Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kosmos di Ujung Musim

27 September 2025   05:20 Diperbarui: 27 September 2025   05:25 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Kosmos (Pixabay)

Langit sore di penghujung musim ini tampak cerah, meski udara dingin terasa menusuk kulit  Sepedaku melaju kencang di jalan raya yang ramai. Klakson kendaraan bersahut-sahutan, deru mesin truk dan motor terdengar riuh, tapi pedal terus dipacu tanpa henti. 

Nafas berat, keringat menetes di pelipis, namun ada tujuan yang tak boleh gagal: rumah di ujung taman itu.

Hari ini, seorang gadis akan pindah rumah.

Kabar itu baru datang sehari sebelumnya. Dengan wajah datar, gadis itu berkata, "Besok kami pindah." Tidak ada ekspresi berlebihan, seolah semuanya wajar saja. Mendengarnya hanya sempat menjawab singkat, "Jaga dirimu, ya." 

Padahal hati ingin menyampaikan banyak hal, mulai dari ketidakrelaannya, kekaguman yang sudah lama dipendam, hingga rasa takut kehilangan. Namun kata-kata itu tertahan di ujung lidah. Hanya kalimat hambar yang keluar, seperti sekadar basa-basi.

Kini semuanya terasa terlambat.

Sepanjang jalan, bunga-bunga kosmos tumbuh berjejer di tepi jalan. Warna merah muda dan putihnya biasanya tampak ceria, tapi sore itu justru terlihat kesepian. Seolah-olah mereka ikut memahami kegelisahan yang menyelimuti seorang anak yang sedang mengayuh sepeda dengan terburu-buru. 

Bunga-bunga itu bergoyang pelan ditiup angin, hanya menjadi saksi dari musim yang berganti, sama seperti manusia yang hanya bisa menyaksikan perpisahan tanpa daya.

Di kejauhan tampak sebuah truk besar berwarna hijau tua. Muatannya penuh dengan perabotan rumah tangga, lemari kayu, meja, kursi, hingga bingkai foto yang pernah menjadi bagian dari rumah lama sang gadis. 

Truk itu berjalan pelan tapi pasti, seperti hendak membawa pergi semua kenangan yang pernah ada di dalamnya.

Sepedaku kupacu semakin cepat. Jantung berdegup kencang, bukan hanya kelelahan, tapi juga karena ketakutan akan kehilangan. 

Pikiran melayang ke berbagai hal: apakah di sekolah barunya nanti gadis itu akan bertemu seseorang yang lebih berani, yang bisa dengan mudah menyatakan perasaan, yang dengan cepat menjadi kekasihnya? Bayangan itu membuat kayuhan semakin kuat, meski kaki mulai terasa gemetar.

Lampu lalu lintas di depan berubah merah. Truk berhenti. Sepeda berhasil menyusul hingga berada tepat di sampingnya. Nafas masih terengah-engah, tapi pandangan langsung terarah ke kursi penumpang.

Di sana, duduklah seorang gadis dengan wajah pucat. Matanya berkaca-kaca, pipinya basah oleh air mata. Ketika pandangan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Gadis itu mengangkat tangan, melambai pelan. Senyum kecil terbit di wajahnya, meski masih bercampur dengan tangis.

Lambaian itu dibalas dengan tangan gemetar. Tidak ada kata yang terucap. Tenggorokan terasa terkunci, sama seperti sehari sebelumnya ketika kabar kepindahan itu pertama kali diberitahu. Hanya tatapan dan isyarat tubuh yang bisa disampaikan, meski sebenarnya ada sejuta kata yang ingin dilontarkan.

Ketika lampu lalu lintas kembali hijau, truk perlahan bergerak lagi. Suaranya berat, rodanya menggerus aspal, semakin menjauh di antara lalu lintas kota. Sepeda tetap terhenti di tempat, hanya bisa menatap punggung kendaraan itu hingga hilang dari pandangan.

Rasanya kosong.

Bunga kosmos di tepi jalan kembali bergoyang, kali ini lebih kencang karena hembusan angin sore. Mereka tetap berdiri diam, seolah menjadi saksi setia dari perpisahan itu. 

Warnanya masih indah, tapi aura kesepian semakin jelas. Sama seperti seorang anak yang berdiri di atas sepeda, merasa sendirian di tengah keramaian jalan.

Senyum gadis itu senyum terakhir yang bercampur dengan tangis akan menjadi kenangan yang sulit terhapus. Senyum yang sederhana, tapi menyimpan makna mendalam. Itu adalah hadiah perpisahan yang akan terus tersimpan di sudut hati.

Sepeda ku kayuh kembali, kali ini dengan kecepatan pelan. Tidak ada lagi yang perlu dikejar. Jalanan kota yang padat ditempuh perlahan, sementara matahari mulai turun ke ufuk barat. 

Lampu-lampu jalan menyala, satu per satu, memberikan cahaya kekuningan yang menambah suasana sendu. Bayangan pepohonan memanjang di aspal, menegaskan bahwa hari benar-benar hampir usai.

Di perjalanan pulang itu, banyak hal terlintas di benak. Kenangan-kenangan kecil yang dulu terasa sepele kini justru terasa berharga. Seperti saat mengajarkan gadis itu belajar naik sepeda di gang sempit dekat rumah. Atau ketika ia malu-malu menerima pinjaman komik. Semua potongan kenangan itu berkelebat cepat, membuat dada terasa sesak.

Tidak ada lagi kesempatan untuk menyampaikan rasa suka yang selama ini disimpan rapat. Tidak ada lagi waktu untuk sekadar berkata bahwa perasaan itu nyata. 

Semua sudah terlambat, karena truk itu telah membawa pergi bukan hanya barang-barang, tapi juga seseorang yang berarti.

Bunga kosmos di tepi jalan tetap bergoyang, tak peduli manusia yang menatapnya dengan pandangan kosong. Mereka akan terus tumbuh, terus berganti musim, terus mekar meski ada hati yang diam-diam merasakan kehilangan.

Dan di atas sepeda yang berjalan pelan menuju rumah, hanya ada satu kesadaran yang mengendap: keberadaan gadis itu tidak akan pernah terlupa. 

Senyumnya, tatapannya, bahkan tangisannya akan selalu tinggal, menjadi bagian dari sebuah cerita cinta pertama yang tak pernah benar-benar diucapkan.

Malam pun akhirnya turun. Jalanan kota dipenuhi lampu kendaraan yang berkilauan. Sepeda terus bergerak, membawa pulang tubuh yang letih dan hati yang penuh dengan kenangan.

Di sudut jalan terakhir sebelum rumah, kembali tampak bunga kosmos bergoyang pelan. Indah, tapi kesepian. Sama seperti perasaan yang masih tertahan, menunggu waktu yang mungkin tak akan pernah datang untuk terucapkan.

(MAW)


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun