Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Etnis Tionghoa dalam Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2025   21:37 Diperbarui: 17 Agustus 2025   21:39 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivis Tiongoa menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia (Nationalgeographic.co.id)

Akar Sejarah Kehadiran Etnis Tionghoa di Nusantara

Sejarah Indonesia tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu dirangkai dari benang-benang perjumpaan, perpindahan, dan percampuran budaya. Dalam rentang panjang perjalanan bangsa, salah satu benang yang ikut menenun wajah Indonesia adalah kehadiran etnis Tionghoa.

Kehadiran orang-orang Tionghoa di Nusantara sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Catatan sejarah menyebutkan, hubungan dagang antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan ini telah terjalin sejak era Sriwijaya hingga Majapahit. Kapal-kapal jung dari Tiongkok berlayar ke pelabuhan besar seperti Palembang, Tuban, Gresik, dan Banten, membawa keramik, sutra, hingga rempah-rempah. Mereka tidak hanya membawa barang, tetapi juga budaya, teknologi, bahkan orang-orang yang kemudian menetap.

Dari pertemuan itu lahirlah komunitas Tionghoa peranakan. Mereka adalah generasi yang lahir dari percampuran orang Tionghoa dengan penduduk lokal. Identitas peranakan ini menjadi unik karena dari bahasa, pakaian, dan tradisi mereka memadukan unsur Tionghoa dengan kebudayaan Nusantara. Di Batavia, Semarang, Surabaya, dan kota pelabuhan lainnya, komunitas Tionghoa berkembang menjadi bagian penting dari denyut ekonomi lokal.

Namun, hubungan ini tidak selalu berjalan mulus. Kolonialisme Belanda turut membentuk cara pandang masyarakat terhadap etnis Tionghoa. VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda kerap menggunakan politik segregasi: memisahkan kelompok masyarakat berdasarkan ras. Kaum Tionghoa ditempatkan dalam lapisan sosial tertentu, diberi peran sebagai perantara ekonomi, namun sekaligus dijauhkan dari pribumi. Politik ini melahirkan stereotip dan jarak sosial yang panjang.

Tetapi yang sering terlupakan adalah, justru dari komunitas inilah lahir segelintir tokoh yang menyalakan api kebangsaan Indonesia. Mereka menolak untuk hanya menjadi “perpanjangan tangan kolonial”. Mereka memilih berpihak pada tanah tempat mereka lahir dan besar yaitu Indonesia.

Periode 1945 hingga 1949 merupakan fase yang sangat krusial. Bangsa Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaan, namun langsung dihadapkan pada upaya Belanda untuk kembali menjajah melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang datang bersama pasukan Inggris. Kehadiran mereka merupakan bagian dari kesepakatan Civil Affairs Agreement (CAA) antara Inggris dan Belanda pada 24 Agustus 1945. Dalam situasi penuh ketegangan itu, komunitas Tionghoa yang sudah lebih dulu menanamkan semangat kebangsaan turut serta bahu-membahu bersama rakyat pribumi dalam mempertahankan republik. Kontribusi itu tidak hanya berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga diplomasi, dukungan material, hingga tenaga yang menjadi salah satu pilar penting perjuangan.

Jika menoleh ke masa awal kemerdekaan, tidak bisa diabaikan bahwa banyak tokoh Tionghoa ikut mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan republik yang baru lahir. Tahun 1945–1949 adalah masa penuh gejolak, ketika diplomasi dan pertempuran fisik berjalan beriringan. Di sinilah terlihat jelas bahwa perjuangan tidak mengenal etnis, agama, ataupun latar belakang sosial.

Dari Perdagangan Menuju Nasionalisme

Awalnya, peran etnis Tionghoa lebih banyak terlihat dalam bidang perdagangan. Pasar-pasar tradisional, jalur distribusi barang, hingga industri kecil tidak lepas dari tangan para pedagang Tionghoa. Tetapi memasuki awal abad ke-20, situasi berubah. Gelombang ide-ide baru tentang nasionalisme mulai bergulir di Hindia Belanda.

Perlawanan terhadap kolonialisme tidak lagi berbentuk keris atau tombak, tetapi berupa organisasi modern, surat kabar, dan pemikiran politik. Di sinilah etnis Tionghoa mengambil peran penting. Mereka mendirikan surat kabar berbahasa Melayu yang menjadi jembatan ide kebangsaan. Tulisan-tulisan di surat kabar itu mengkritik ketidakadilan kolonial, menyerukan persatuan, dan membangkitkan kesadaran rakyat.

Jauh sebelum kemerdekaan, pada awal abad ke-20, berdiri organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Organisasi ini awalnya bergerak di bidang sosial dan pendidikan, namun lambat laun berkembang menjadi pusat pemikiran yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme revolusioner di kalangan Tionghoa peranakan maupun totok. Gerakan ini bahkan beririsan dengan semangat Pan-Tionghoa yang ingin memperkuat identitas etnis Tionghoa di perantauan. Dari lingkaran itu lahir tokoh-tokoh penting, salah satunya Kwee Kek Beng (1900–1975), seorang wartawan yang sejak muda sudah aktif menulis di surat kabar Kabar Perniagaan dengan nama pena Hoa Djin.

Namun, perlu dipahami bahwa masyarakat Tionghoa saat itu tidak seragam dalam hal orientasi politik. Sebagian, terutama mereka yang kaya dan berpendidikan Belanda, cenderung mendukung pemerintah kolonial. Media seperti Kabar Perniagaan pun sering dianggap pro-Hindia Belanda.

Salah satu tokoh yang jarang disebut namun tampil sebagai pejuang integrasi  adalah Liem Koen Hian, seorang wartawan dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) tahun 1932. Tokoh Tionghoa peranakan seperti Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang tegas menyatakan bahwa masa depan komunitas Tionghoa adalah bersama bangsa Indonesia, bukan lagi pada negeri leluhur di Tiongkok. Sikap ini revolusioner, karena saat itu sebagian komunitas Tionghoa masih memandang diri mereka terikat pada tanah leluhur.

Ia dikenal lantang menyuarakan bahwa Tionghoa di Hindia Belanda tidak seharusnya menutup diri, melainkan ikut serta dalam perjuangan rakyat Indonesia. Liem bahkan menolak gagasan nasionalisme Tionghoa yang kala itu masih kuat, dengan mengatakan bahwa tanah tempat mereka berpijak yakni Indonesia, harus menjadi rumah perjuangan. Sikapnya ini kerap membuatnya dicibir, baik oleh sebagian komunitas Tionghoa maupun penjajah Belanda. Namun sejarah mencatat, ia konsisten mendukung gagasan Indonesia merdeka.

Namun, dinamika internal di kalangan Tionghoa cukup kompleks. Ada ketegangan antara kelompok totok yang merasa lebih “murni” dalam budaya leluhur, dengan kelompok peranakan yang dianggap telah bercampur dengan pribumi. Ketegangan itu semakin diperdalam oleh kebijakan kolonial Belanda yang menerapkan politik divide et impera. Belanda memberi hak-hak istimewa pada etnis Tionghoa, seperti akses perdagangan dan pendidikan, yang membuat kecemburuan sosial semakin kuat. Akibatnya, Tionghoa sering diposisikan sebagai kelompok berbeda, baik oleh pribumi maupun oleh sistem kolonial itu sendiri.

PTI menjadi bukti bahwa etnis Tionghoa ikut memelopori nasionalisme Indonesia. Dalam manifesto politiknya, PTI menyatakan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Indonesia dan menolak politik pecah belah Belanda.

Situasi mulai berubah ketika Jepang mengambil alih Hindia Belanda. Pada tahun 1944, Jepang yang mulai terdesak dalam Perang Dunia II melonggarkan kebijakannya di Indonesia. Perdana Menteri Kuniaki Koiso bahkan menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia “di kemudian hari” dalam pidatonya pada 7 September 1944. Walau janji itu lebih bermakna politis, pengumuman tersebut menjadi momentum yang membangkitkan semangat perjuangan.

Sebagai tindak lanjut, Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945. Badan ini menjadi forum penting untuk merumuskan dasar negara dan rancangan pemerintahan Indonesia merdeka. Anggotanya terdiri dari 60 tokoh yang mewakili berbagai lapisan masyarakat, termasuk empat tokoh Tionghoa: Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Selain itu, ada pula wakil dari Arab (A.R. Baswedan) dan peranakan Belanda (P.F. Dahler). Kehadiran mereka menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak awal melibatkan banyak unsur bangsa, bukan hanya pribumi semata.

Dalam sidang-sidang BPUPKI, isu kewarganegaraan menjadi topik penting. Bagaimana status orang-orang keturunan Tionghoa, Arab, atau kelompok lain ketika Indonesia merdeka? Pada 11 Juli 1945, Liem Koen Hian secara tegas menyampaikan aspirasi komunitas Tionghoa di Malang dan Surabaya agar seluruh orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dapat langsung diakui sebagai warga negara. Pernyataan itu menjadi bukti nyata komitmen mereka pada republik yang sedang diperjuangkan.

Surat Kabar dan Literasi Kebangsaan

Sejak awal abad ke-20, kaum Tionghoa di Hindia Belanda bukan hanya pedagang yang sibuk mengurus usaha. Sebagian dari mereka ikut menyerap semangat kebangkitan nasional. Media massa yang mereka dirikan, seperti Sin Po, berperan besar dalam menyebarkan gagasan kebangsaan. Dari koran inilah istilah "Indonesia Raya" dipopulerkan sebelum akhirnya menjadi judul lagu kebangsaan yang kita kenal hingga hari ini. Sin Po bahkan menjadi salah satu media yang berani menuliskan “Indonesia” ketika pemerintah kolonial masih melarang penyebutannya.

Ada juga Kwee Thiam Tjing, seorang penulis yang menggunakan nama pena Tjamboek Berdoeri. Dengan gaya satire dan humor tajam, ia menyerang kebijakan kolonial serta rasisme yang mengakar di masyarakat. Tulisan-tulisannya di koran Matahari menjadi semacam “senjata intelektual” yang menyadarkan banyak orang bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang mengusir penjajah, tetapi juga menegakkan kesetaraan.

Kontribusi lain yang sangat penting adalah dunia pers. Tokoh seperti Kwee Hing Tjiat menulis artikel-artikel yang berpengaruh dalam membangkitkan kesadaran nasional. Surat kabar Tionghoa peranakan tidak hanya membahas isu komunitas mereka, tetapi juga perjuangan bangsa secara luas.

Tulisan-tulisan itu kemudian dibaca oleh banyak kalangan pribumi, karena menggunakan bahasa Melayu yang mudah dipahami. Dengan demikian, media yang lahir dari komunitas Tionghoa berperan menyebarkan ide-ide kebangsaan lebih luas.

Adapun juga Rumah yang menjadi lokasi Kongres Pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober 1928 adalah rumah Sie Kong Liong, seorang keturunan Tionghoa yang berlokasi di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat. Rumah tersebut saat ini dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda. 

Di sinilah terlihat bahwa peran etnis Tionghoa dalam kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka tidak hanya menjadi pedagang atau golongan ekonomi, tetapi juga penyambung suara perjuangan.

Gerakan Solidaritas Melawan Penjajahan

Selain melalui jalur politik dan pers, etnis Tionghoa juga menunjukkan solidaritas nyata dalam melawan penjajahan. Misalnya, pada masa pendudukan Jepang, banyak pemuda Tionghoa ikut bergabung dengan kelompok pemuda Indonesia untuk menolak represi militer Jepang.

Etnis Tionghoa di Medan Pertempuran

Bukan hanya dalam bidang pemikiran dan pena, orang Tionghoa juga hadir di garis depan. Pada masa Revolusi Fisik, banyak pemuda Tionghoa bergabung dengan laskar rakyat, entah di Jawa, Sumatra, maupun Sulawesi. Misalnya, di Surabaya tahun 1945, sejumlah pemuda Tionghoa ikut angkat senjata dalam pertempuran 10 November. Mereka bahu-membahu bersama arek-arek Suroboyo, melawan pasukan Inggris dan NICA yang ingin kembali menancapkan kekuasaan Belanda.

Di Yogyakarta, ketika kota ini menjadi ibu kota republik, komunitas Tionghoa turut membantu dengan menyuplai logistik, menyediakan rumah sebagai tempat persembunyian tokoh-tokoh pergerakan, hingga ikut mendanai perjuangan. Beberapa keluarga kaya Tionghoa tidak segan menyumbangkan perhiasan emas maupun harta benda untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Hal ini menunjukkan adanya solidaritas yang melampaui sekat identitas.

Kisah lain datang dari Sumatra. Di Medan, etnis Tionghoa ikut serta dalam perlawanan melawan agresi militer Belanda. Ada di antara mereka yang gugur sebagai pejuang, meski nama-nama itu kini jarang muncul dalam buku sejarah sekolah. Padahal, pengorbanan darah dan nyawa itu menjadi bukti nyata bahwa nasionalisme mereka bukan sekadar kata-kata.

Piringan hitam menjadi salah satu saksi sejarah kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah rekaman lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diinisiasi oleh Yo Kim Can, seorang pedagang dan importir piringan hitam berkebangsaan Tionghoa sekaligus sahabat W.R. Soepratman. Pada 1927, ketika perusahaan rekaman Indonesia menolak permintaan Soepratman karena tekanan pemerintah Belanda, Yo Kim Can mengambil inisiatif untuk merekam lagu tersebut di luar negeri demi kualitas yang lebih baik.

Namun, pemerintah kolonial melarang penyebaran Indonesia Raya, sehingga sebagian besar piringan hitam tidak bisa dibawa masuk ke Indonesia. Hanya satu keping yang berhasil tiba dengan selamat. Dalam proses perekaman, Yo Kim Can bertindak sebagai operator, sementara Soepratman menyanyikan Indonesia Raya dalam dua versi, yakni mars dan keroncong. Hak cipta serta hak dagang piringan hitam tersebut pun diberikan Soepratman kepada perusahaan milik Yo Kim Can.

Diplomasi dan Dukungan Internasional

Peran etnis Tionghoa juga terlihat dalam jalur diplomasi. Saat Indonesia berjuang mencari pengakuan internasional, hubungan dengan komunitas Tionghoa di luar negeri sangat penting. Beberapa tokoh Tionghoa-Indonesia menjembatani komunikasi dengan organisasi Tionghoa di Singapura, Tiongkok, dan negara-negara lain. Mereka membantu menyebarkan kabar tentang perjuangan Indonesia, menolak propaganda Belanda, serta menggalang simpati internasional.

Di Tiongkok sendiri, meski pemerintahan saat itu dilanda perang saudara, simpati terhadap Indonesia cukup besar. Dukungan moral dan politik datang dari kalangan intelektual Tionghoa yang menilai bahwa perjuangan bangsa Indonesia sejalan dengan semangat anti-kolonialisme global. Peran ini tidak bisa dilepaskan dari jaringan diaspora Tionghoa yang cukup luas.

Ada pula organisasi sosial Tionghoa yang diam-diam menyalurkan bantuan bagi keluarga pejuang yang ditahan. Perlawanan ini mungkin tidak selalu tercatat dalam buku sejarah resmi, tetapi menjadi bagian nyata dari denyut perjuangan rakyat.

Namun sejarah tidak selalu berjalan mulus. Setelah kemerdekaan, perjalanan relasi etnis Tionghoa dengan bangsa Indonesia mengalami pasang surut. Pada masa-masa tertentu, mereka mendapat stigma sebagai “orang luar” atau bahkan dijadikan kambing hitam dalam berbagai krisis politik dan ekonomi. Konflik-konflik sosial yang melibatkan sentimen anti-Tionghoa menjadi luka sejarah yang hingga kini masih menyisakan trauma.

Padahal, jika menengok ke belakang, kontribusi mereka terhadap kemerdekaan tidak sedikit. Dari memberikan ide dan gagasan, menyediakan dukungan material, hingga mengorbankan nyawa di medan pertempuran, semua itu nyata adanya. Sayangnya, narasi ini jarang dimasukkan ke dalam arus utama penulisan sejarah Indonesia. Generasi muda pun akhirnya tumbuh tanpa banyak tahu bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan oleh orang-orang Tionghoa.

Jika ditarik ke belakang, bahkan sebelum proklamasi 1945, komunitas Tionghoa sudah menunjukkan simpati terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa. Di beberapa kota besar, mereka menggalang dana untuk mendukung pendidikan anak-anak pribumi, karena mereka menyadari bahwa pendidikan adalah kunci kebangkitan nasional.

Hari ini, saat Indonesia sudah memasuki usia 80 tahun lebih kemerdekaan, penting untuk merefleksikan kembali peran etnis Tionghoa dalam perjuangan tersebut. Sejarah harus dilihat secara utuh, bukan terpotong oleh prasangka atau politik identitas. Menyadari kontribusi etnis Tionghoa bukan sekadar bentuk penghargaan, melainkan juga cara memperkuat persatuan bangsa.

Mengingat kembali sosok seperti Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing, hingga ribuan pemuda Tionghoa yang ikut bertempur, membuat kita paham bahwa nasionalisme Indonesia lahir dari keberagaman. Tidak ada satu etnis pun yang berjuang sendirian. Semua bahu-membahu, bersatu dalam cita-cita yang sama: Indonesia merdeka.

Referensi

Adams, S. (2024). Kisah-kisah Tersembunyi dari Sejarah Nusantara. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

Bambang Sularto, Dkk, (1982), Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mukhaer, A. A. (4 Februari 2021). Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia. Diakses dari: https://nationalgeographic.grid.id/read/132538813/usaha-etnis-tionghoa-menginspirasi-gerakan-kemerdekaan-indonesia?page=all. Natgeo Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun