Mohon tunggu...
MUHAMMAD AL HADAD
MUHAMMAD AL HADAD Mohon Tunggu... MAHASISWA

MANUSIA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Moralitas dalam Demokrasi Liberal: Telaah kritis Perfektif Filsafat Immanuel Kant dan John stuart Mill

21 Juli 2025   16:08 Diperbarui: 21 Juli 2025   16:08 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sementara itu, John Stuart Mill menawarkan pendekatan yang berbeda melalui prinsip utilitarianisme. Bagi Mill, tindakan disebut bermoral jika membawa manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Prinsip ini berakar pada ide kebahagiaan kolektif sebagai tujuan akhir tindakan moral dan kebijakan publik. Dalam konteks demokrasi liberal, Mill mendukung perlindungan terhadap kebebasan individu, terutama dalam hal berpikir, berpendapat, dan bertindak, selama tidak merugikan orang lain (Kleden 1987, 112). Demokrasi yang sehat, menurut Mill, adalah demokrasi yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kesejahteraan umum.

Namun demikian, pendekatan utilitarian juga menghadapi tantangan etis ketika mayoritas mengabaikan hak minoritas demi kepentingan umum. Demokrasi yang hanya menekankan "jumlah kebahagiaan terbanyak" dapat melegitimasi praktik ketidakadilan terhadap pihak yang lemah atau rentan, asalkan hal itu dirasa menguntungkan bagi mayoritas. Dalam hal ini, pemikiran Mill tetap memerlukan koreksi dari perspektif keadilan distributif agar kebahagiaan tidak menjadi dalih untuk menjustifikasi dominasi (Mu'arif 2014, 97).

Kedua pendekatan ini deontologis dan utilitarian memiliki kontribusi penting dalam membingkai moralitas demokrasi. Di satu sisi, Kant memberikan kerangka moral objektif yang tidak tunduk pada dinamika kekuasaan; di sisi lain, Mill menekankan pentingnya hasil atau akibat kebijakan bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, demokrasi membutuhkan keseimbangan antara prinsip moral yang tidak bisa dinegosiasikan dan fleksibilitas terhadap realitas sosial yang terus berubah (Sunarko 2013, 108).

Ketika demokrasi liberal diterapkan dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, problem moral menjadi semakin kompleks. Fenomena politik uang, manipulasi media, polarisasi sosial, dan minimnya pendidikan politik menjadi tantangan tersendiri bagi konsolidasi moral demokrasi. Dalam situasi seperti ini, demokrasi rentan menjadi ritual prosedural tanpa substansi etika. Pemilu diselenggarakan secara rutin, namun tidak selalu menghasilkan kepemimpinan yang bermoral dan berpihak pada keadilan (Syamsuddin 2005, 76).

Etika Kant dapat berperan sebagai pengingat akan pentingnya prinsip moral yang tidak bisa dikompromikan, seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks ini, pemimpin politik dan masyarakat sipil dituntut untuk membangun kebudayaan politik yang menjunjung integritas dan tanggung jawab moral. Sebagaimana dikemukakan Kant, kehendak baik adalah satu-satunya hal yang benar-benar baik tanpa syarat---dan ini harus menjadi standar utama dalam menilai tindakan dan kebijakan publik (Zamroni 1999, 38).

Sementara itu, gagasan Mill mendorong demokrasi untuk terus berpihak pada kesejahteraan rakyat, terutama kelompok miskin dan termarjinalkan. Kritik terhadap demokrasi liberal yang terlalu elitis dan berjarak dari rakyat dapat dijawab dengan pendekatan utilitarian, yaitu menjadikan kebijakan sebagai sarana untuk mengurangi penderitaan sosial dan meningkatkan kualitas hidup warga. Namun, pemikiran Mill juga harus dijaga dari bahaya manipulasi kebahagiaan kolektif sebagai legitimasi untuk praktik kekuasaan yang otoriter atau populis (Lubis 2004, 56).

Dalam kerangka ini, filsafat moral dapat menjadi alat kritis untuk menjaga arah demokrasi agar tidak tersesat menjadi instrumen dominasi atau korupsi kekuasaan. Kant mengingatkan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri dan tidak boleh dijadikan alat, sedangkan Mill mengajak kita untuk mempertimbangkan manfaat sosial dari setiap tindakan politik. Kedua pendekatan ini, bila digabungkan secara dialektis, dapat membentuk kerangka etika demokrasi yang menjunjung hak, kewajiban, dan kesejahteraan secara seimbang (Sastrapratedja 2001, 91).

Oleh karena itu, demokrasi liberal hanya dapat bermakna secara moral jika prinsip-prinsip etik menjadi fondasi utama dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi yang hanya mengejar stabilitas politik atau pertumbuhan ekonomi tanpa orientasi etis akan mudah tergelincir menjadi sistem yang represif dan eksploitatif. Sebaliknya, demokrasi yang berlandaskan moralitas akan lebih mampu membangun keadilan substantif dan solidaritas sosial yang sejati.

KESIMPULAN

Kajian ini menunjukkan bahwa demokrasi liberal, meskipun menjanjikan kebebasan dan kesetaraan, tetap menghadapi persoalan moral yang kompleks. Demokrasi tidak otomatis bermoral hanya karena dijalankan melalui mekanisme prosedural seperti pemilu atau partisipasi publik. Di sinilah pentingnya peran filsafat moral dalam mengkritisi dan membimbing arah etis dari sistem demokratis.

Immanuel Kant, melalui etika deontologisnya, menekankan bahwa tindakan politik yang bermoral harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang dapat dijadikan hukum umum. Kebijakan dalam demokrasi hanya sah secara moral jika sesuai dengan kewajiban rasional yang tidak bergantung pada hasil atau kepentingan mayoritas. Sementara itu, John Stuart Mill dengan pendekatan utilitariannya memberikan penekanan pada pentingnya konsekuensi sosial dari suatu kebijakan, terutama dalam mewujudkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun