hitung-hitungan di atas adalah asumsi saya atas hitung-hitungan biaya toga + medali untuk wisuda tahun lalu. Untuk pengadaan toga untuk wisuda tahun 2014 ada sedikit keanehan. Pengadaannya tidak dilelang di akhir Tahun Anggaran sebelumnya (tahun 2013, biasanya akhir tahun: November atau Desember) melainkan di bulan Agustus tahun 2014 (https://lpse.jabarprov.go.id/eproc/lelang/tahap/24842014, dikunjungi 28/10/2014). Jadi, dari mana toga dan medali untuk prosesi Wisuda Gelombang II, III dan IV (di LPSE Jabar tidak ada datanya pelelangannya)? Apakah Unpad masih mempunyai stock toga dari sisa Gelombang Wisuda yang sebelum-sebelumnya sehingga dirasa tidak perlu untuk mengadakan pelelangan toga? Kita tidak tahu. Apabila pengadaan toga tahun 2014 pelelangannya baru dilakukan bulan Agustus 2014, artinya pelelangan tersebut untuk prosesi Wisuda Gelombang 1 pada November 2014. Nilai pengadaannya itu Rp900.000.000,00 (https://lpse.jabarprov.go.id/eproc/lelang/view/24842014, dikunjungi 28/10/2014). Bilangan pembaginya menurut saya adalah 3500, sesuai pernyataan yang dimuat Unpad bahwa “sebanyak 3.500 toga baru telah dibuat oleh Unpad.” (unpad.ac.id) Apabila memakai bilangan pembagi 3.500, maka harga satuan toganya adalah Rp900.000.000/3.500= Rp257.142,-.
Rp257.142 itu kurang lebih satu per tiga dari biaya yang Unpad tetapkan yaitu Rp750.000. Itu memang harga untuk toga saja, belum dengan harga medali. Karena Unpad pada Tahun Anggaran 2014 menurut yang saya lihat di situs web LPSE Jabar tidak mengadakan pengadaan medali, anggap saja harga medalinya itu sama dengan harga tahun lalu yaitu Rp73.534. Jadi, harga toga ditambah medali adalah Rp257.142 + Rp73.534 = Rp330.676, hanya setengah (lebih sedikit) dari Rp750.000. Oh iya, saya belum memasukkan harga Map Unpad, karena di setiap Gelombang Wisuda peserta juga diberi Map Unpad. Tapi, semahal-mahalnya harga sebuah map, masa iya sampai di atas Rp300.000? Tidak, lah.
Adanya selisih nominal yang lumayan besar antara apa yang saya hitung (dan anggap) sebagai biaya produksi dengan biaya yang Unpad tetapkan untuk toga menimbulkan pertanyaan: Apakah hitung-hitungan saya meleset tajam? (jadi, sebenarnya sistem dan mekanisme untuk pengadaan toga tidak seperti apa yang saya sebutkan di atas; lalu seperti apa?) atau memang ini akal-akalan Unpad yang ingin dapat untung? Entahlah, yang jelas Unpad mempunyai hak jawab atas tulisan ini. Namun, ada hal menarik dari tulisan Unpad terkait Perubahan Toga dan Prosesi Wisuda tersebut. Tertulis mekanismenya begini:
1.“Unpad menetapkan toga ini sifatnya dipinjamkan kepada para lulusan dengan terlebih dahulu menitipkan uang jaminan sebesar Rp500.000,00.” 2. “Namun, wisudawan juga diperbolehkan memiliki toga dengan membelinya seharga Rp.750.000,00, berdasarkan penghitungan dari biaya produksi.” 3. “‘Untuk pengembalian toga, kita tetapkan 3 hari setelah wisuda. Pengembaliannya juga dilakukan di Ruang Sidang Pleno. Jika sudah dikembalikan, uang jaminan akan kembali. Namun jika tidak dikembalikan dalam 3 hari, kita anggap wisudawan membeli,’ jelas Dr. Isis.” (unpad.ac.id)
[caption id="" align="aligncenter" width="100" caption="Pak Isis, Kepala Biro Pembelajaran dan Kemahasiswaan Unpad| Sumber: unpad.ac.id"]

Dari kutipan tersebut saya bisa menyimpulkan bahwa: 1. Jika mahasiswa calon wisudawan mau membeli toga, harganya Rp750.000. 2. Jika dirasa menyewa saja cukup, silakan saja dengan catatan harus memberikan uang jaminan sebesar Rp500.000 yang akan dikembalikan ketika toga sudah dikembalikan. 3. Jika toga tidak dikembalikan, maka wisudawan dianggap membeli toga tersebut, dan uang Rp500.000-nya hangus. Sudah terlihat belum anehnya? Ya! Sebenarnya harga toganya itu Rp750.000 atau Rp500.000? Dengan Rp750.000 wisudawan dapat membawa pulang toga, dengan Rp500.000 juga wisudawan dapat membawa pulang toga (tidak usah dikembalikan). Kok bisa pakai logika semacam itu?
Dari apa yang saya jabarkan di atas, apakah bisa kita tarik kesimpulan bahwa sebenarnya dengan Rp500.000 pun Unpad tidak rugi terkait toga ini? Menurut saya sih bisa, apalagi jika nominal tersebut dibandingkan dengan hitung-hitungan saya di atas; ya malahan Unpad bisa untung. Tapi, apakah betul begitu? Ya silakan, Unpad punya hak jawab, Unpad klarifikasi saja.
Rp750.000 atau Rp500.000 bagi sebagian kalangan mahasiswa bukanlah nominal yang kecil untuk dikeluarkan. Okelah Unpad tidak mewajibkan mahasiswa calon wisudawan untuk membeli toga, tapi ya tetap saja kan mau tidak mau mahasiswa calon wisudawan harus mendapatkan uang untuk membayar jaminan peminjaman toga tersebut. Jika semua mahasiswa mampu sih mungkin tidak masalah, bagaimana jika ada mahasiswa yang tidak mampu, yang selama kuliahnya saja mereka setengah mati mencari dana atau beasiswa? Tidak sampai hatilah kita menyusahkan mereka (yang saya rasa walaupun uang jaminannya nanti dikembalikan tetap saja awalnya mereka harus mencari uang jaminan itu).
Jika memang benar apa yang dikatakan Kabiro Pembelajaran dan Kemahasiswaan bahwa “prinsip kita (Unpad, pen) adalah kejujuran. Kita yakin kepada mereka yang sudah memliki gelar,” (unpad.ac.id) kenapa harus memakai uang jaminan segala? Kenapa tidak dirasa cukup dengan si mahasiswa calon wisudawan menandatangani surat pernyataan bahwa akan mengembalikan toganya? Atau malah calon wisudawan tidak usah disuruh melakukan apapun terkait hal ini; kan katanya prinsipnya adalah kejujuran. Atau bisa juga Unpad memberi sanksi tidak akan mengeluarkan ijazah kepada wisudawan yang tidak mengembalikan toga tersebut. Saya rasa itu akan jauh lebih efektif daripada harus menyuruh mahasiswa calon wisudawan menyetor sejumlah uang jaminan. Toh siapa juga yang mau tidak dapat ijazah hanya karena tidak mengembalikan toga?
Lalu, pun apabila Unpad tetep bersikeras masih ingin “menjual” toga, janganlah harganya segitu mahal sampai Rp750.000. Mahasiswa (atau minimalnya saya, lah) juga sudah cukup senang kok dengan kualitas Toga yang sebelum-sebelumnya, tidak perlu yang berkualitas bagus sehingga harganya juga jadi melonjak tinggi. Ya sukur-sukur bisa tidak usah membayar untuk toga tersebut. Pun ketika harus membayar, ya itu tadi, jangan terlalu mahal. Mungkin bisa disamakan dengan biaya Wisuda awal tahun 2012, sekitar Rp350.000, karena ya hitung-hitungannya tidak jauh dari harga itu. Bukan berniat tawar menawar harga, tapi ya seyogianya logika yang dipakai adalah logika “sesuai kebutuhan dan pas”, bukan logika ala tukang dagang yang “mengambil untung sebesar-besarnya” karena ini adalah institusi pendidikan, bukan perdagangan. Toga dengan kualitas layak seperti yang sebelum-sebelumnyapun tetap akan membanggakan dan membahagiakan, kok,karena memang secara fisik pun sudah bagus, terlebih pada hari itu (wisuda) wisudawan mengenakannya didampingi keluarga tercinta.
Saya harap dengan tulisan ini Unpad dapat melakukan evaluasi dan perbaikan terkait persoalan toga dan wisuda ini. Belum terlambat, Pak Ganjar. Masih ada wisuda gelombang ke II sebelum masa jabatan Bapak sebagai Rektor habis (April 2015, ya?). Semoga prosesi Wisuda Gelombang I dan Wisuda Gelombang II dapat berjalan baik sehingga Bapak dapat turun dari jabatan sebagai Rektor dengan dikenang sebagai Rektor yang profesional dan baik hati, atau ibaratnya mah bisa khusnul khatimah. Saya juga berharap semoga tidak ada yang salah paham kepada saya terkait tulisan saya ini. Saya hanya bermaksud mengkritik secara terbuka, hanya bermaksud mengingatkan, bukan bermaksud menjatuhkan. Tapi, saya mohon maaf apabila ada pihak yang tidak berkenan dengan tulisan saya ini.
Last but not least, saya ingin mengucapkan selamat kepada akang-teteh yang akan diwisuda pada November mendatang. Selamat lulus dari Universitas Padjadjaran, dan selamat menempuh studi lagi di Universitas Kehidupan. Iwish you all the verybest.
Penulis:
Muhamad Ridwan, @MuhRidwanD
Mahasiswa Sastra Inggris,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
NPM: 180410100148
Status: Masih mengerjakan skripsi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI