Kisah Seorang Penulis Bayangan
Namaku tidak penting. Aku hanyalah bayangan yang menulis kata-kata untuk orang lain. Nama samaran yang kugunakan cukup sederhana: Ghostwriter. Bukan karena aku takut, tapi karena aku tahu, dalam dunia politik, nama bisa jadi bumerang.
Aku dulu tidak pernah peduli politik. Bagiku, politik hanya panggung gaduh di televisi: orang-orang berdebat tanpa ujung, janji-janji kosong, dan wajah-wajah sok tahu. Aku lebih suka menulis cerita pendek atau catatan perjalanan. Sampai akhirnya, tawaran itu datang.
Seorang teman lama memperkenalkanku kepada Pak X. "Dia butuh orang seperti kamu. Tulisannya harus rapi, kalimatnya harus bisa bikin orang percaya," katanya. Aku semula menolak, tapi iming-iming honor besar membuatku berpikir ulang.
Pertemuan pertamaku dengan Pak X terasa janggal. Ia orang yang kaku, gagap bicara, bahkan tak mampu menyusun kalimat sederhana tanpa terbata-bata. "Saya butuh kamu. Saya harus terlihat meyakinkan," ujarnya, menatapku dengan mata penuh ambisi. Dari situlah semuanya dimulai.
Orang yang Tak Pandai Bicara
Sejak itu, setiap pidato, konferensi pers, hingga debat politik, semua keluar dari tanganku. Aku yang merangkai kata, ia yang membacakan. Orang-orang terpesona, mengira Pak X pemimpin yang cerdas dan berwawasan luas. Padahal, ia hanya membaca teks dengan intonasi kaku.
Sering kali aku menonton dari layar televisi, melihat ia memegang kertas yang kutulis. Aku ingin tertawa sekaligus muak. Bayangkan, seorang pejabat yang digadang-gadang rakyatnya, ternyata bahkan tak bisa menyusun kalimat sendiri.
Namun, semakin lama aku bekerja dengannya, semakin aku sadar ada bau busuk yang sulit ditutupi.
Rahasia Anggaran Gelap