Mohon tunggu...
MUHAMMAD AL HADAD
MUHAMMAD AL HADAD Mohon Tunggu... MAHASISWA

MANUSIA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Moralitas dalam Demokrasi Liberal: Telaah kritis Perfektif Filsafat Immanuel Kant dan John stuart Mill

21 Juli 2025   16:08 Diperbarui: 21 Juli 2025   16:08 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Abstrak: Artikel ini membahas persoalan moral dalam demokrasi liberal melalui pendekatan filsafat moral, khususnya dari perspektif Immanuel Kant dan John Stuart Mill. Demokrasi liberal, yang mengedepankan kebebasan individu dan kehendak mayoritas, sering kali dihadapkan pada dilema moral ketika prinsip-prinsip etika berbenturan dengan kepentingan publik atau prosedur formal demokratis. Kant, dengan prinsip deontologisnya, menegaskan bahwa tindakan moral harus berlandaskan kewajiban dan prinsip universal yang berlaku tanpa syarat. Sementara itu, Mill menilai tindakan moral dari konsekuensinya, yaitu sebesar apa manfaat dan kebahagiaan yang dapat dihasilkan bagi masyarakat luas. Melalui studi pustaka dan analisis filosofis, tulisan ini mengeksplorasi bagaimana kedua pandangan etika ini memaknai prinsip-prinsip seperti kebebasan, keadilan, dan hak individu dalam sistem demokrasi. Artikel ini juga menelaah apakah demokrasi liberal secara substansial mampu menampung nilai-nilai moral yang mendalam, atau justru terjebak dalam relativisme etika dan tirani mayoritas. Temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa demokrasi membutuhkan fondasi moral yang kuat agar tidak kehilangan orientasi etiknya, dan bahwa pemikiran Kant serta Mill dapat dijadikan kerangka kritis untuk menilai arah moral dari kebijakan dan praktik demokratis kontemporer. Dengan demikian, tulisan ini berkontribusi dalam memperkaya wacana etika politik dalam konteks demokrasi liberal masa kini.

Kata-kata Kunci: moralitas, demokrasi liberal, Immanuel Kant, John Stuart Mill, etika politik

PENDAHULUAN

Demokrasi liberal merupakan sistem pemerintahan yang mengutamakan prinsip kedaulatan rakyat, kebebasan individu, dan supremasi hukum. Dianggap sebagai pencapaian tertinggi peradaban politik modern, demokrasi liberal menjanjikan keadilan, partisipasi, serta perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara. Namun demikian, dalam praktiknya, demokrasi liberal sering kali menyisakan problem etis, terutama ketika prinsip mayoritarianisme bertentangan dengan nilai-nilai moral universal atau ketika kebebasan individu disalahgunakan demi kepentingan kelompok tertentu (Suseno 2001, 87). Demokrasi dapat berubah menjadi alat tirani mayoritas, ketika keputusan politik hanya berpijak pada kuantitas suara tanpa mempertimbangkan kualitas moralnya.

Di sinilah pentingnya meninjau demokrasi dari perspektif filsafat moral. Etika politik bukan sekadar tambahan normatif terhadap sistem demokrasi, melainkan fondasi penting yang menopang keabsahan sistem tersebut secara moral. Dua pendekatan moral yang relevan dalam konteks ini adalah deontologi Immanuel Kant dan utilitarianisme John Stuart Mill. Kant menekankan pentingnya bertindak berdasarkan prinsip moral yang dapat digeneralisasi secara universal tanpa kontradiksi logis, terlepas dari akibat yang ditimbulkan (Hardiman 2014, 122). Sebaliknya, Mill menilai moralitas berdasarkan hasil atau konsekuensi dari suatu tindakan, yakni sejauh mana tindakan itu mampu menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang (Magnis-Suseno 1987, 63).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: sejauh mana demokrasi liberal dapat dinilai bermoral dalam perspektif kedua filsuf ini? Apakah kehendak mayoritas dalam sistem demokrasi dapat dibenarkan secara etis jika bertentangan dengan prinsip-prinsip moral? Dan bagaimana demokrasi dapat menjamin keadilan substantif di tengah kompetisi politik yang pragmatis?

Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka terhadap karya-karya Kant dan Mill serta interpretasi para filsuf kontemporer. Kajian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa demokrasi tidak cukup hanya prosedural, tetapi membutuhkan orientasi moral yang kokoh. Penelitian ini menjadi penting untuk menggugat anggapan bahwa demokrasi liberal sudah otomatis adil, serta mengajak pada pembacaan kritis terhadap hubungan antara etika dan politik dalam sistem demokrasi modern (Bakry 1992, 45).

PEMBAHASAN

Demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan modern didasarkan pada prinsip kebebasan individu, kesetaraan politik, dan penghormatan terhadap hukum. Namun, di tengah perkembangan globalisasi dan pragmatisme politik, demokrasi kerap mengalami distorsi moral yang mereduksi substansi etika menjadi sekadar prosedur elektoral. Salah satu kritik mendasar yang dapat diajukan adalah bahwa demokrasi liberal, meskipun menjamin kebebasan dan partisipasi politik, sering kali gagal mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang bermoral secara kolektif (Hidayat 2006, 72). Prosedur demokrasi yang mementingkan suara mayoritas dapat menyingkirkan nilai-nilai moral minoritas atau bahkan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan universal.

Dalam konteks ini, pendekatan etika deontologis Immanuel Kant menawarkan landasan filosofis untuk mengevaluasi apakah praktik demokrasi sesuai dengan prinsip moral yang objektif. Kant menekankan bahwa tindakan moral bukanlah yang sekadar menghasilkan akibat baik, melainkan yang didasarkan pada maksud baik dan ketaatan pada kewajiban moral yang rasional. Prinsip imperatif kategoris Kant menyatakan bahwa seseorang harus bertindak menurut asas yang bisa dijadikan hukum universal. Dalam perspektif ini, kebijakan dalam demokrasi hanya bermoral jika dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan berlaku universal, bukan hanya karena didukung mayoritas (Kaelan 2010, 143).

Sebagai contoh, kebijakan diskriminatif terhadap kelompok tertentu---meskipun didukung oleh mayoritas tidak dapat dibenarkan secara moral menurut etika Kant. Hukum moral tidak boleh tunduk pada fluktuasi opini publik atau tekanan politik. Kant menekankan otonomi moral individu yang tidak boleh dikorbankan demi stabilitas politik atau kepentingan mayoritas (Daradjat 2015, 58). Oleh karena itu, sistem demokrasi seharusnya tidak hanya menjamin prosedur pemilihan umum, tetapi juga menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dihasilkan sejalan dengan prinsip moral yang dapat diterima secara universal.

Sementara itu, John Stuart Mill menawarkan pendekatan yang berbeda melalui prinsip utilitarianisme. Bagi Mill, tindakan disebut bermoral jika membawa manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Prinsip ini berakar pada ide kebahagiaan kolektif sebagai tujuan akhir tindakan moral dan kebijakan publik. Dalam konteks demokrasi liberal, Mill mendukung perlindungan terhadap kebebasan individu, terutama dalam hal berpikir, berpendapat, dan bertindak, selama tidak merugikan orang lain (Kleden 1987, 112). Demokrasi yang sehat, menurut Mill, adalah demokrasi yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kesejahteraan umum.

Namun demikian, pendekatan utilitarian juga menghadapi tantangan etis ketika mayoritas mengabaikan hak minoritas demi kepentingan umum. Demokrasi yang hanya menekankan "jumlah kebahagiaan terbanyak" dapat melegitimasi praktik ketidakadilan terhadap pihak yang lemah atau rentan, asalkan hal itu dirasa menguntungkan bagi mayoritas. Dalam hal ini, pemikiran Mill tetap memerlukan koreksi dari perspektif keadilan distributif agar kebahagiaan tidak menjadi dalih untuk menjustifikasi dominasi (Mu'arif 2014, 97).

Kedua pendekatan ini deontologis dan utilitarian memiliki kontribusi penting dalam membingkai moralitas demokrasi. Di satu sisi, Kant memberikan kerangka moral objektif yang tidak tunduk pada dinamika kekuasaan; di sisi lain, Mill menekankan pentingnya hasil atau akibat kebijakan bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, demokrasi membutuhkan keseimbangan antara prinsip moral yang tidak bisa dinegosiasikan dan fleksibilitas terhadap realitas sosial yang terus berubah (Sunarko 2013, 108).

Ketika demokrasi liberal diterapkan dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, problem moral menjadi semakin kompleks. Fenomena politik uang, manipulasi media, polarisasi sosial, dan minimnya pendidikan politik menjadi tantangan tersendiri bagi konsolidasi moral demokrasi. Dalam situasi seperti ini, demokrasi rentan menjadi ritual prosedural tanpa substansi etika. Pemilu diselenggarakan secara rutin, namun tidak selalu menghasilkan kepemimpinan yang bermoral dan berpihak pada keadilan (Syamsuddin 2005, 76).

Etika Kant dapat berperan sebagai pengingat akan pentingnya prinsip moral yang tidak bisa dikompromikan, seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks ini, pemimpin politik dan masyarakat sipil dituntut untuk membangun kebudayaan politik yang menjunjung integritas dan tanggung jawab moral. Sebagaimana dikemukakan Kant, kehendak baik adalah satu-satunya hal yang benar-benar baik tanpa syarat---dan ini harus menjadi standar utama dalam menilai tindakan dan kebijakan publik (Zamroni 1999, 38).

Sementara itu, gagasan Mill mendorong demokrasi untuk terus berpihak pada kesejahteraan rakyat, terutama kelompok miskin dan termarjinalkan. Kritik terhadap demokrasi liberal yang terlalu elitis dan berjarak dari rakyat dapat dijawab dengan pendekatan utilitarian, yaitu menjadikan kebijakan sebagai sarana untuk mengurangi penderitaan sosial dan meningkatkan kualitas hidup warga. Namun, pemikiran Mill juga harus dijaga dari bahaya manipulasi kebahagiaan kolektif sebagai legitimasi untuk praktik kekuasaan yang otoriter atau populis (Lubis 2004, 56).

Dalam kerangka ini, filsafat moral dapat menjadi alat kritis untuk menjaga arah demokrasi agar tidak tersesat menjadi instrumen dominasi atau korupsi kekuasaan. Kant mengingatkan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri dan tidak boleh dijadikan alat, sedangkan Mill mengajak kita untuk mempertimbangkan manfaat sosial dari setiap tindakan politik. Kedua pendekatan ini, bila digabungkan secara dialektis, dapat membentuk kerangka etika demokrasi yang menjunjung hak, kewajiban, dan kesejahteraan secara seimbang (Sastrapratedja 2001, 91).

Oleh karena itu, demokrasi liberal hanya dapat bermakna secara moral jika prinsip-prinsip etik menjadi fondasi utama dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi yang hanya mengejar stabilitas politik atau pertumbuhan ekonomi tanpa orientasi etis akan mudah tergelincir menjadi sistem yang represif dan eksploitatif. Sebaliknya, demokrasi yang berlandaskan moralitas akan lebih mampu membangun keadilan substantif dan solidaritas sosial yang sejati.

KESIMPULAN

Kajian ini menunjukkan bahwa demokrasi liberal, meskipun menjanjikan kebebasan dan kesetaraan, tetap menghadapi persoalan moral yang kompleks. Demokrasi tidak otomatis bermoral hanya karena dijalankan melalui mekanisme prosedural seperti pemilu atau partisipasi publik. Di sinilah pentingnya peran filsafat moral dalam mengkritisi dan membimbing arah etis dari sistem demokratis.

Immanuel Kant, melalui etika deontologisnya, menekankan bahwa tindakan politik yang bermoral harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang dapat dijadikan hukum umum. Kebijakan dalam demokrasi hanya sah secara moral jika sesuai dengan kewajiban rasional yang tidak bergantung pada hasil atau kepentingan mayoritas. Sementara itu, John Stuart Mill dengan pendekatan utilitariannya memberikan penekanan pada pentingnya konsekuensi sosial dari suatu kebijakan, terutama dalam mewujudkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.

Demokrasi liberal yang ideal seharusnya tidak hanya memperhatikan prosedur legal, tetapi juga mempertimbangkan aspek moral secara mendalam. Jika tidak dikawal oleh prinsip etika, demokrasi berpotensi menyimpang menjadi alat tirani mayoritas, dominasi politik, atau kekosongan nilai. Oleh karena itu, pemikiran Kant dan Mill memberikan sumbangan penting dalam menjaga agar demokrasi tetap berakar pada prinsip keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab moral.

Dengan demikian, filsafat moral bukan hanya wacana teoritis, tetapi juga perangkat reflektif untuk mengembangkan demokrasi yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Demokrasi yang bermoral bukan sekadar yang memungkinkan orang memilih, tetapi yang mengarahkan masyarakat pada kehidupan bersama yang lebih baik, adil, dan penuh tanggung jawab etis.

REFERENSI

Bakry, M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Filsafat Politik Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Daradjat, Zakiah. Pendidikan Moral dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2015.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2014.

Hidayat, Komaruddin. Moralitas Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Gramedia, 2006.

Kaelan. Filsafat Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Paradigma, 2010.

Kleden, Ignas. Etika Sosial dan Politik. Jakarta: LP3ES, 1987.

Lubis, Mochtar. Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Mu'arif, Syamsul. Demokrasi dan Moral Publik: Kritik atas Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Sastrapratedja, M. Demokrasi dan Moralitas Politik. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Sunarko, M. B. Filsafat Politik: Antara Etika dan Kekuasaan. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 2001.

Syamsuddin, Haris. Politik dan Etika dalam Demokrasi Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.

Zamroni. Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun