Demo di Indonesia sudah lama menjadi salah satu jalan perjuangan rakyat, terutama mahasiswa. Sejarah mencatat, perubahan besar bangsa ini tak lepas dari suara lantang mereka di jalanan. Namun, ada yang mengusik belakangan ini fenomena "demo tapi fomo".
Seakan-akan, demonstrasi hari ini baru dianggap berhasil kalau sudah ricuh. Entahkah itu bakar ban, lempar batu, bahkan sampai kantor-kantor pejabat pun jadi sasaran. Padahal, tujuan awal demo adalah menyuarakan aspirasi, bukan unjuk anarkisme.
Ironisnya lagi, sebagian mahasiswa ikut demo bukan lagi karena paham isu, tapi karena takut ketinggalan momen. Fomo jadi alasan utama. Yang penting hadir, foto, bikin konten, baru upload. Sementara substansi tuntutan? Kadang bahkan tak tahu apa yang diperjuangkan.
Kesan seperti inilah yang dikhawatirkan dan berbahaya. Publik akhirnya melihat mahasiswa bukan sebagai agen perubahan, tapi sebagai biang keributan. Setiap kali ada aksi, orang sudah was-was: Nanti bakar apa lagi? Padahal, tidak semua peserta demo punya niat merusak. Namun, ulah segelintir membuat citra tercoreng.
Dari tulisan di atas tadi, ada pertanyaan yang patut kita renungkan bersama: apakah demo harus selalu berujung rusuh agar didengar? Ataukah sebenarnya kita sedang kehilangan seni berdialektika, sehingga merasa jalan tercepat hanya lewat aksi anarkis?
Jika demo hanya jadi ajang Fomo, maka idealisme mahasiswa akan tergerus oleh ego eksistensi. Bukan perubahan yang lahir, melainkan stigma buruk yang semakin kuat. Saatnya mahasiswa kembali pada marwahnya, menyuarakan kebenaran dengan intelektual, bukan dengan kobaran api.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI