Kau tahu, aku tidak pernah benar-benar mengenal Daru.
Ia datang seperti angin, dan pergi seperti kabut yang menghilang pelan-pelan.
Orang-orang bilang ia baik. Terlalu baik, malah. Terlalu tenang untuk ukuran orang yang hidup sendirian di rumah tua di ujung jalan kecil, persis di belakang warung soto yang sudah lama tutup.
Aku pertama kali melihatnya waktu kelas lima SD. Ia berdiri di halte dengan koper hitam besar, memandangi anak-anak sekolah yang lalu-lalang tanpa satu pun senyum. Matanya... sulit dijelaskan. Tenang, dingin, dan entah kenapa, kosong. Tapi bukan kosong yang bodoh. Kosong yang... sadar.Â
Aku, anak-anak kecil waktu itu, cuma bisa menebak-nebak, apakah dia akan jadi guru baru? Atau polisi? Atau malah detektif? Tapi tidak satu pun tebakan kami yang benar.
Daru bukan siapa-siapa. Tapi juga bukan tidak siapa-siapa.
Tiap malam Kamis, Daru duduk di bangku panjang depan rumahnya. Tangannya menggenggam termos teh, dan di sebelahnya selalu ada bangku kosong. Beberapa kali aku lewat, ia mengangguk. Tidak menyapa. Tidak bicara. Tapi seperti ada suara di balik kepalaku yang bilang: "jangan duduk di bangku itu".
Entahlah.
Kadang, satu-dua orang tua datang, duduk bersamanya. Kadang pulang sambil menangis. Kadang tidak pulang sama sekali. Tapi itu bukan urusanku, waktu itu.