Abstrak: Artikel ini membahas persoalan moral dalam demokrasi liberal melalui pendekatan filsafat moral, khususnya dari perspektif Immanuel Kant dan John Stuart Mill. Demokrasi liberal, yang mengedepankan kebebasan individu dan kehendak mayoritas, sering kali dihadapkan pada dilema moral ketika prinsip-prinsip etika berbenturan dengan kepentingan publik atau prosedur formal demokratis. Kant, dengan prinsip deontologisnya, menegaskan bahwa tindakan moral harus berlandaskan kewajiban dan prinsip universal yang berlaku tanpa syarat. Sementara itu, Mill menilai tindakan moral dari konsekuensinya, yaitu sebesar apa manfaat dan kebahagiaan yang dapat dihasilkan bagi masyarakat luas. Melalui studi pustaka dan analisis filosofis, tulisan ini mengeksplorasi bagaimana kedua pandangan etika ini memaknai prinsip-prinsip seperti kebebasan, keadilan, dan hak individu dalam sistem demokrasi. Artikel ini juga menelaah apakah demokrasi liberal secara substansial mampu menampung nilai-nilai moral yang mendalam, atau justru terjebak dalam relativisme etika dan tirani mayoritas. Temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa demokrasi membutuhkan fondasi moral yang kuat agar tidak kehilangan orientasi etiknya, dan bahwa pemikiran Kant serta Mill dapat dijadikan kerangka kritis untuk menilai arah moral dari kebijakan dan praktik demokratis kontemporer. Dengan demikian, tulisan ini berkontribusi dalam memperkaya wacana etika politik dalam konteks demokrasi liberal masa kini.
Kata-kata Kunci: moralitas, demokrasi liberal, Immanuel Kant, John Stuart Mill, etika politik
PENDAHULUAN
Demokrasi liberal merupakan sistem pemerintahan yang mengutamakan prinsip kedaulatan rakyat, kebebasan individu, dan supremasi hukum. Dianggap sebagai pencapaian tertinggi peradaban politik modern, demokrasi liberal menjanjikan keadilan, partisipasi, serta perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara. Namun demikian, dalam praktiknya, demokrasi liberal sering kali menyisakan problem etis, terutama ketika prinsip mayoritarianisme bertentangan dengan nilai-nilai moral universal atau ketika kebebasan individu disalahgunakan demi kepentingan kelompok tertentu (Suseno 2001, 87). Demokrasi dapat berubah menjadi alat tirani mayoritas, ketika keputusan politik hanya berpijak pada kuantitas suara tanpa mempertimbangkan kualitas moralnya.
Di sinilah pentingnya meninjau demokrasi dari perspektif filsafat moral. Etika politik bukan sekadar tambahan normatif terhadap sistem demokrasi, melainkan fondasi penting yang menopang keabsahan sistem tersebut secara moral. Dua pendekatan moral yang relevan dalam konteks ini adalah deontologi Immanuel Kant dan utilitarianisme John Stuart Mill. Kant menekankan pentingnya bertindak berdasarkan prinsip moral yang dapat digeneralisasi secara universal tanpa kontradiksi logis, terlepas dari akibat yang ditimbulkan (Hardiman 2014, 122). Sebaliknya, Mill menilai moralitas berdasarkan hasil atau konsekuensi dari suatu tindakan, yakni sejauh mana tindakan itu mampu menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang (Magnis-Suseno 1987, 63).
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: sejauh mana demokrasi liberal dapat dinilai bermoral dalam perspektif kedua filsuf ini? Apakah kehendak mayoritas dalam sistem demokrasi dapat dibenarkan secara etis jika bertentangan dengan prinsip-prinsip moral? Dan bagaimana demokrasi dapat menjamin keadilan substantif di tengah kompetisi politik yang pragmatis?
Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka terhadap karya-karya Kant dan Mill serta interpretasi para filsuf kontemporer. Kajian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa demokrasi tidak cukup hanya prosedural, tetapi membutuhkan orientasi moral yang kokoh. Penelitian ini menjadi penting untuk menggugat anggapan bahwa demokrasi liberal sudah otomatis adil, serta mengajak pada pembacaan kritis terhadap hubungan antara etika dan politik dalam sistem demokrasi modern (Bakry 1992, 45).
PEMBAHASAN
Demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan modern didasarkan pada prinsip kebebasan individu, kesetaraan politik, dan penghormatan terhadap hukum. Namun, di tengah perkembangan globalisasi dan pragmatisme politik, demokrasi kerap mengalami distorsi moral yang mereduksi substansi etika menjadi sekadar prosedur elektoral. Salah satu kritik mendasar yang dapat diajukan adalah bahwa demokrasi liberal, meskipun menjamin kebebasan dan partisipasi politik, sering kali gagal mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang bermoral secara kolektif (Hidayat 2006, 72). Prosedur demokrasi yang mementingkan suara mayoritas dapat menyingkirkan nilai-nilai moral minoritas atau bahkan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan universal.
Dalam konteks ini, pendekatan etika deontologis Immanuel Kant menawarkan landasan filosofis untuk mengevaluasi apakah praktik demokrasi sesuai dengan prinsip moral yang objektif. Kant menekankan bahwa tindakan moral bukanlah yang sekadar menghasilkan akibat baik, melainkan yang didasarkan pada maksud baik dan ketaatan pada kewajiban moral yang rasional. Prinsip imperatif kategoris Kant menyatakan bahwa seseorang harus bertindak menurut asas yang bisa dijadikan hukum universal. Dalam perspektif ini, kebijakan dalam demokrasi hanya bermoral jika dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan berlaku universal, bukan hanya karena didukung mayoritas (Kaelan 2010, 143).
Sebagai contoh, kebijakan diskriminatif terhadap kelompok tertentu---meskipun didukung oleh mayoritas tidak dapat dibenarkan secara moral menurut etika Kant. Hukum moral tidak boleh tunduk pada fluktuasi opini publik atau tekanan politik. Kant menekankan otonomi moral individu yang tidak boleh dikorbankan demi stabilitas politik atau kepentingan mayoritas (Daradjat 2015, 58). Oleh karena itu, sistem demokrasi seharusnya tidak hanya menjamin prosedur pemilihan umum, tetapi juga menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dihasilkan sejalan dengan prinsip moral yang dapat diterima secara universal.